blank

Buku Begini-Begitu Emha-Cerita Kecil dari (Surat) Pembaca ini disusun khusus sebagai hadiah ulang tahun ke-67 Mbah Nun oleh penggiat Maiyah Gambang Syafaat. Sebagai anak cucu, kami sudah terlalu banyak diberi kini saatnya kami ingin ganti memberi meskipun tidak seberapa. Hal yang kami rasa paling penting dan paling berarti dari apa yang diberikan oleh Mbah Nun kepada kami adalah ajakannya untuk mencintai Allah, bermesra-mesra dengan Allah dan mencintai Rosulullah. Mungkin banyak orang melihat Mbah Nun berubah-ubah, dari puisi, teater, esai, musik, hingga naskah film. Beliau juga berpindah-pindah dari menemani rakyat yang paling bawah secara ekonomi, menemui tamu setingkat gubernur, menteri, pengusaha, hingga orang dari berbagai kalangan.

Tapi sepertinya Mbah Nun tidak melihat jabatan orang yang ia temui dan menemuinya itu. Beliau melihat tetamunya itu sebagai manusia, sebagai saudara yang harusnya sujud kepada Allah. Maka ketika seorang ketua partai datang, beliau santai saja menerima dengan kaki ningkrang. Tadi saya katakan Mbah Nun berubah-ubah dan berpindah-pindah dengan pergerakan yang sangat cepat, tapi sebenarnya jika kita jeli menyaksikan sebenarnya beliau tidak kemana-mana. Apa yang beliau sampaikan di berbagai forum, yang ia tulis di puisi dan esai-esainya monoton, ajek saja yaitu pernyataan cinta kepada Allah, Rosulullah, dan manusia.

Kami berkesimpulan begitu karena kami telah mengikuti forum beliau di banyak tempat, membaca buku beliau, mengkliping berbagai hal tentang beliau, mulai dari surat pembaca, esai yang beliau tulis, hingga pemberitaan yang mencatat perjalanan beliau. Bahkan sakadar iklan buku beliau yang tertera di koran itu sangat berharga bagi kami. Jika kami pergi ke sebuah kota maka kami akan pergi ke toko buku loak, dari sana kami membeli majalah lawas. Sampai rumah kami akan membuka lembar demi lembar majalah yang kertasnya warnanya sudah menguning itu. Hati kami berdebar jika di sana tertera nama “Emha” atau foto yang memperlihatkan sosok berkumis dan berambut ikal tersebut.

Kadang-kadang kami mesem membaca surat pembaca yang aneh-aneh. Ada surat pembaca yang dari seorang yang miminta diangkat menjadi murid, ada-ada saja (dalam tulisan, “Kak Emha jangan buat aku putus asa”). Dari surat kabar, Mbah Nun mencatat, menganalisa, dan mengomentari segala fenomena yang sedang berlangsung di masyarakat dengan kritis, jenaka, dan sudut pandang yang lain dari yang lain. Dari surat pembaca Mbah Nun dicatat, dikomentari, dianalisa, dan dikritik. Kami menganggap ini sebuah dialog antara Mbah Nun dengan masyarakat. Dari kliping itu kami melihat secara utuh. Tiga hal ini (surat pembaca, puisi, dan pemberitaan) menjadi bab-bab di dalam buku yang disusun oleh Tim Gambang Syafaat yang terdiri atas Muhajir Arosyid, Yunan Setiawan, dan Widyanuari Eko Putra ini.

Kliping-kliping itu lah yang memantapkan kesimpulan kami, Mbah Nun kemana-mana tetapi sebenarnya beliau menetap pada cinta Allah, Rosulullah, dan ummat manusia. Beliau hingga pernah masuk ke diskotik, beliau membaca puisi di sana. Puisi yang beliau baca adalah puisi cinta. Para pengunjung diskotik yang datang untuk berjoget, minum, mendengar musik yang menghentak, menepi sejenak. Mulanya mereka mengira cinta dalam puisi yang dibacakan adalah cinta terhadap lawan jenis, sampai mereka pada akhirnya sadar, cinta yang dimaksud adalah cinta Ilahiyah. Pun, apa yang dilakukan oleh Mbah Nun itu dicurigai oleh teman-teman senimannya. Mereka memperolok, katanya Emha telah elit, telah borjuis, telah diskotik dan berjarak dengan rakyat pinggiran. (dalam tulisan “Berpuisi di Diskotik”). Mereka tidak melihat apa yang terjadi dan maksud Mbah Nun ke sana. Tetapi begitulah, beliau, Mbah kita itu memang sering dicurigai, disalahartikan, dan difitnah. Namun kecintaanya kepada sesama sama sekali tidak pernah luntur, meskipun kau membencinya setinggi gunung. Karena cinta adalah hal yang menetap dalam diri beliau dari dulu, meskipun bentuk cintanya yang beralih-alih wujud.

Pada akhirnya, kami Gambang Syafaat, mempersembahkan buku ini sebagai kado sederhana untuk Mbah Nun, “Mbah Nun, jangan lelah membimbing kami, anak cucumu yang bandel, yang tidak lekas mletik pikirannya, tidak lekas tandang gawe. Maafkan kami Mbah Nun.