Melihat apa yang terjadi, menimpa Indonesia baru-baru ini, menurut saya, disebabkan karena minimnya bangsa Indonesia yang mampu mensportivitasi hidup. Dalam hal ini, saya “memaksa” memaknai judul ini dengan menjujuri hidup. Karena sportif berarti jujur, suci.
Dalam dunia olahraga, umum didengungkan “jaga sportivitas”. Maksudnya, adalah jaga kesucian, jaga kejujuran. Mulai dari panpel, manajemen tim, pelatih, pemain, hingga suporter, semua diharapkan menjaga nilai-nilai kejujuran, kesucian. Lalu, bagaimana memaknai kejujuran, kesucian itu? Yang paling pertama harus dijujuri, yakni kesadaran bahwa kita adalah makhluk, insan, manusia. Kesadaran untuk jujur bahwa kita adalah manusia, sebagai khalifah yang diberikan sejumlah saham kebebasan akan menentukan takdir hidupnya.
Dengan bersikap jujur bahwa kita memang benar-benar manusia, maka sudah selayaknyalah memiliki sifat kemanusiaan. Sehingga, pertimbangan-pertimbangan dalam hidup didasarkan pada kesesamamanusiaan itu. Ini modal penting untuk menumbuhkan empati kepada sesama. Tentu saja sikap itu tetap dalam lingkaran ridho Tuhan.
Misalnya, apabila kita sebagai manusia sadar tidak suka direndahkan martabatnya, sedih bila hartanya dicuri, maka sisi kemanusiaan kita seharusnya mampu “switch on” dengan pagar kuat untuk tidak melakukan hal yang demikian itu.
Bila kita sakit hati dicacimaki, dicurangi, maka sudah seharusnya kita jangan sampai melakukan hal yang bisa menyakiti hati sesama dengan mencaci maki dan mencurangi. Sebisa mungkin, kita wajib berusaha mengerem setiap niat ingin mencacimaki, mencurangi, dan semua hal yang merugikan lainnya.
Dengan mampu memulai sportif dari diri sendiri, secara otomatis kita juga menyebarkan benih-benih sportif kepada sesama. Dengan kekuatan istiqomah yang teguh, maka semakin lama, akan makin banyak orang yang “tertulari” benih-benih itu. Dan, semakin banyak orang mampu mensportivitasi hidup, maka semakin damailah dunia.
Hanya saja, di zaman sekarang ini, ketika manusia semakin “menuhankan” uang, kedudukan, prestasi, tantangan untuk mampu mensportivitasi hidup tentu tidak kecil. Ketika semua kolega sepakat untuk misalnya, berjamaah mencuri uang rakyat, men-tidakjujuri hati nurani bahwa sesungguhnya itu adalah keburukan, tentu bersikap sportif adalah pekerjaan yang amat berat.
Usai Perang Badar yang dahsyat itu, Rasulullah dengan tegas menyatakan: kita baru saja pulang dari perang kecil dan akan menuju perang besar. Sahabat bertanya: perang apakah yang lebih besar dari perang ini, wahai Rasul. Dengan tegas Rasul membalas: perang melawan nafsu.
Adapun, nafsu yang paling berbahaya adalah nafsu yang tidak disadari sebagai nafsu. Fenomena hari ini adalah kenyataan bahwa hawa nafsu yang tidak disadari sebagai hawa nafsu. Sehingga, banyak hal yang seharusnya perkara yang dilarang, menjadi sesuatu yang biasa saja.
Contoh yang paling sederhana, salah satunya adalah pungli. Awalnya, mungkin, dalam hati akan ada perasaan “tidak enak”, ewuh, dan sebagainya. Tetapi, lama-lama, karena sudah terbiasa, aktivitas ini pun akan terasa sesuatu yang biasa saja.
Akhirnya, apabila seseorang itu naik level, maka level punglinya pun akan naik pula. Semakin tinggi jabatan, maka sudah tentu, akan semakin banyak pula kesempatan untuk melakukan pungli. Padahal, aktivitas tersebut, adalah salah satu ketidaksportivitasan hidup.
Maka, melihat Nabi Ibrahim “dibakar” api pun bahkan, kebanyakan mereka hanya “menikmati”nya tanpa kesadaran membawakan air untuk memadamkannya. Memang, butuh kualitas “manusia kamil” untuk menjadi semut yang tetap teguh membawakan air dan menyiramkannya ke api Ibrahim. Wallahua’lam…