Gambang Syafaat
Gambang Syafaat

Pernahkah kita berpikir bahwa menjadi keturunan dari orang yang “bukan siapa-siapa” itu menyenangkan!? Bukan untuk bermaksud menghibur diri atau mendiskreditkan orang tua kita, tetapi—bagi saya pribadi—punya nasab dari “orang biasa saja” sungguhlah menyenangkan. Apa pasal? Begini penjelasan versiku.
Saya termasuk orang yang punya pandangan bahwa segala macam hal di dunia ini punya dua sisi mata uang, sisi positif dan negatif. Dalam konteks tulisan ini, bagi saya punya nasab dari orang terpandang, terkenal, punya jabatan tinggi, jenius, atau apapun yang sifatnya “wow”-pun tak selamanya enak. Masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan menaruh harapan besar bagi anak tersebut untuk meneruskan kehebatan orang tua, atau setidaknya akan membanding-bandingkan dengan pencapaian orang tuanya. Semakin runyam kalau anak sulung orang tersebut adalah laki-laki. Hmm… Double kill jadinya bagi si anak tersebut.
(Tampak) enak memang bagi mereka yang mampu menanggungnya. Mereka punya privilese terutama dalam hal-hal yang termasuk ke dalam lingkar pengaruh orang tuanya, dana besar dari orang tua sehingga tak perlu susah-susah pinjam ke bank untuk memulai usaha, ikut terkenal karena terkerek nama orang tua, dan berbagai jalan pintas lain. Tetapi bagi yang tak mampu menanggungnya, cap sebagai “Si Anak Gagal” siap-siaplah untuk kaupanggul ke manapun dan kapanpun.
Banyak kok contohnya, baik yang mampu maupun yang tidak. Saya contohkan sedikit saja, ya, dari yang mampu terlebih dahulu. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kurang bagaimana coba privilesenya. Beliau adalah cucu dari K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) organisasi Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia. Beliau juga putra dari K.H. Abdul Wahid Hasyim, mantan Menteri Negara juga Menteri Agama pada era Orde Lama, serta ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada tahun 1951. Semakin panjang dan hebat kalau kita runut lagi hingga ke atas. Apakah hal tersebut justru membuat Gus Dur semena-mena dan petentang-petenteng sambil naik Rubicon!? Big no. Gus Dur menjalani kehidupan seperti orang “biasa” pada umumnya. Bahkan di kemudian hari Gus Dur bisa keluar dari bayang-bayang kakek dan bapaknya. Sehingga walau berkecimpung di dunia yang kurang lebih sama (politik dan NU), secara kharisma dan pencapaian—banyak yang menganggap—Gus Dur mampu melebihi pendahulunya.
Sekarang contoh yang “gagal”, ya. Bagi yang suka balap mobil Formula 1 pasti tak asing dengan nama Michael Schumacher. Juara dunia F1 7 kali dan salah satu G.O.A.T-nya ajang ini. Nama besar bapaknya tentu menjadi beban berat di pundak anak sulungnya, Mick, yang juga berkarir di ajang balap. Bahkan, demi menjadi “diri sendiri” dan tak terbebani pencapaian bapaknya, Mick menggunakan nama belakang ibunya menjadi Mick Betsch, alih-alih Mick Schumacher. Singkat cerita, sebenarnya Mick cukup sukses di ajang balap. Namun, karena publik membandingkan dengan pencapaian besar bapaknya, tetap saja Mick dianggap gagal.
Toh, menurut saya, Mick masih mending. Banyak yang lebih gagal. Coba saja cari tahu bagaimana anak Maradona di dunia sepak bola, bagaimana anak Rhoma Irama di dunia musik, bahkan Mas Sabrang MDP yang sudah sebrilian itu saja masih banyak lho yang bilang, “Kok gak seperti bapaknya!?”. Eittss… Saya tidak bilang bahwa Mas Sabrang gagal lho ya. Saya cuma ingin mengutarakan bahwa punya nasab dari orang “wow” itu sungguh tidaklah mudah, apalagi untuk tidak dibanding-bandingkan dengan bapaknya oleh publik.
Yaaa… Allah Maha Adil sehingga benar juga bahwa Rasulullah tidak dikaruniai rezeki berupa anak lelaki. Bayangkan saja bagaimana jadinya kalau Rasulullah punya keturunan laki-laki!? Hmmm… Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Bapak saya “hanya” seorang pensiunan PNS dan untuk hal ini saya beruntung karena publik tidak menuntut bahwa anak PNS juga harus jadi PNS, hehe…
Setiap orang punya jalan masing-masing. Pun, orang tua juga tidak bisa menuntut anaknya agar persis mengikuti jejaknya. Kita juga tak bisa mengatur para lambe turah yang nyinyir dan membanding-bandingkan kita dengan Si Inilah atau Si Itulah. Karena itu pulalah di awal tulisan saya mengatakan bahwa menjadi keturunan dari orang yang “bukan siapa-siapa” itu menyenangkan. Dengan modal nasab bukan siapa-siapa, kita bisa nothing to lose walau kadang tersandung dan terantuk juga. Namun setidaknya, kita yang telah lupa tentang perjanjian pralahir dengan Allah bisa ringan karena tak ada beban nasab di pundak kita saat terus berjalan fii sabilillah demi merangkai kepingan puzzle kisah kehidupan kita sendiri.

Lereng Argopuro, 15 Oktober 2023