Pada bulan Agustus 2024, Majelis Ilmu Maiyah Gambang Syafaat kembali menggelar rutinan dengan tema “Menggali Negeri”. Tema ini diangkat untuk mengajak kita merenungi dan menelusuri lebih jauh makna dari sebuah negeri, tidak hanya sebagai entitas geografis tetapi juga sebagai ruang budaya dan spiritual yang kaya akan potensi. Menggali negeri berarti menelusuri akar-akar kebijaksanaan, sejarah, dan sumber daya yang selama ini mungkin terabaikan. Ini adalah ajakan untuk memahami lebih dalam, bukan sekadar mengeksploitasi apa yang tampak di permukaan.
Dalam forum ini, hadir tiga narasumber utama yang masing-masing membawa perspektif unik yaitu: Kang Muhajir, Cak Nug, dan Gus Aniq. Kehadiran para narasumber tersebut menambah bobot diskusi dengan menawarkan berbagai sudut pandang tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, dapat menggali potensi negeri ini dengan bijaksana. Sejak awal, suasana spiritual begitu kental terasa dengan lantunan munajat khusyuk dari Kang Jion, Mas Ihfan, dan Mas Dimas, yang mengawali acara dengan penuh ketenangan. Hiburan dari grup musik R.A.P turut menyemarakkan suasana. Sementara mukadimah dari Mas Ihfan, Mbak Diyah, dan Kang Muhajir berhasil memantik pemikiran para hadirin, menjadi pijakan awal yang kuat bagi diskusi mendalam yang akan berlangsung sepanjang malam itu.
Kang Muhajir membuka diskusi dengan menyoroti bagaimana perilaku manusia dalam bekerja merupakan bagian dari kultur yang dapat berdampak besar pada lingkungan. Menurutnya, pilihan manusia untuk mengeksploitasi atau memelihara alam bergantung pada nilai-nilai yang mereka anut. Dalam konteks kebudayaan Jawa, sedekah bumi adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap alam yang harus dipertahankan.
Kang Muhajir juga mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia yang semakin bertambah telah mendorong eksploitasi sumber daya alam. Kebutuhan ini tidak hanya terbatas pada kebutuhan pokok seperti pangan, tetapi juga mencakup pendidikan, transportasi, dan bahkan ritual keagamaan seperti naik haji. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai isu lingkungan, seperti pencemaran air oleh limbah pabrik, penurunan volume air tanah, serta fenomena rob yang semakin sering terjadi.
Salah satu jamaah yang hadir turut berbagi pengalaman mengenai kondisi lingkungan di Tembalang, Semarang, yang semakin panas dalam lima tahun terakhir akibat pembangunan yang masif. Jamaah lain mengingatkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, seperti kelapa sawit, pala, timah, dan nikel. Namun, ia menekankan pentingnya peningkatan sumber daya manusia selain sumber daya alam. Ia juga menyoroti pentingnya memahami realitas menjadi petani sebelum mengkritik Indonesia sebagai salah satu importir beras terbesar di dunia.
Cak Nug sebagai narasumber kedua memaknai tema “Menggali Negeri” sebagai sebuah dualitas yang mencerminkan dua pendekatan berbeda, yaitu menggali sumber daya alam seperti tambang, atau menggali kebijaksanaan dari dalam negeri. Menurutnya, kebijaksanaan adalah sesuatu yang bisa diperoleh dengan memahami sejarah dan memiliki kemauan untuk belajar dari para leluhur. Cak Nug juga menyampaikan pandangannya bahwa jika ada sesuatu yang salah dengan kondisi rakyat Indonesia, maka hal tersebut tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah atau negara. Menurutnya, pembentukan negara didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan, sehingga pemerintah seharusnya mencerminkan aspirasi rakyatnya. Dalam kesempatan tersebut, Cak Nug membawakan dua puisi berjudul “Peringatan Darurat” dan “Ini Soal Dinasti”. Kedua puisi ini menggambarkan kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, serta menjadi refleksi atas keadaan negeri saat ini.
Gus Aniq membuka pembahasan dengan mengangkat konsep kegelisahan yang muncul dari proses berpikir. Ia mengutip filosofi dari Rene Descartes yang berbunyi “Aku berpikir maka aku ada” namun dalam konteks dunia Islam, menurutnya lebih tepat jika diungkapkan dengan “Aku hadir maka aku ada”. Gus Aniq menjelaskan bahwa kehadiran tidak hanya sekadar eksistensi fisik, tetapi juga kesadaran diri yang utuh. Ia menggambarkan konsep ini dengan analogi permainan video game, di mana “aku” yang berada di luar permainan mengendalikan “aku” yang berada di dalam permainan. Kedua “aku” ini, menurut Gus Aniq, harus berada dalam harmoni dan kesatuan.
Lebih lanjut, Gus Aniq membahas bahwa manusia terdiri atas beberapa elemen yaitu diri sejati, memori, “aku” yang meraga, dan logika. Beliau juga menekankan bahwa negara adalah sebuah entitas yang bersifat kata benda, sedangkan negeri mengandung makna budaya yang memuat nilai-nilai keluhuran. Selain itu, Gus Aniq menjelaskan konsep “paradesa” sebagai skala kecil dari negara yang memiliki kesamaan dengan kata “paradise” atau surga.
Dalam diri manusia terdapat tiga jenis data yang memainkan peran penting dalam kehidupan dan kesadaran seseorang yaitu data generik, data atomik, dan data calmik. Beliau menekankan pentingnya keseimbangan antara ketiga jenis data ini dalam kehidupan seseorang. Data generik memberi kita dasar, data atomik memperkaya pengalaman kita, dan data calmik membimbing kita menuju pemahaman yang lebih dalam dan kebijaksanaan yang sejati. Dengan menyadari dan mengintegrasikan ketiga jenis data ini, seseorang dapat mencapai keutuhan diri dan hidup yang lebih bermakna. Menggali potensi dalam diri, menurutnya, harus dilandasi dengan kejujuran dan menghindari bias informasi dari luar. Ia menyarankan agar setiap individu mendengarkan fatwa hati sebagai cara untuk memperoleh pemahaman yang jernih.
Di akhir pembahasannya, Gus Aniq mengaitkan konsep dzikir dan syukur sebagai cara untuk membuka pintu pemahaman, yang kemudian dilanjutkan dengan kesabaran (sobrun) untuk bergerak pada momen yang tepat. Dzikir membantu menjaga kesadaran spiritual, syukur meningkatkan rasa kebahagiaan dan kepuasan, dan sobrun memastikan ketahanan dan kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan. Dengan menerapkan ketiga konsep ini secara harmonis, seseorang dapat mencapai keseimbangan dan kedamaian batin, serta hidup lebih selaras dengan tujuan spiritual dan moral.
Forum diskusi di bulan Agustus 2024 ini tidak hanya sekadar pertemuan intelektual, tetapi juga menjadi ruang refleksi mendalam bagi para jamaah untuk memahami dan menginternalisasi makna “Menggali Negeri”. Dengan menggabungkan perspektif spiritual, budaya, dan kebijaksanaan, setiap narasumber memberikan pandangan yang memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana menggali dan memanfaatkan potensi negeri ini secara bijaksana.
Dari pemikiran tentang hubungan manusia dengan alam, pentingnya sejarah dan kebijaksanaan leluhur, hingga pengembangan potensi diri yang dilandasi oleh nilai-nilai spiritual, semua ini menegaskan bahwa menggali negeri bukan hanya soal sumber daya fisik, tetapi juga tentang menggali nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bagi kemajuan bangsa. Forum ini juga menjadi pengingat akan tanggung jawab kita sebagai bagian dari negeri ini untuk terus menggali, menjaga, dan mengembangkan apa yang kita miliki dengan bijak dan penuh rasa syukur.