blank

Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus berubah jadi karakter. Kesamaan karakter yang melekat pada kumpulan individu namanya budaya. Budaya yang lestari pada sebuah kumpulan dan berjalan dalam rentang waktu yang panjang namanya peradaban. Maka kita paham urusan “kencing berdiri” tok bisa abadi dalam sebuah frame “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Kebiasaan kecil yang sederhana, pada akhirnya, ketika berjodoh dengan konsistensi akan melahirkan sebuah peradaban. Jadilah kita kenal budaya tanding. Sebuah budaya yang kita anggap kurang ‘mashok’ untuk jadi tiang lahirnya sebuah peradaban baru, kita tawar dengan dinamika tandingan.

Budaya bangun siang ditandingi oleh perintah Tuhan untuk sholat subuh (atau sebaliknya untuk yang menganggap bangun pagi perlu ditanding). Budaya kerajaan ditawar dengan budaya tanding republik. IOs ditandingi android (walaupun tidak sepadan, aslinya). Alfamart ditandingi Indomart. Gojek ditandingi Grab. Siang ditandingi malam. Seks ditandingi masturbasi.

Maaf kalau contoh terakhir kurang sopan. Saya cuma tidak ingin kita membahas budaya tanding dalam frame yang absurd, awang-uwung, ndak jelas. Padahal budaya tanding itu sangat jelas. Bahkan kita kerjakan setiap hari, sadar atau tidak sadar. Dalam skala yang kecil atau besar. Gelanggangnya bisa di dalam diri atau di luar diri. Semua mengalami budaya tanding. Semuanya pertandingan. Kanjeng Nabi bahkan lebih ekstrem, menurut beliau pihak pertama yang mesti ditanding adalah diri sendiri. Kalau jamaah maiyah baru kemarin saja diajari bahwa kebekuan itu mesti di-treatment dengan budaya tanding mlungsungi.

Bahkan untuk lebih mendalam dan pulen, budaya tanding mesti digugat dengan banyak pertanyaan: budaya bagaimana yang mesti ditandingi? Budaya seperti apa yang perlu ditandingi? Kenapa ada budaya yang perlu diberikan tandingan? Kalau ada budaya tanding, ke arah mana tandingannya itu digerakkan? Adakah budaya yang cuma perlu dirawat tanpa perlu ditandingi atau dirubah? Apa alat untuk mengukur sebuah budaya itu mesti ditandingi atau dibiarkan saja, atau justru didukung dan diperbanyak?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu saya kira perlu kita hadirkan untuk menyelamatkan kita dari perasaan GR. Ilusi diri, ilusi pengetahuan, kalau dalam bahasa Sabrang. Jangan-jangan apa yang kita sebut “alternatif”, “tandingan”, “carangan”, atau apapun istilahnya, tidak dibutuhkan-dibutuhkan amat. Atau justru kontraproduktif untuk sebuah peradaban. Bisa jadi yang kita lakukan adalah ‘jalan mundur’. Maka pemetaan tentang budaya tanding mesti akurat. Atau mungkin apa yang kita sebut budaya tanding mesti dikasih tandingan terus menerus untuk mengecek tingkat akurasinya sebelum dirilis menjadi aksi. Menandingi budaya tanding.

Seperti kematian dan kelahiran. Repetisinya berkali-kali. Bahkan dalam Maiyah, mati itu setiap hari. Mlungsungi itu setiap saat. Kelahiran dan kematian seolah permainan tanpa ujung. Pun seperti itu sejarah bergulir. Ide baru lahir menggantikan ide lama. Menjadi pakem, kemudian muncul lagi alternatif. Alternatifnya jadi mainstream lagi, beku. Lalu muncul lagi dan lagi alternatif selanjutnya, menjadi pakem-pakem lagi, diruntuhkan lagi. Terus menerus. Dinamis. Dalam bahasa lain, Kiai Kanjeng memberi contoh:

Wes dadi leganing ati (sudah menjadi ketentraman di hati)
Dewe urip ra ming saiki (kita hidup tidak hanya saat ini)
Sak wis e mati njur urip (setelah mati kemudian hidup)
sak wis e urip njur mati (setelah hidup kemudian mati)
urip maneh ing suwargo (kemudian hidup lagi di surga)

Itulah dinamika. Ulang-alik. Mungkin bisa jadi budaya tanding hanyalah seni akting. Kita tidak benar-benar menginginkan perubahan ke arah yang lebih “wa robbun ghofur”, misalnya, melainkan sekadar menyelenggarakan sunatullah dinamika. Bahwa yang beku mesti ditanding oleh budaya baru. Maka kita bikin budaya tanding. Hasilnya bagus atau tidak, kita tidak peduli. Karena yang penting sudah menghadirkan budaya tanding untuk syarat bergulirnya dinamika. Negara bisa jadi cuma akting dengan pemilunya. Pura-pura menghadirkan capres baru yang beda dari capres yang lama. Buzzernya teriak, ini oposisi, ini budaya tanding, pilih yang ini! Ketika kita pilih, ternyata sama saja. Kemudian 5 tahun berikutnya fenomena yang sama terjadi, dan kita tertipu lagi dengan strategi marketing “budaya tanding” yang diteriakkan para timses.

Saya jadi ingat Joe Roegan, host UFC yang suaranya berat itu, pada sebuah series stand up comedy di Netflix, dia melemparkan lelucon, “orang amerika itu tidak punya kesadaran politik, yang penting beda dari sebelumnya, begitulah sikap mereka setiap masa pemilu datang”.

Tentu pembahasan mengenai budaya tanding ini masih mungkin untuk sangat dilebarkan ke skala yang lebih besar dan urgent. Tapi mungkin berhenti sejenak dan merenungkan sindiran Joe Roegan juga perlu. Walau sindirannya khusus untuk orang Amerika. Tapi toh kita juga Amerika banget kan? Ya bukan, tentu bukan soal pemilunya. Soal nonton Netflixnya. Tenang.

Soalnya kalau cuma biar beda, fenomena semacam itu banyak dijumpai di Twitter. Pokoknya beda. Juntrungannya kemana, terserah saja. Pokoknya kontra dengan opini mainstream. Biar apa? Biar edgy! Gus Dur itu juga guru bangsa yang edgy, pokoknya lawan politik berlaku A, Gus Dur B. Nanti kalau pihak itu B, dia A. Kalau rakyat melek, dia tidur. Kalau rakyat tidur, dia bercanda. Kok repot.

Gading Serpong, Juni 2022.