blank

Saya tidak ingat kapan tepatnya, tapi mungkin bertahun lalu sebelum menginjakkan kaki di rantauan, nama Cak Nun bergaung begitu luas tidak hanya di pelosok desa, tapi juga bertempat di hati orang-orang pinggiran. Salah satu yang kemana-mana mengenakan peci Maiyah adalah kakak sepupu saya. Ia dikenal kurang “genap” dan dikucilkan saudara-saudara kandungnya, entah apa yang membuatnya setia dan begitu mencintai Maiyah. Ia rajin mengikuti Maiyah keliling dari satu kota ke kota lain, jika masih di seputar Jawa Timur. Mungkin, rasa diterima, mungkin spektrum Maiyah yang membuatnya merasa “punya arti” dibanding tempat mana pun termasuk di rumah yang tak terasa sebagai rumah lagi baginya. Sedangkan saya, yang tak punya kebebasan bepergian, mengikuti Maiyah dari sosial media.

Maka, persentuhan saya dengan Maiyah terjadi di dunia maya yang saya resapi kemanfaatannya hingga dunia nyata dan keseharian. Yang saya rasakan di lingkar Maiyah adalah pola asah akal, mendadar pikiran, dan melihat kehidupan dari general point of view menjadi commonsense point of view. Maiyah mengajarkan saya untuk menjadi pemain yang waspada dalam hidup, menjadi penonton yang tenang dan tidak ambisius. Menjaga jarak dari setiap hal. Terutama ketika melihat sesuatu, tidak serta merta manut grubug, nggebyah uyah, tapi mengambil jarak praktis untuk menalar terlebih dahulu, menimbang kepantasan dan nglarah untuk dunung atau sadar apa yang sudah, sedang, dan akan saya lakukan. Agar tidak menjadi manusia yang mati sajroning urip, atau buta dalam kewarasan netra. Di Maiyah, saya belajar menerima diri, menerima lingkungan, keadaan, peduli sesama secara moral, material dan mengasah rasa welas asih kepada yang “nampak lemah”. Intinya menjadi manfaat sekecil apa pun perannya.

Di Maiyah, tidak berlaku mengkultuskan segala hal yang tampak istimewa, apakah manusia dengan kelebihannya, apakah kegaiban yang meliputinya dan sebagainya. Kami diajarkan hanya mentaati Allah, mencintai Rasulullah dan percaya, haqul yakin bahwa Allah menanggung rejeki setiap makhluk. Bahkan yang paling mutlak dalam keluasan semesta hanya Allah semata. Allah menjadi puncak segitiga yang membingkai alam semesta beserta segala isinya. Mbah Nun berulangkali menyebut in-lam yakun bika ghadlabun ’alayya fala ubali, asalkan tidak berlangsung suatu keadaan marah-MU kepadaku, maka aku tidak peduli. Maiyah mengajarkan cara-cara realistis dan mengenal apa yang benar, bukan siapa yang benar. Nilai-nilai kehidupan yang membuat kita tidak boleh semena-mena terhadap hak-hak orang lain.
Di tengah kehidupan generasi Z yang semakin modern, namun juga semakin terasa “jahiliah”, logika mana yang kita ikuti untuk mencapai jalan selamat dunia akhirat? Dengan tanpa pengetahuan luas, tanpa kekuasaan, tanpa ilmu, tanpa sangu. Di Maiyah, tidak ada kiai yang menakut-nakuti, jika tidak bisa baca Al Quran, nanti di akhirat masuk neraka, dapat siksaan luar biasa, jika shalatnya tidak khusyu, masuk neraka dapat siksaan sekian ribu tahun dan sebaliknya. Jamaah Maiyah diberi rasa nyaman menghadapi akhirat, mengimani Allah sebagai yang maha rahman maha rahim kepada semua makhluk-Nya. Allah tidak semengerikan yang digambarkan orang-orang.

Rasanya hanya Maiyah yang memiliki prinsip paling logis menghadapi kegilaan perilaku manusia akhir zaman. Melihat, mengamati, menimbang baru merespons, jika diperlukan, jika diam lebih baik, maka sebaiknya tidak menanggapi. Terlebih yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kita sendiri atau yang tidak kita ketahui secara rinci, detail, dan jelas. Bukan mengajak kita tidak peka, tetapi memberi jarak, mengenal peran kita dan apa yang dapat kita lakukan terhadap kekacauan di luar sana. Jika kegelisahan kita tak terbendung, cari informasi valid dan mengungkapkannya lewat puisi atau tulisan tanpa mendistorsi fakta namun juga tidak arogan menjelaskan ketidakberpihakan kita pada pihak tertentu. Di manapun, sepanjang pengetahuan saya, kekacauan nyaris tak pernah luput dari kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat bahkan dalam lingkup lebih kecil, berkeluarga.

Kembali lagi, ber-Maiyah sebenarnya membangun kesadaran fundamental mengenal diri, mengenal Tuhan. Selain merentangkan tangan seluas-luasnya silaturahmi bersama saudara sebangsa setanah air, menghargai nilai kemanusiaan. Jika boleh disebutkan, ber-Maiyah sesungguhnya proses penjernihan akal. Betapa kita tahu kita memiliki akal, namun lebih sering tidak menyadari bagaimana memfungsikannya dengan baik dan benar. Berakal tak menjamin kelengkapan diri menjadi manusia sebagaimana Allah menghendaki seperti dalam kutipan quran surah al baqarah ayat 30 “inni ja’ilun fil ardhi khalifah”.

Mbah Nun memaknai ayat tersebut untuk kita pahami bahwa Allah menjadikan kita sebagai khalifah bagi diri kita sendiri. Mengkhalifahi nasfsu kita, keinginan kita, niat kita dan banyak hal yang sebenarnya harus kita kendalikan. Saya tak lupa, beliau pernah menyebut “realitas manusia hanyalah setitik debu, tetapi nafsu dan keinginannya seribu kali lebih besar dari alam semesta”. Memang benar.

Akhiru kalam, dalam lingkar Maiyah, saya menemukan banyak hal yang tidak saya peroleh di jamiah manapun. Barangkali ini juga yang dirasakan kakak sepupu saya itu. Sebuah rasa aman, rasa diterima dengan ketulusan dan cara memandang hidup, menjalani dengan kegembiraan dan rasa syukur. Sampai lulu lantas menjelma maut yang menariknya berpindah dimensi, ia setia mengenakan peci Maiyah. Semoga ia ber-Maiyah dari alamnya dan tetap ngugemi apa yang diperolehnya dari Maiyah.

Wong Tai Sin, 13 February 2022