blank

Tanggal dua lima adalah hari raya bagi anak-anak maiyah khususnya di daerah Semarang, cuaca dari sore hari sudah cerah dan terik, para pekerja dan anak-anak kuliahan yang mengikuti maiyah selalu menantikan tanggal dua lima di tiap bulannya, apalagi di bulan Agustus kali ini Gambang Syafaat didatangi Bapak-bapak Kiaikanjeng.
Bertempat di Museum Ronggowarsito Semarang para jamaah mulai berdatangaan daro jam tujuh malam sehabis sholat isya. Saya pribadi sangat merindukan sholawat bareng dan tawashulan bareng Bapak-bapak Kiaikanjeng, apalagi berbincang dan Sinau Bareng di Gambang Syafaat pada malam itu, acara diawali dengan bacaan Al-quran bersama-sama dengan jamaah yang datang, kemudian diteruskan dengan sesi Sinau Bareng dan sedikit cerita dari Bapak-bapak Kiaikanjeng.
Kiaikanjeng yang sejak awal tahun sembilan puluhan menapaki titik-titik di Indonesia sangatlah patut kita ingat dalam sejarah berjalannya Indonesia, mendamaikan beberapa konflik yang jarang sekali diberitakan di media masa pada umumnya. Saya pribadi sedikit terharu bagaimana kisah Kiaikanjeng dalam blusukan dari desa ke desa khususnya daerah konflik yang mencekam kala itu, diceritakan tentang bagaimana perjalanan Kiaikanjeng menyusuri daerah Kalimantan yang sedang konflik dan berbagai ancaman yang diterima oleh Kiaikanjeng. Tak hanya ancaman fisik yang diterima bahkan ancaman yang non fisik kala itu diterima oleh Kiaikanjeng seperti salah satu personelnya tiba-tiba tertidur di depan pentas sholawat yang sedang berlangsung, jika memakai logika saja pasti tak masuk akal.
Tak hanya perjalanan yang penuh ancaman saja yang menjadi jejak dari Kiaikanjeng, Bapak-bapak Kiaikanjeng juga bercerita asal-usul dari nama Kiai anjeng itu sendiri, yaitu berasal dari alat musik gamelan yang yang mulanya untuk mengiringi pementasan drama Pak Kanjeng. Terlepas dari perjalananya yang begitu heroik bagi saya, sholawat dari Mbah Nun dan Kiaikanjeng begitu mendalam bagi saya pribadi, orang yang tak paham bahasa Arab dan arti lirik sholawat secara lengkap bisa meneteskan air mata ketika sholawat itu dilantunkan.
Dalam hemat saya, ku kira Kiaikanjeng perlu kita tulis dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dari ghirah semangat berjuang mendamaikan dan selalu gondelan klambine Kanjeng Nabi. Perlu kita tulis juga dalam ingatan yang nantinya di bawah sadar kita selalu bersholawat kepada Kanjeng Nabi dan berharap mendapat cahaya syafaatnya.
Malam itu saat Kiaikanjeng bersholawat terlihat banyak jamaah yang menangis terharu, saya tak paham presisis tangis haru mereka karena apa, tapi malam itu saya pun sedikit meneteskan air mata karena memang terharu dengan berbagai macam respon emosi, dari respon emosi yang penuh dosa ketika teringat bagaimana jauhnya saya dengan Tuhan dan Kanjeng nabi sampai respon emosi terimakasih saya dan segala pujian kepada Kanjeng nabi karena jasa cahayanya yang membimbing kita semua.
Kemudian puncak tangis para jamaah saat Mahallul Qiyam, ketika berdiri dan bersholawat bersama-sama, moment yang tak terlupakan bagi saya pribadi, melihat para anak muda menangis haru, para bapak ibu yang khusyuk memejamkan mata dan menadahkan tanganya sampai para panitia Gambang Syafaat yang khusyuk mengikuti sholawat begitu membekas dihati saya. KiaiKanjeng malam itu dan pertemuan sebelum-sebelumnya akan selalu saya ingat dan tulis dalam ingatan saya dan bawah sadar saya, sebuah momentum para anak muda yang menangis mengharu dalam satu malam di Museum Ronggowarsito.