blank

Awal tahun ini menurut ku sangat tidak mengasyikkan. Bahkan cenderung membosankan. Mengapa demikian? Tentu kalian tahu sendiri lah gimana sih kondisi negara tercinta ini? Masih jauh dari kata tenang kan? Bahkan akhir-akhir ini muncul covid model baru, hal itu membuat sebagian sektor menjadi ketar-ketir.

Mungkin bagi sebagian orang munculnya covid model baru atau yang dinamakan “omicron” ini membuat masyarakat resah. Baru aja selesai penanganan covid, kok sudah ada virus model baru. Kondisi semacam ini membuat banyak masyarakat terganggu pola pikirnya. Hidup menjadi tidak tenang, atau bahkan malah cenderung was-was.

Ah sudahlah. Toh itu juga perspektif saya pribadi dengan kondisi saat ini. Tapi memang benar inilah yang membuat saya tidak bisa menikmati tahun baru dengan suasana baru. Padahal saya berharap tahun ini mampu memberikan angin segar. Setelah sekian lama tidak bisa bernafas dengan segar. Eh gak taunya, tahun baru malah virusnya yang baru. Entah memang benar apa adanya atau memang sengaja diadakan. Hehe…

Pusing dengan pikiran sendiri. Akhirnya pada akhir bulan januari 2022. Di sebuah rumah kecil dengan suasana atmosfer kemesraan keluarga yang sangat tinggi. Saya berbincang dengan salah satu teman. Teman saya waktu itu mengatakan “Kok raimu didelok sepet men to? Gek akeh pikiran? Ayo mangkat maiyahan wae,” ujarnya. Jika dibahasa Indonesia menjadi seperti ini “Kok mukamu dipandang kusam amat to? Lagi banyak pikiran? Ayo berangkat maiyahan aja.”

Tanpa pikir panjang saya mengiyakan ajakan tersebut. Padahal dalam benakku juga bertanya-tanya, apa itu maiyah? forum apakah itu? seperti pernah dengar tapi tidak pernah mengikuti kegiatannya.

Akhirnya pertanyaan itu saya simpan, biar menemukan jawaban tersebut ketika sudah berada di acara. Tapi sebelumnya saya selalu mendengar kata maiyah, jika mendengar kata maiyah pasti tidak bisa jauh dari kata Cak Nun. Dulu saya berkesimpulan bahwa orang maiyahan yakni santrinya Mbah Nun. Sebatas itu saja yang saya ketahui tentang maiyah. Keinginan saya datang ke maiyah pun karena ingin ketemu Mbah Nun, melainkan penasaran maiyahan itu apa?

Sesampainya di tempat, tak perlu berpikir lama saya langsung memesan secangkir kopi di warung maiyah. Baru dimulai dari warung kopi saja sudah asyik. Mengapa? Karena penjual kopinya mudah akrab dengan siapa pun ditambah murah senyum. Pasti yang beli kopi di situ ikut tertawa oleh guyonannya. Saya lupa siapa nama orang tersebut, tapi ciri-cirinya tinggi kurus rambut gondrong.

Setelah menunggu agak lama, akhirnya acara maiyah dimulai. Oh iya, berhubung saya ikut maiyahan di Semarang, maka maiyah yang saya ikuti ialah Gambang Syafaat. Kala itu tim Gambang Syafaat tidak sendiri, mereka menggandeng tim grup band bernama Kali Merah. Acara tersebut juga mengundang Gus Aniq, Pak Ilyas, dan satunya lagi saya lupa.

Malam itu maiyah mengangkat tema “Mengarusutamakan Akhlak”. Tema yang cukup menarik untuk diperbincangkan di masa yang sulit dan kacau. Mengingat kemajuan zaman semakin maju, bukan berarti semua aspek dapat berkembang. Melainkan bagi saya, adanya kemajuan teknologi malah membuat penurunan akhlak yang sangat drastis. Maka dari itu perlu adanya diskusi semacam ini.

Sebelum memasuki acara, saya berpikir bahwa maiyah itu mirip semacam pengajian. Yang mana sang kyai menjelaskan dan audien mendengarkan. Layaknya guru dan murid. Tapi setelah saya menyaksikan sendiri ternyata maiyah itu unik. Dimana tidak ada kata guru dan murid, pemateri dan audien, senior dan junior, atau bahkan tua dan muda. Dalam maiyah ini semua golongan menjadi satu forum yang sangat damai dan sunyi. Tidak ada yang menggurui atau merasa paling pintar.

Maiyah merupakan rumah tanpa pintu, yang mana semua orang boleh masuk dan belajar bersama. Tanpa mengenal perbedaan, karena semua makhluk di mata Allah itu sama. Hal unik lain yang saya temukan dalam maiyah, yakni ada kesempatan para pendengar untuk bertanya dan berdiskusi dengan para pemateri. Jikalau mereka masih bingung dengan apa yang sudah dijelaskan maka mereka berhak bertanya apa pun dan mengeluarkan pendapatnya sendiri. Selain itu dalam maiyah juga tidak membatasi kita mau bicara seperti apa. Benar-benar bebas. Layaknya kita menjadi diri sendiri seutuhnya. Bahkan dalam berpakain pun maiyah tidak pernah menganjurkan harus pakai peci atau sarung, layaknya pada pengajian umum.

Hal inilah yang membuat saya mengatakan “Maiyah itu Unik”. Dimana semua orang bisa memasuki forum maiyah. Mau berpakaian semacam apa. Berbahasa seperti apa. Bebas. Maiyah pun mengajarkan kita supaya untuk menjadi diri sendiri. Dalam gemerlapnya Kota Semarang dan sibuknya kegiatan sana sini, ternyata ada forum yang unik seperti ini.

Semua orang penat dengan urusan dunia. Entah urusan utang atau perselisihan antar pengusaha atau bahkan urusan pemerintah yang kian ke sini makin “gak ceto.” Hal semacam itu dapat dikatakan pikiran mulai ruwet. Nah ketika pikiran ruwet, kayaknya pas jika mereka datang ke forum maiyah. Saya merasakan sendiri bahwa maiyah itu dapat mengobati pikiran kita yang agak ruwet. Menjadi pikiran yang tercerahkan. Pikiran cerah membuat pola pikir menjadi jernih dan terarah. Begitulah yang bisa saya cerita tentang maiyah.