blank

Dari beberapa pemikiran saya yang saat ini sedang loading mencari data dan informasi, saya memilih maiyah sebagai sender objek asumsi pribadi saya soal pewaris dan perintis.
Secara personal saya belum “lama lama-amat” (meminjam istilah mbah Nun) mengenal maiyah, baru sekitar tujuh tahun yang lalu di Madiun bareng teman teman Waro’ Kaprawiran. Jadi tolong dikoreksi jika ada mis informasi. Yang saya baca begini, awal maiyah dirintis kegiatannya hanya shalawatan. Tidak seperti maiyahan yang kita saksikan saat ini. Jelas banyak hal yang tidak saya ketahui secara faktual mengapa kegiatannya hanya shalawatan tapi saya berasumsi mungkin kondisi saat itu secara sosial, budaya, ekonomi bahkan politik yang bisa dan mungkin dilakukan adalah shalawatan. Saya berkhuznudhon banyak faktor yang tidak mudah dijelaskan secara terperinci di era perintisan maiyah.
Sekian puluh tahun maiyah istiqomah menjadi tempat orang-orang belajar banyak hal, saking banyaknya tidak bisa saya tulis disini. Belajar dari sekian banyak pemateri, sekian banyak tempat dan platform media sosial. Tetapi ketika kita bicara maiyah siapa sosok yang otomatis muncul dipikiran kita? Ya pastinya Mbah Nun lalu KiaiKanjeng. Puluhan tahun Mbah Nun dan KiaiKanjeng menjadi icon yang mudah diingat oleh masyarakat. Menjadi tokoh sentris yang kehadirannya selalu ditunggu oleh masyarakat, baik di acara simpul maiyah ataupun acara lainya.
Hal ini terjadi karena (menurut pribadi saya) selama ini mbah Nun menitikberatkan pembelajaran soal kasih sayang, welas asih, menjadi manusia yang memanusiakan manusia, mau ngem
ong rakyat kecil meskipun beliau punya nama besar.
Jarang sekali beliau ngajak jamaah mikir yang ruwet-ruwet. Sebisa mungkin memberikan solusi atau alternative yang mudah diterima dan dipraktekan. Ciri khas beliau yang saya suka itu tidak suka bicara “yang benar gimana?” tapi “yang baik gimana”.
Namun, maiyah yang sekarang ini menurut asumsi saya, polanya akan berubah. Jamaah maiyah generasi Z atau mudahnya Gen Z lebih didominasi anak-anak muda (belum saya teliti tapi asumsi saya begitu) karakter anak muda adalah berpikir kritis dan berani beda. Tipenya bukan nunggu disuapi “informasi turunan”, maksudnya informasi yang diberikan turun temurun tanpa dia sendiri melakukan riset akan kebenaran informasi tersebut.
Karakter semacam ini akan menjadi liar yang efeknya bisa tidak baik untuk lingkungan dan masa depan bangsa ini apalagi dengan adanya kebebasan bermedia social yang sangat bebas. Jadi mereka tidak lagi sekedar disediakan wadah untuk mereka berekspresi tapi juga perlu tutor yang memiliki pola pembelajaran kritis dan sistematis menyesuaikan zaman sehingga bisa menjembatani karakter tersebut.
Kehadiran mas Sabrang yang saat ini sepertinya lebih intens dibanding sebelumnya istilahnya tumbu ketemu tutup.
Algoritma pembelajaran yang ditawarkan mas Sabrang sesuai dengan karakter Gen Z saat ini. Dengan karakter beliau, generasi maiyah di masa mendatang diharapkan bukan lagi menjadi generasi doktrinisme yang lebih melihat objek daripada nilai. Sehingga saya tidak berasumsi Mas Sabrang akan menjadi ikon baru untuk maiyah di masa mendatang. Mas Sabrang hanyalah bagian dari pewaris. Karena sejatinya seluruh jamaah maiyah adalah pewaris. Pewaris bukan sekedar penikmat tapi harus mau jadi penerus.
Maiyah tidak akan berubah secara nilai, maiyah hanya terus berkembang dan berinovasi dari masa ke masa. Wajah mungkin berubah tetapi fungsi tetaplah wadah.