blank

Maiyah Gambang Syafaat (GS) edisi bulan Oktober ini istimewa. Beberapa hari yang lalu sudah terdengar kabar bahwa Cak Nun akan hadir. Alhamdulillah, apa yang dikabarkan khalayak adalah semua tentang kerinduan. Dengan tema “Satu Mata Membaca”, tanggal 25 malam disisi sebelah kanan Masjid Baiturrahman Simpang Lima secara berangsur-angsur jamaah datang dan mencari posisi yang nyaman, sejajar untuk bersama-sama belajar.

Antusias jamaah untuk bertanya banyak sekali. Beberapa pertanyaan disampaikan untuk dicari bersama jawabannya. Pertanyaan pertama datang dari seorang jamaah yang tidak menyebutkan namanya. Dia bertanya, “Saya pernah membaca dan sering mendengar bahwa kiamat sudah dekat. Dan juga apakah bumi menjadi pusat peradaban alam semesta, karena yang diceritakan dalam Alquran adalah gunung akan meletus, langit akan pecah, dan lain-lain. Dan satu lagi, kenapa nama-nama makhluk Allah diibaratkan skalanya skala laki-laki misalnya Allah itu laki-laki dan Malaikat Jibril itu laki-laki”.

Berkaitan dengan pertanyaan ini Cak Nun menjawab, “Kiamat sudah dekat, Bisa saja 3000 tahun lagi, bisa saja besok. Jadi tenang saja. Niatkan semuanya untuk Allah, karena Allah adalah pelaku utama kehidupan. Allah itu bekerja, Allah Maha Bekerja atas apa yang Dia kehendaki. Seluruh kehidupan oleh Allah ditahapkan menjadi enam tahap, dan saat ini kita tidak tahu sedang diposisi tahap keberapa. Jadi menurut saya, kita perlu memahami kembali, dan itu yang utama dari Maiyah yakni ber-ijtihad dan mentadabburi Alquran. Karena kebenaran malam ini bisa batal karena kebenaran besok pagi. Kita harus selalu memohon petunjuk dan hidayah dari Allah”.

Menjawab pertanyaan kedua, Cak Nun mengatakan, “Jadi sebenarnya Allah tidak laki-laki dan tidak perempuan, dan sesungguhnya Allah tidak menciptakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan adalah ‘wadah’. Tetapi ‘potensialitasnya-lah’ yang diciptakan oleh Allah. Min dzakarin wa unsa itu bukan min mudzakarin wa muanasin. Innakholaqnakum min dzakarim wa unsa wajalnakum su’uban waqoba ila lita’arofu. Selama ini kan terjemahannya berdasarkan pemetaan sejarah sekarang, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Kalau laki-laki dan perempuan itu mudzakarin wa muannasin. Potensialitas ketegasan dan kekerasan dengan potensialitas kelembutan. Kowe wong lanang duwe brengos koyo ngopo tetep duwe ‘wedok’. Wedok lembute koyo opo duwe ketegasan (lanang), wedok ketoke lembut tapi yen wis gereng ngeluwihi wong lanang. Maka min dzakarim wa unsa. Jadi potensialitas dalam diri manusia ada minzakarim wa unsa, kedua-duanya ada dalam diri manusia”.

Cak Nun melanjutkan, “Cuma yang tidak proporsional lalu menjadi wandu (banci), kemudian yang tidak bisa mengelola unsa menjadi LGBT. LGBT bukanlah fenomena psikologis atau alam. Tapi gejala budaya dan politik. Lalu su’uban wa qoba, itu artinya bukan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Ketika Rasulullah hidup, saat itu belum ada suku dan bangsa, yang ada adalah kabilah. Sebenarnya adalah marga, ada marga Hasyim, dan lain-lain. Dan itu kan hanya ‘sebutan’. Tolong jangan terikat dan berhenti pada suatu idiom, karena idiom itu sesuai zamannya. Menurut saya su’uban waqoba ila adalah “feneomenologi karakter manusia”. Ono wong jenis gentho, nakal ning apik atine. Ono ketoke sopan ning lamis. Jadi itu suuban waqoba ila. Jadi Anda mengenali berbagai macam karakter manusia. Dan biasanya polanya sama, jika kamu punya 10 orang atau 30 orang pasti orangnya macem-macem, ada yang pemimpin, pengikut, pendobrak, pemrotes dan lain-lain. Ada juga yang suka protes tapi tidak bisa memberi solusi, nyacat sabendina. Dan kita perlukan dia karena pinter nyacat yang menjadikan kita lebih hati-hati”.

Pertanyaan kedua dilontarkan oleh Ardian asal dari Kendal. Dia menanyakan, “Lebih baik mana Cak, memperbaiki atau membangun lalu yang kedua, apakah di zaman sekarang sudah seperti apa yang orang tua kita katakan, mbelek dibungkusi, mata melek diapusi”. Pertanyaan ini dijawab oleh Cak Nun dan Habib Anis. “Memang itu yang terjadi sekarang. Itu namanya talbis, Pengiblisan. Iblis yang berpakaian malaikat. Disangka oleh Nabi Adam yang mengajak ke pohon itu adalah malaikat, tapi sebenarnya adalah iblis yang berpakaian malaikat. Sekarang banyak sekali, contohnya angger kowe melu pilkada, pasti kamu menjadi malaikat. Santun religius, dan lain-lain. Pancen telek (tahi) diwungkusi, pertama kowe kudune entuk sego tapi jerone telek. Karena tiap hari dapatnya telek akhirnya telek dianggap nasi, karena kita sudah adaptasi. Karena sudah tiap hari, jadinya nasi sudah kita anggap menjadi telek. Yang kemudian menjadi keprihatinan adalah generasi selanjutnya, yang sudah tidak kenal nasi. Banyak sekali yang tidak tahu kalau itu tahi. Itulah yang terjadi sekarang dalam perpolitikan, budaya, sosial, dan lain-lain. Rumangsane kui nogosari, garang asem padahal telek”, jawab Cak Nun.

Cak Nun melanjutkan, “Besok-besok anakmu sudah tidak mengenal telek, bahwa wong urip panganane telek sing wis dadi sega (nasi), karena sudah tidak mengenal nasi. Maka anak-anak Maiyah, kembalikan pengetahuan yang objektif sebagaimana yang Allah kehendaki. Karena kita tidak tahu bedanya nasi dan telek. Telek disebut nasi. Tapi di Maiyah tidak, Maiyah tahu. Insyallah Maiyah tahu dan dapat melihat dengan jernih mana yang nasi dan mana yang telek”. Selanjutnya Habib Anis menanggapi, “Jadi ada metode Iblis, dan dunia ini kan selalu dual, ganda, zaujain, Zauijain ini selalu pecah dan membelah, pecahannya bisa positif dan bisa negatif. Dalam Alquran ada empat posisi yang akan mengacaukan kita yakni yang pertama ialah Iblis. Iblis itu memecah dan mengacaukan kita, memanipulasi kesadaran kita. Kedua Fir’aun atau Hamman yakni dari kalangan intelektual. Ketiga, Qorun yakni kaum kapitalis. Dengan caranya yakni mengacaukan, menciptakan citra-citra palsu, lawannya ialah Musa. Keempat, Yahjuj dan Mahjuj, juga memanipulasi dan ada juga Dajjal”.

Lanjut Habib Anis, “Iblis ini adalah potensi awal. Dia bisa berekspresi menjadi keempatnya. Semuanya beroperasi. Ketika Anda sudah terlibat dan tertipu disana, maka kita akan sulit keluar. Kita ditipu dengan manipulasi dan bermacam-macam pencitraan. Akhirnya menganggap setan adalah malaikat, tahi menjadi nasi. Dan itu semua hanya bisa dilawan oleh orang yang ikhlas (mukhlis). Anda ditipu orang, tapi Anda ikhlas. Efeknya positif, karena Allah bekerja disana. Meskipun sistemnya salah, tetapi kalau Anda benar. Itu bisa membawa Anda ke surga. Namun jika sistemnya benar tapi anda salah, itu membawa anda ke neraka. Sehingga apapun yang diberikan, diberi tahi maka akan berubah jadi nasi. Ketika Anda ditusuk, tusukan itu akan menjadi belaian kasih saat anda ikhlas. Sifat mukhlis inilah yang kita kembangkan bareng-bareng di Maiyah, dan Iblis tidak bisa mengganggu orang mukhlis”.

Cak Nun menambahkan, “Yang ditakuti iblis orang ikhlas, saya setuju dengan Habib Anis. Tolong itu menjadi “main value” kita tiap hari. Keikhlasan ini serius. Ikhlas kalau vertikal namanya ridho. Jangan sibuk mencari ridho, tetapi Anda itu harus selalu ridho sama Allah. Anda konsentrasi ridho kepada Allah. Apapun yang sudah terjadi itu ketentuan Allah, ridholah. Dalam pertarungan horizontal (antar manusia/makhluk), bisa jadi Anda tidak ridho, tetapi keatasnya Anda harus ridho. Wamaa ramaita idz ramaita, walaakinnallaaha ramaa Itu harus jadi wirid Anda sehari-hari. Karena kita ikhlas, anda melempar tai ke saya menjadi roti, pisau menjadi belaian kasih. Apapun saja, kita ridho sama Allah, itu kuncinya”.

Cak Nun melanjutkan, “Saya kira yang saya lakukan hanya itu. Itu bukan hanya urusan selamat atau ancaman dari orang lain. Ridho itu sehat. Saya tidak mungkin mendapat kesehatan badan di usia ini dengan tingkatan mustahil pada usia manusia pada umumnya. Dengan frekuensi tugas seperti ini, dalam keadaan apapun saya lakukan dan itu menyembuhkan, Sehat Mas!. Jika kamu mau sehat, harus ridho dalam hati dan pikiranmu. Tidak usah kebanyakan membantah. Jika membantah, membantahlah pada kebenaran dan objektifitas. Tetapi kepada kehendak Allah jangan membantah. Sibuklah dengan ridhomu kepada Allah, sehingga ridho-Nya Allah kepadamu menjadi sebab otomatis dan hukmiyah atasmu”.

Makin malam, jamaah makin padat dan saling duduk berjejeran, membentuk barisan, menghangatkan satu sama lain sembari mendengarkan secara seksama apa yang disampaikan Cak Nun. Pertanyaan selanjutnya disampaikan oleh Angger dari Batang. Ia mengatakan, “Ada cerita bahwa Si Carang (nama samaran seseorang) adalah tim sukses dari salah satu Bupati. Kemudian menurut saya tidak ada orang yang tidak punya kepentingan. Si Carang ini punya kepentingan dengan Bupati ini, dan setelah Pilkada Usai, Bupati ini jadi/terpilih. Selanjutnya ada pembukaan CPNS, pun karena kedekatan dengan Bupati, entah nepotisme atau apa, Si Carang ini masu/diterima PNS. Nah, bagaimana rizki yang diperoleh itu? Bagaimana hukumnya, halal atau haram? Karena jelas ada orang yang dirugikan, yakni orang yang jujur dan tidak pakai orang dalam”.

Cak Nun menanggapi, “Jadi pegawai karena nyogok. Rejekinya bagaimana? Itu bukan peristiwa lokal, satu Indonesia sistemnya tidak ada yang halal. Begitu Anda jadi orang Indonesia, kamu sudah tidak halal. Tadi sudah jelas cara seperti itu namanya menghianati Pancasila”. Cak Nun melanjutkan, “Membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia itu kenapa? Padahal kemarin ‘kamu’ itu Keraton dan Kerajaan, kok tidak diteruskan saja? Formasi, perdikan, kerjasama, persemakmuran antar keraton. Sisteme wong wis dadi kok. Kok buat yang baru, dibubarkan yang ‘dulu’. Sapa sing murui gawe negoro? Majapahit, Demak ora murui. ‘Kowe’ niru seko Eropa to? Makanya di Maiyah ini kita sinau otentik. Karena kita ini, jangankan ‘negara’, adzan saja tidak ada yang otentik kok. Adzan kita tidak membuat sendiri, Anda merdeka lho adzannya (nadanya) mau gimana. Tapi semua meniru. Rekamlah. Dengarkan di masjid-masjid. Karena (nada) adzan saja tidak bisa membuat, apalagi negara. Kalau kamu marah sama Republik Indonesia kamu jadi ngelu. Karena (nada) adzan saja tidak bisa membuat apalagi negara”.

Selanjutnya Cak Nun bercerita, “Kalau kamu ke Jombang, temui teman saya, namanya Guk Nuri. Guk itu Cak, untuk orang dusun, Guk itu artinya gentho (preman). Kalau Cak agak elit sedikit. Guk Nuri ini tidak pernah sama (nada) adzannya tiap hari. Tapi dia otentik. Di kota-kota tidak ada yang otentik. Seratus persen meniru. Ngaji saja meniru, tidak ada yang spontan dan improvisasi. Ini produk Maiyah, akhlakmu menjadi baik, inshaallah, kamu ingin jadi orang yang manfaat. Cukup itu saja. Jadi Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq. Tapi kalau lebih luas Wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin, jadi spread away spread out. Kamu jangan berani jadi pemimpin kalau kamu jadi masalah bagi anggotamu. Jadi pemerintah tetapi malah merepotkan rakyatmu”. Cak Nun menambahkan, “Tapi Allah itu Maha Pengampun atas apa yang kita lakukan, kita diminta untuk banyak ber-istighfar, memohon ampunan kepada Allah”.

Pertanyaan selanjutnya “Lebih baik mana Cak, memperbaiki, atau membangun dari awal?” Cak Nun menanggapi, “Bergantung kasusnya, ada sesuatu yang harus dibangun dan diperbaiki. Keduanya bagus asal pada tempatnya yang tempat. Tidak bisa dibandingkan yang kuratif (mengobati) dan preventif (mencegah). Waktu sakit ya kuratif dan saat tidak sakit ya preventif. Jangan dibandingkan. Seperti misalnya, sekarang salat sunah dan wajib itu tinggi mana? Itu tidak usah berdebat. Kalau wajib kita disuruh, tapi kalau sunah tidak disuruh, tetapi kita ikhlas melakukan, berarti tinggi derajatnya. Sudah dialami saja, tidak usah berdebat. Zakat dan shodaqoh, derajatnya tinggi mana? Zakat itu wajib, kalau shodaqoh itu tidak wajib. Tapi kalau mau membayar shodaqoh kamu mulia. Dinikmati saja sebagai tanda tanya, tidak usah berdebat”.

Cak Nun menambahkan, “Jadi ada hal dalam hidup yang Anda tidak perlu tahu persis. Yang baik berdoa atau tidak? ini tidak bisa didebatkan. Kalau kita berdoa, lalu Allah menjawab begini, “Aku kurang opo to le? Semua sudah diberikan. Kamu menanam padi, saya yang membuat panen. Masih meminta saja, dasar rakus”. Namun kalau kamu tidak berdoa, Allah akan menyikap dengan berbeda. “Kok sombong kowe ora njaluk karo Aku?”. Yang benar yang mana? Berdoa atau tidak? jadi tidak usah didebatkan, dinikmati saja. Dirasakan kalau harus berdoa ya berdoa, kalau wayahe pekewoh ya aja ngedumel atau berdoa di tengah-tengah. Maksudnya, seseorang berdoa “Nggih pun Gusti Allah, kula arep diparingi monggo, mboten nggih monggo”. Dan itulah sebenarnya sikap yang terbaik”.

Cak Nun memberikan wejangan kepada jamaah, “Maiyah ini seperti mata air, Anda bebas dari biaya masuk (gratis). Anda boleh membawa ember, gayung, plastik dan lain-lain. Setelah anda ambil air Maiyah, anda boleh pakai airnya untuk soto, teh, kopi dan lainnya. Itu ijtihad njenengan semua. Dan monggo akan dijadikan apa. Maiyah ini ada cahaya yang memancar, jika di Madinah ada lagu untuk menyambut hijrahnya Rasul. Kita selalu mengalami hijrah, karena kita lah Muhajirin dan Anshornya”. (Malik)