blank

Pembahasan nasab di era ini nampaknya tidak lagi menjadi topik baru atau persoalan yang hanya dibicarakan oleh segelintir orang, khususnya yang mendalami ilmu agama. Tersebar dan terkenalnya konsep nasab saat ini tentu memunculkan banyak perbedaan pandangan dan respon dari tiap-tiap manusia. Hal itu disebabkan karena adanya penyalahgunaan nasab (garis keturunan) yang dilakukan oleh sebagian oknum. Seseorang yang memiliki kemuliaan dan kehormatan nasab, seharusnya memposisikan diri sebagai figur yang dapat menyebarkan manfaat dan menjaga perdamamaian. Bukankah nasab merupakan amanah dan tugas suci dari sang Ilahi? Lalu mengapa ada sebagian oknum malah menyalahgunakan kemuliaan nasab untuk memonopoli nasib dan mengeruk hasil demi kepentingan pribadi dan kelompok politiknya. Menyombogkan diri, merasa paling benar, serta merendahkan orang lain yang tidak se-level atau tidak sependapat dengannya.

Tidak heran apabila konsep nasab memunculkan polemik dan perbedaan pandangan. Ada sebagian dari kita yang memahami kemuliaan nasab (garis keturunan) sebagai sesuatu yang secara mutlak harus diterima dan dihormati. Namun sebagian yang lain berusaha menepis konsep tersebut, dengan alasan bahwa kedudukan manusia di mata hukum adalah sama, dan konsep tersebut justru membuat kegaduhan, renggang, dan perselisihan antar manusia. Meskipun bukan hal yang salah, namun anggapan seperti itu belum tentu sepenuhnya benar. Realitanya, masih banyak orang-orang seperti alim ulama, habaib, dan bangsawan yang mendayagunakan kemuliaan nasabnya untuk kepentingan, kemaslahatan, dan kedamaian umat. Maka dari sini, penulis beranggapan bahwa tidak ada yang salah dengan konsep nasab selama tidak menciptakan kerusuhan antara “yang memuliakan” dan “yang dimuliakan”. Konsep tersebut akan rusak ketika “yang memuliakan” bersikap fanatik sehingga ia tidak lagi bisa membedakan antara benar dan salah. Serta “yang dimuliakan” juga bersikap egois, yakni tidak mau membedakan antara hak dan batil. Oleh karena itu pentingnya kesadaran akan tanggung jawab nasab yang dimiliki, serta semangat dan optimisme menjalani hidup dengan nasib yang dijalani.

Pada hakikatnya semua manusia dilahirkan sama atau setara antara satu dengan yang lainnya. Islam pun memandang setiap manusia memiliki kesamaan drajat dan martabat dihadapan hukum. Namun secara sosial, kita dilahirkan dengan latar belakang, keluarga, dan lingkungan yang berbeda-beda. Sebagaimana sebagian kita ada yang terlahir dari keluarga kaya serba berkecukupan, sedangkan sebagian yang lain harus berusaha dan bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada juga yang lahir di keluarga terhormat dan dimuliakan oleh masyarakat sekitarnya. Sedangkan yang lahir di keluarga biasa saja harus berjuang dan belajar lebih keras demi mewujudkan harapan dan cita-citanya, bahkan sebagian yang tidak beruntung harus mau memperkuat dirinya untuk menanggung aib dan dosa-dosa orang tuanya.

Meskipun sejak awal kita tidak pernah tahu dan tidak bisa memilih bakal dilahirkan di keluarga seperti apa, namun kita bisa memilih mau menjalani hidup seperti apa. Untuk itu, perbedaan kondisi nasab yang dilimpahkan kepada kita merupakan rahmat dan tugas suci dari Sang Ilahi. Wabilkhusus yang terlahir di nasab yang terhormat, tentu hal itu bukan sekedar hadiah dan keberuntungan, akan tetapi ada amanah dan tanggung jawab lebih bagi kehidupan.

Membumikan dapat diartikan sebagai usaha memasyarakatkan dan mengaktualisasikan. Membumikan nasab dapat dimaknai sebagai upaya “memahami” dan “menerapkan” kualitas nasab secara sempurna dalam realitas yang ada. Memahami nasab merupakan hal yang penting, karena itu mirip atau sama seperti memahami eksistensi kita sebagai khalifatullah fill ardhi. Dengan memahami nasab, hendaknya kita lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupan, mengambil kesimpulan, dan memberikan keputusan. Sedangkan melangitkan nasib dapat dimaknai sebagai usaha menjalankan nasib dengan tulus dan ikhlas. Kita harus senantiasa melangitkan nasib dengan cara istiqamah dalam berikhtiar, berdoa, dan bertawakal kepada Allah SWT. Selain itu, kita juga harus selalu menunaikan nasib yang dianugrahkan Allah dengan penuh kerendahan hati, keikhlasan, kasih sayang, dan rasa syukur. Karena tidak semua yang kita anggap baik itu baik, serta semuanya tidak harus berjalan sesuai keinginan dan hawa nafsu kita. Sebagai Tuhan, Allah lebih tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk hamba-Nya, Ia lah pemilik skenario dan rencana terbaik baik kehidupan.

Islam sendiri memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki empat kedudukan, yakni Mukarram, Mukallaf, Mukhayyar, dan Majzi. Manusia sebagai mukarram merupakan makhluk yang dimuliakan, karena ia diciptakan dalam bentuk terbaik (fii ahsani taqwim). Maka sebagai mukkaram, Allah telah membekali manusia dengan banyak kemampuan, seperti akal untuk berfikir, hati untuk merasa, panca indera untuk bertindak, imajinasi, intuisi, dll. Manusia sebagai mukallaf adalah makhluk yang diamanahi tugas sebagai abdullah dan khalifatullah. Lalu manusia sebagai mukhayyar adalah makhluk yang memiliki free will (kebebasan berkendak). Tidak seperti hewan dan tumbuhan, manusia diberikan kebebasan untuk memilih, yakni menerima menolak, baik buruk, dan benar salah. Terakhir manusia sebagai majzi adalah makhluk yang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan selama di dunia.

Maka dengan memahami ke-empat aspek tersebut, seseorang hendaknya bisa mengarahkan dan mengaktualisasikan kemuliaan nasab yang dimiliki ke arah yang positif, seperti menjadi figur yang bermanfaat, membawa perdamaian, dan mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat. Membumikan juga dapat dipahami sebagai rendah hati, tidak sombong, dan tidak diskriminatif, yakni dengan membaur, merakyat, dan membumi dengan kondisi masyarakat yang ada. Meskipun demikian, kemuliann nasab tidak menjamin seseorang masuk surga. Karena Allah tidak melihat bentu rupa, harta, dan nasab kita, akan tetapi yang dinilai Allah adalah hati (keikhlasan) dan amalan (kebaikan) kita. Serta yang paling mulia dihadapan Allah adalah manusia yang paling bertakwa (QS. Al-Hujurat: 13).

Sebagaimana Maiyah adalah wadah, forum, atau perkumpulan yang memberikan kita ruang untuk menemukan, menanyakan, menyampaikan gagasan dan mengekspresikan keinginan. Tidak hanya berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman, sastra dan musik juga diberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang di forum ini. Semua rangkaian kegiatan yang memberikan kita pelajaran tentang indahnya “berbagi dan saling menghargai”. Di ruang inilah nasab dibumikan dan nasib dilangitkan, yakni setiap orang saling menghargai nasab yang dimiliki, serta berbagi pengetahuan dan semangat hidup menunaikan nasib yang dijalani.