Kemajuan yang ada saat ini, baik dalam bidang teknologi, informasi, dan komunikasi merupakan bukti pencapaian dan pemaksimalan potensi akal yang dimiliki manusia. Sebagaimana Aristoteles berpendapat bahwa manusia sebagai animal rationale merupakan makhluk yang mampu menata dan mengatur prilakunya sesuai dengan akal sehat dan kehendak bebas. Begitupula Imam Al-Ghazali juga mengungkapkan bahwa akal sehat sebagai alat berpikir telah memberikan kontribusi besar dalam kehidupan manusia, mempolakan hidup, dan mengatur proses kehidupan secara esensial. Akal sehat yang dimaksud Al-Ghazali adalah rasionalitas akal yang didukung kebenaran wahyu dan pembuktian panca indera, sedangkan kehendak bebas ialah kemerdekaan bertindak sesuai norma agama dan kemanusiaan. Mengoptimalkan kedua unsur tersebut (akal sehat dan kehendak bebas) dalam menyampaikan pendapat, pikiran, dan keinginan di era Society 5.0 merupakan hal yang sangat penting. Hal ini tercermin dalam kisah-kisah Abu Nawas, seorang tokoh kharismatik yang memaksimalkan akal sehat dan kehendak bebas dalam berpikir, berpendapat, mempertanyakan norma-norma sosial, mengeksplorasi hal tabu, serta menyindir ketidakadilan, kesombongan, dan kebodohan manusia.
Diantara banyak tokoh intelektual, Abu Nawas adalah salah satu representasi dari seorang manusia yang memiliki kewarasan akal dan kebebasan kehendak. Ia adalah seorang filsuf dan sastrawan terkemuka yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah (756-814 M). Nama aslinya adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami, ia seringkali diceritakan dalam buku-buku Arab klasik, seperti Alfu Laylatin Wa Laylatun (Seribu Satu Malam). Dalam kisah-kisahnya, kewarasan akal Abu Nawas ditunjukkan melalui keberaniannya dalam mengeksplorasi hal-hal tabu, mempertanyakan nilai dan aturan sosial serta menyindir ketidakadilan dan kesombongan manusia. Selain itu, Abu Nawas juga sering menyumbangkan pemikiran dan pendapatnya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Setiap pendapat yang ia lontarkan mengandung banyak nasihat, sindiran, dan informasi. Tidak jarang pendapat-pendapat itu dibungkus dengan gaya bahasa sarkastis, simbolis, polemis, dan terkadang puitis. Maka tidak heran apabila sebagian orang membutuhkan waktu relatif lama untuk mencerna dan memahami celotehannya.
Terlepas dari banyaknya kontroversi, Abu Nawas adalah manusia intelektual, humanis, juga humoris. Kualitas pemikiran dan pengetahuan yang dimiliki, bisa ia sampaikan dengan bahasa yang sederhana hingga bahasa yang mengandung banyak metafora. Metode yang ia gunakan dalam menyampaikan gagasannya juga bermacam-macam, seperti berpendapat melalui analogi kisah-kisah jenaka namun bijaksana, berpura-pura menjadi orang gila namun pandai bersilat lidah, maupun menuangkan pemikirannya di syair-syair yang penuh dengan pujian, ejekan, dan sindiran. Keberagaman metode tersebut merupakan bukti kebebasan Abu Nawas dalam mengungkapkan pemikiran dan keinginannya. Kewarasan berpikir dan kebebasan berpendapat Abu Nawas adalah dua hal yang sangat menarik untuk digali, dipelajari, dan diambil urgensinya untuk masa kini.
Kewarasan sendiri berasal dari kata “waras” yang artinya sehat jasmani dan rohani. Waras juga sama dengan “sehat akal”, yang berarti pikiran yang baik dan normal. Sedangkan berpikir adalah usaha menggunakan akal untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, maka kewarasan berpikir dapat dimaknai sebagai kesehatan akal dalam mengingat, mempertimbangkan, dan memutuskan suatu permasalahan yang dihadapi dengan baik dan benar. Kewarasan berpikir menjadi sesuatu yang sangat penting, karena dijadikan sebagai tolak ukur, gambaran, atau rumus dalam menentukan baik buruknya, benar salahnya, dan tinggi rendahnya kualitas seorang manusia. Islam sendiri mengajak dan memerintahkan pemeluknya untuk selalu berpikir dan menggunakan akalnya. Sebagaimana potongan QS. Al-Hasyr ayat 2 yang berbunyi, …fa’tabiruu yaa ulil-abshoor, artinya “Maka ambillah pelajaran (berpikirlah), wahai orang-orang yang berakal budi”. Setidaknya terdapat ciri-ciri kewarasan berpikir dan kebebasan berpendapat, diambil dari karakter dan kisah hidup Abu Nawas:
Pertama, Objektif, yakni berpikir dengan hati yang bersih dan meninggalkan kecendrungan hawa nafsu atau kepentingan pribadi. Objektif juga bermakna komitmen dan konsisten terhadap kebenaran. Sama halnya dengan Abu Nawas yang tidak mengharapkan pujian, imbalan, dan jabatan kepada Sang Khalifah atas sumbangan pemikiran dan pendapatnya. Ia juga tidak takut apabila kebenaran pendapatnya mendapat penolakan dari sang Khalifah atau makian dari orang lain.
Kedua, Logis disertai Kebenaran Wahyu, yakni berpikir secara rasional dibimbing dengan nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini perlu dilakukan karena akal manusia terbatas pada pemikiran dan pengalamannya. Banyak hal yang tidak bisa diterima akal namun dapat dijelaskan dengan Kebenaran Wahyu. Sebagaimana puncak kebijaksanaan petuah dan syair Abu Nawas tergambar ketika ia telah bertaubat, lalu menjadi sufi yang menghiasi kehidupannya dengan sifat zuhud.
Ketiga, Berwawasan Luas dan Terbuka, yakni moderat dalam menerima dan merespon segala informasi yang diterima. Moderat artinya ditengah-tengah, mengetahui kondisi tekstual dan kontekstual, teoritis dan realistis. Dikisahkan Abu Nawas adalah pribadi yang suka berdialog dengan banyak dan bermacam manusia. Hal itulah yang membuat dirinya mudah untuk memahami karakter dan kondisi setiap manusia, sehingga pendapat-pendapatnya bersifat moderat dan tidak mengikat/mengekang.
Keempat, Berpendapat dengan metode yang baik. Berpendapat dengan metode apapun sebaiknya tidak dilakukan dengan cara hinaan, cacian, atau hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran norma agama dan kemanusiaan. Sebagaimana niat yang baik pun harus disampaikan dengan cara yang benar. Abu Nawas memang terkenal dengan ejekan dan komentar nyelenehnya kepada para penguasa politik dan tokoh agama. Baik ejekan maupun pujian yang ia lisankan bukanlah tanpa alasan, ejekan yang ia lontarkan kepada para penguasa politik biasanya berisikan pendapat dan komentar tentang ketidakadilan dan kesombongan. Sedangkan pujian yang ia haturkan sering kali dihadiahkan kepada orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dan kedermawanan. Pola yang ia anut seperti, baik dibalas baik dan buruk dibalas buruk.
Kelima, Berpendapat dengan mengedepankan persatuan. Saat terjadi perbedaan pendapat, prinsip yang harus dipegang adalah tetap menjaga ukhuwah dan solidaritas umat. Meskipun sering cekcok dan berbeda pendapat dengan Sang Khalifah, Abu Nawas tidak segan untuk mengalah, meminta maaf, ataupun rela dipenjara ketika pendapatnya mengandung hinaan. Semua itu semata-mata karena Abu Nawas sadar akan pentingnya menjaga persaudaraan antar umat.