blank

Dalam siniar endgame yang telah tayang beberapa pekan yang lalu, Menteri Perdagangan era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gita Wirjawan, mengundang narasumber otoritarif dalam ilmu tafsir Qur’an: Prof. Quraish Shihab. Dua tokoh ranggi tersebut berdiskusi tentang banyak hal, salah satunya tentang Islam Wasathiyah.
Jika kebanyakan dari kita mendefinisikan wasathiyah sebagai posisi di mana sesuatu itu berada di antara dua ujung atau (dalam bahasa yang lebih aplikatif) kebaikan yang berada di antara dua keburukan, tidak demikian dengan sang profesor. Beliau mendefinisikan wasathiyah sebagai ketepatan; tepat. Tepat waktunya, tepat kadarnya, tepat caranya, dan tepat sasarannya. Prof. Quraish Shihab tidak setuju dengan definisi wasathiyah sebagai kebaikan yang berada di antara dua keburukan dengan memberikan hujah; karena ada kebaikan yang tidak ada pertengahannya, contohnya adalah keadilan.
Wasathiyah lebih “kompatibel” dengan definisi ketepatan. Tepat waktunya, tepat kadarnya, tepat caranya, dan tepat sasarannya tadi. Sang profesor menambahi argumennya dengan contoh, “Bisa jadi ada sesuatu yang tepat untuk ditegur, tapi bukan waktunya di sana. Mau menegur istri waktu di pesta perkawinan, itu tidak tepat. Mau marah melebihi kadarnya, itu tidak tepat. Tapi kurang dari kadarnya juga tidak tepat.”
Saya merasa isi siniar dari dua tokoh ini relate dengan kejadian di desa saya akhir-akhir ini. Dalam persamuhan yang dihadiri oleh khalayak ramai, tetua desa kami menyampaikan opini bahwa wajah panewu kami mirip dengan Arnold Schwarzenegger; gagah dan gahar. Khalayak ramai yang hadir di persamuhan waktu itu tak ada yang menanggapinya dengan serius. Mereka (mungkin) menganggap tetua kami tengah bercanda. Atau juga, mereka memiliki pandangan yang sama, bahwa panewu kami memang mirip dengan Arnold Schwarzenegger.
Tetangga saya ada yang -entah iseng entah penasaran- menanyakan ihwal opini tetua desa kami itu kepada saya. Sambil garuk-garuk kepala, saya jawab: “setahu saya tak ada yang salah dengan opini.” Bisa saja ada orang yang beropini lain bahwa wajah panewu kami justru mirip dengan Chrisye; sederhana dan lembut. Atau agak mirip dengan Cak Lontong; garang di luar lucu di dalam.
Tentang opini ini, khalayak ramai di desa kami rasanya perlu belajar kepada Majalah Tempo. Majalah yang dibredel di zaman orde baru ini setiap pekannya memuat tulisan-tulisan opini dari orang-orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang dosen, linguis, peneliti, novelis, sastrawan, atau penulis-penulisan seperti saya. Jika tidak setuju atau tidak sependapat dengan opini dari pekolom yang tulisannya dimuat pekan ini, kita bisa menuliskan kontra-opini pada rubrik yang sama pekan depan atau bulan depan. Tapi tentu, kuda-kuda argumen Anda harus kokoh agar tidak roboh dijegal sang redaktur.
Dalam KBBI, opini didefinisikan sebagai pendapat; pikiran; pendirian. Tentu kita tidak berhak menghukumi orang yang beropini. Yang bisa dilakukan oleh orang di luar orang yang beropini hanyalah pada tingkat setuju atau tidak setuju atas opini tersebut. Namun karena tetua desa kami cukup terkenal seantero desa, opini yang disampaikannya dalam persamuhan itu menjadi perbincangan penduduk seluruh desa. Pihak-pihak yang membela panewu banyak yang memprotes opini tetua desa. Bahkan menghujat tetua desa. Sementara orang-orang yang mengenal dengan baik tetua desa kami membelanya dengan argumen masing-masing.
Yang menyejukkan adalah nasihat dari tetua desa kami yang lain. Di tengah-tengah demam lato-lato, tetua desa kami yang lain itu memberikan nasihat; jika bukan mainan, jangan mau dibentur-benturkan.
Nasihat ini sungguh perlu didengarkan oleh sesiapapun seluruh warga desa kami. Pihak yang membela panewu atau yang mengamini opini tetua desa kami musti dengan legawa mengurangi komentar-komentar yang dapat mengurangi kesakinahan desa saya.
Tak perlu ada yang mengungkit-ungkit ujaran “sesama murid tak perlu membuatkan rapor”, karena yang dimaksud rapor di situ adalah penilaian terhadap pribadi seorang murid. Namun dalam konteks opini tetua desa saya, (kalau mau memakai frame pemikiran tadi), maka yang dinilai bukanlah panewu sebagai pribadi, melainkan sebagai panewu yang bertanggung jawab atas seluruh kelangsungan hidup penduduk desa saya.

Kecuali di yaumil mizan kelak, kebenaran mau tidak mau selalu bertaraf nisbi. Tidak mutlak. Bahkan kebenaran (seolah-olah) dapat tertukar bajunya dengan kebohongan.
Adalah Jean Léon Gérôme, pelukis terpegah dari Prancis yang jenius mengilustrasikan kebenaran bertukar baju dengan kebohongan sebagai terjemah dari lukisannya yang berjudul, “Kebenaran keluar dari sumur.” Dia mengilustrasikannya dengan baik seperti ini:
Menurut legenda abad ke-19, kebenaran dan kebohongan bertemu suatu hari.
Kebohongan berkata kepada Kebenaran: “Ini hari yang luar biasa!”
Kebenaran memandang ke langit dan mendesah, karena hari itu benar-benar indah. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama. Mereka akhirnya tiba di sebuah sumur.
Kebohongan memberitahu kebenaran: “Airnya sangat sejuk, ayo mandi bersama!” Kebenaran bukan tanpa curiga, dia menguji air dan memastikan bahwa air itu memang sangat sejuk dan nyaman untuk mandi.
Mereka akhirnya membuka pakaian dan mulai mandi. Tiba-tiba, kebohongan keluar dari air, mengenakan pakaian kebenaran dan melarikan diri. Kebenaran yang marah keluar dari sumur dan berlari ke mana-mana untuk menemukan kebohongan dan untuk mendapatkan pakaiannya kembali. Dunia, melihat kebenaran telanjang, mengalihkan pandangannya, dengan jijik dan marah.
Demikianlah, di abad 19 seorang pelukis Prancis terpegah telah memiliki gambaran tentang kebenaran dan kebohongan yang melegenda. Bahwa kebanyakan orang, bisa jadi termasuk kita, tidak siap melihat kebenaran yang telanjang. []

blank
Penulis kelahiran Pekalongan ini pernah mendapat penghargaan AA Navis untuk cerpennya yang berjudul La Ledo. Buku kumpulan cerpennya yang berjudul Sesobek Kertas di Sepatu Kiri terbit tahun 2006. Dan seorang mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia Uhamka Jakarta menjadikan buku tersebut sebagai bahan skripsi. Pada tahun 2022, penulis menerbitkan buku kumpulan esai sosial-budaya berjudul Melukis Wajah Maling. Saat ini penulis bermukim di Semarang, Jawa Tengah.