blank

Semenjak cintamu hadir dalam batinku, aku merasakan cahaya dari sumber cahaya yang dipantulkan melalui cerminmu. Inikah kekuatan cinta dari ketulusan dan harapan yang begitu mulia. Sugeng ambal warsa, Mbah Nun.

Mengenal Mbah Nun dari irama, aransemen nada yang dibersamai KiaiKanjeng sengaja diciptakan untuk menemani malam-malam menuju jalan sunyi. Album “Bang-bang Wetan” sangatlah membekas dalam pencarian jati diri, diawali lagu Pambuko, Gundul Pacul, Manungso, Duh Gusti, Rampak Terbang, Bang-bang Wetan, Rampak Osing, dan Tarian Rembulan, seakan begitu kompleks dalam mengarungi perjalanan memaknai labirin-labirin yang tak terlihat, samar, maupun yang ada di hadapan. Begitu syahdu dalam dimensi rohaniah, seakan cahaya itu semakin mendekat dan merapat, inikah bukti bahwa sifat cahaya akan memasuki lorong-lorong kegelapan akan dunia yang tiada hentinya berkicau.

Pencarian ini tidak berhenti, dari alunan nada menuju kebijaksanaan dan kemerdekaan dalam berpikir, gagasan-gagasan khas Emha Ainun Nadjib senantiasa mengukir dalam hati, akal, dan pikiran. Lingkar maiyah seakan menjadi sebuah forum kemerdekaan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tak mengenal dasi atau sandal jepit, karena yang diungkap ialah substansi posisi diri. Tak lagi memperdebatkan warna merah, kuning, atau hijau, karena yang dibicarakan ialah esensi warna dan estetika pelangi. Jika ada pepatah “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” itulah lingkar maiyah di seluruh dunia.

Mbah Nun dengan kita, layaknya Mbah dengan cucunya. Senantiasa menghangatkan dengan cinta kasih, kerinduan yang selalu menghantui. Dalam forum lingkar maiyah, baik di Surabaya, Jombang, Jogjakarta, Jakarta, Semarang, Bali, dan kota-kota lain, selalu ada kerinduan dan akan terobati dalam kurun waktu satu bulan sekali, kerinduan itupun pecah dalam sebuah forum yang didasari dengan cinta. Duduk berjam-jam hingga menjelang subuh layaknya pertemuan singkat, bahkan menahan kencingpun diperjuangkan karena dahsyatnya rindu yang begitu membaja dan membara dalam hati cucu-cucunya. Jika bukan didasari oleh cinta dan cahaya, lantas apa yang membuat mereka rela? Fanatik? Jika dikatakan fanatik, ini bukanlah sebuah fanatisme terhadap seseorang. Fanatik berada dalam pikiran, namun cinta terletak dalam hati. Fanatik hanyalah selimut di kamar yang dipakai menjelang tidur, disaat tidur berselimutpun kita tak dapat menentukan akan mimpi apa, dimana, dan dengan siapa. Selepas tidur lipat rapi selimutmu, bangun, jalani kehidupan, gunakanlah cintamu. Dengan cinta, kita akan saling merindu, saling belas kasih, dan tentu saling mempercayai. Lebih tepatnya, seperti itulah pemaknaan Mbah Nun dengan kita.

Sinau bareng, juga salah satu agenda yang ditunggu-tunggu banyak masyarakat maiyah dari pelbagai wilayah. Suatu forum yang dapat dihadiri hingga 5000 orang dalam satu tempat, belum lagi mereka yang tak sempat hadir menjelma menjadi jamaah al-youtubiyah. Jujur saja, setelah mengikuti perjalanan bersama Mbah Nun, banyak pengalaman-pengalaman batin yang terekam, pemikiran-pemikiran yang tak dibelenggu oleh peradaban. Layaknya kendi kosong yang terisi oleh cipratan air dan tak pernah merasa penuh, selalu saja akan ada ruang kosong yang akan diisi, semakin ruang itu terisi akan semakin kosong. Sejatinya perjalanan yang bermakna dan menggembirakan, kita tak kan pernah merasa lelah ketika berjalan dan mudah puas disaat mencapai sebuah tujuan.

Ingar bingar dunia saat ini, semua makhluk seakan berlomba saling mengejar satu sama lain, sudut pandang yang disuguhkan tentang kebahagiaan fana tak ada habisnya. Kedudukan, kemewahan, dan kepopuleran selayaknya menjadi konsumsi sehari-hari. Namun, Simbah justru mengajarkan sebuah jalan yang dapat diraih dengan ketenangan dan kecerdasan dalam melangkah. Kesunyian justru menjadi sahabat yang dapat menata hati dan menjernihkan pikiran, tak ada peran kecil dalam sebuah proses. Layaknya predator yang berjalan dengan santai, tapi memahami makna dalam setiap langkah dan tahu persis tujuan yang akan digapai kemana. Apa makna simbolis di balik itu semua, itulah yang menjadi bahan diskusi antara Mbah dengan cucunya. Tidak dengan suasana yang mencekam, namun justru dengan suasana yang membahagiakan diiringi canda tawa dan nyanyian. Jika dikaitkan dengan merdeka belajar, inilah semerdeka-merdekanya orang belajar, berpikir secara jernih, luas, terbuka, dan kompleks.

27 Mei 1953 – 27 Mei 2023, bukanlah waktu yang singkat, layaknya filosofi kayu jati yang senantiasa dikatakan Simbah melambangkan keteguhan dan kesejatian hidup. Pohon jati yang sejati semakin tumbuh akan semakin besar, kuat, dan tinggi melindungi pohon-pohon kecil di sekelilingnya, memberikan kedamaian, kesejukan, dan menebarkan kebermanfaatan bagi semua insan. Sugeng ambal warsa Guru Bangsa, Emha Ainun Nadjib, terima kasih telah membersamai dan merawat beberapa generasi, terima kasih telah menulis karya-karya yang sangat menginspirasi, semoga apa yang engkau tanamkan pada peradaban ini akan menjadi kayu jati yang benar-benar sejati, menjadi kesejatian antara kepala dengan badan, pikiran dengan perasaan, intelektualitas dengan spiritualitas, maupun nurani dengan kecerdasan. Meskipun tak tahu kapan akan panen pohon jati, namun yang pasti setiap puasa akan ada hari rayanya.