Malam hari selepas sampai di Polewali, sebuah kecamatan di Polewali Mandar (Polman) Sulawesi Barat—setahun lalu, beraroma Ramadan serupa saat-saat ini, ada seorang teman yang hendak berjumpa. Kami sebelumnya belum pernah bertemu, namun kami sepakat untuk jabat silaturahmi. Kami tak kenal, hanya karena sebuah organisasi, maka kami saling merespon sapa. Beginilah perjumpaan, tak harus sebelumnya mengenal. Setidaknya, karena sebuah organisasi, atau komunitas, siapa saja dapat mengenal lebih dekat. Begitu pula perjumpaan awal saya di Polewali, kali pertama saya dikunjungi oleh Sahabat Karmuji di sebuah penginapan.
Saya menunggu di ruang tamu di depan penerima tamu (receptionist). Saya sendiri menunggu. Tampak layu, belum mandi, belum juga sekadar cuci muka. Entah apa yang ada di benak kedua penerima tamu penginapan itu. Entah, saya tak mau menebak atau menerkanya. Yang pasti mereka menganggap saya aneh, baru datang dari jauh, namun tak lekas ke kamar, malah menanti tamu, yang entah itu siapa, bagi mereka.
Tiba-tiba ada suara motor melintas di depan. Saya yakin, pasti itu dia, tamu yang saya tunggu, sahabat yang hendak berjumpa. Saya siap berdiri, ketika ia di bibir pintu, jika ada tatapan yang menyambut darinya, saya tinggal langsung berdiri. Biasa, saat perjumpaan dengan orang baru, jika kami saling berhubungan satu komunitas, atau ruang tertentu, pasti selalu saya kenakan atribut atau minimal kaus. Seperti malam ini, saya kenakan kaus terbitan Lesbumi Kendal, bertajuk “Ramadan di Kampung Halaman”, sebuah program penulisan narasi bulan Ramadan yang saya turut serta mengerjakan bersama dengan pegiat di Kendal, Jawa Tengah.
Tepat sekali, begitu tiba di bibir pintu, langsung saya dapat mengenalinya. Meski sempat sudah saling bersapa melalui pesan singkat di WhatsApp, namun saya tak melihat wajahnya. Sebab ia tak menggunakan fotonya dalam profil di WA. Namun, saya mengenalinya. Ia menatap saya dengan tatapan sambutan hangat. Saya pun begitu yakin, jika dialah orangnya. Sahabat Karmuji. Apalagi saat saya melihat kausnya, bergambar Mbah Hasyim Asy’ari. Pasti ini, tidak salah lagi.
“Alhamdulillah, selamat datang di Mandar, Sahabat!” begitu permulaan sapa-sambutnya.
“Alhamdulillah, akhirnya saya bisa jumpa pula. Dan tentu, saya bisa hinggapi tanah Mandar ini,” sambutku, sambil sesungguhnya sedikit menahan lelah. Namun saat berjumpa dengan sahabat, pastilah segala itu runtuh.
Kami saling berkenalan, lalu berlanjut berkisah tentang beberapa aktivitas yang kami lakukan dalam keseharian masing-masing. Tentu segala itu membuat kami semakin dekat, dalam latar belakang kerja organisasi (komunitas) yang begitu berjauhan. Obrolan semakin hangat, hingga saya lupa menawarkan minum kepadanya. Hanya satu botol air mineral yang masih ada, saya berikan. Ia pun tak begitu menanggapinya. Sepertinya tak cocok jika diminum dalam suasana malam seperti ini. Namun bagaimana lagi, saya hendak mengajaknya keluar, namun sepertinya pasti ia pun akan menolak. Sebab ia juga melihat saya baru datang, pasti sangat lelah. Pun saya paham, ia pun sedang sibuk dalam kerja Bawaslu. Begitulah, bulan politik, tentu kerja-kerja beginian ini akan dikerjakan oleh beragam kawan-kawan organisasi, untuk turut serta mengisi peluang-peluang kerja yang sangat membutuhkan keahlian tertentu, dan pasti dari kawan-kawan pegiat sudah sangat akrab dengan kerja-kerja seperti itu.
Saya melihat ke samping, saat saya merasa kedua penerima tamu penginapan mencuri tatapan kepada kami. Entah, sungguh benar mereka pasti mencoba mencuri-curi dengar pula tentang apa yang sedang kami perbincangkan. Meski, sesungguhnya tak ada yang penting-penting juga dalam perbincangan kami. Hanya saja, saya agak merasa kurang enak. Meski, ya saya pun tak jadi soal saat mereka diam-diam mencuri dengar, bahkan mendengar sepenuhnya perbincangan kami.
Entahlah, pasti dalam benak mereka, “Ternyata, tamu ini yang ditunggu-tunggu. Malam-malam begini, di sebuah penginapan, seorang lelaki muda gelisah menunggu tamu. Dan, tamu yang ditunggu, ternyata lelaki muda pula!”
Ah, biarlah. Saya lanjut saja perbincangan dengan sahabat Karmuji. Saya lalu menanyakan tentang apa yang ada di Polewali Mandar, tentu, saya harus menggali berbagai informasi itu. Yang pasti, tentang banyak hal yang tak saya ketahui, atau tak pernah saya jumpai saat di kampung halaman, saat di Kendal, Jawa Tengah.
“Sahabat, kiranya apa yang dapat kau kisahkan kepadaku tentang Polman ini?” pertanyaan klise pun muncul dari bibirku.
“Banyak. Namun, ini ada yang sangat menarik. Dan tentu di kampung halamanmu tiada yang seperti ini,”
“Apa itu, Sahabat?” saking antusiasnya, maka saya penggal perkataannya.
“Saiyyang Pattuqduq,”
“Saiyyang Pattuqduq?” saya sambut pertanyaan kembali atas istilah itu dengan mengeja.
“Ya, Saiyyang Pattuqduq, Sahabat. Saiyyang memiliki arti, kuda. Dan Pattuqduq adalah menari.”
“Berarti kuda yang menari?”
“Benar, Sahabat. Kuda yang menari.”
“Lantas?” saya mencoba menggali dengan pertanyaan kecil, karena tak mungkin pula saya harus bertanya lancang, misal, apa yang menarik dari itu?
“Saiyyang Pattuqduq tidak selalu ada. Sebab, Saiyyang Pattuqduq ini hanya ada saat merayakan sebuah acara Khataman Alquran. Tidak selalu ada.”
“Kenapa hanya ada saat ada Khataman Alquran saja, Sahabat?”
“Begini, Saiyyang Pattuqduq, merupakan sebuah laku adat yang sudah turun-temurun ada di sini. Tentu ini akan menjadi, atau memicu semangat tersendiri bagi anak-anak untuk bergegas mengkhatamkan Alquran. Sebab jika khatam, anak itu akan dihadiahi pertunjukan Saiyyang Pattuqduq itu.”
Saya seakan mencoba untuk menerawang jauh, membayangkan seperti apa. Mencoba sekeras-kerasnya pula untuk mengimajinasikan. Karena sungguh, sebelumnya saya belum pernah tahu Saiyyang Pattuqduq yang dimaksudkan ini. Dan memang, saya sebelumnya tak begitu banyak berselancar di internet atau mencari informasi tertentu tentang Polewali Mandar yang hendak saya kunjungi ini. Alasan saya, hanya satu, saya ingin menemukan kejutan-kejutaan dalam segala perjumpaan yang saya hadapi.
Sahabat Karmuji kemudian melanjutkan kisahnya, sambil ia tahu jika saya sedang melamunkan sesuatu. Maka pastilah, ia pun ingin memecahkan lamunanku. Salah satu caranya, ya hanya dengan melanjutkan kisahnya.
“Dalam acara Saiyyang Pattuqduq, seekor kuda akan ditunggangi oleh seorang anak yang telah selesai, atau khatam Alquran. Ia akan dinaikkan dalam kuda yang dihias berbagai aksesoris layaknya kuda-kuda yang ditunggangi raja-raja pada masa kerajaan. Ia akan diarak beramai-ramai mengelilingi kampung. Betapa bahagianya anak-anak saat mendapatkan segala itu. Dan ini semua, menjadi cita-cita tersendiri bagi kami, bagi anak-anak sini untuk lekas mengkhatamkan Alquran.” Mata sahabat Karmuji sambil mengarah ke mata saya, dengan sepenuh meyakinkan.
“Kuda-kuda yang digunakan dalam Saiyyang Pattuqduq apakah kuda-kuda sembarangan atau kuda-kuda terlatih, Sahabat?” tanya saya, yang seakan begitu sangat lugu.
“Tentu, itu kuda-kuda yang terlatih. Mana bisa kuda sembarangan bisa diajak menari, diarak keliling kampung begitu. Sebab kuda tersebut adalah kuda-kuda yang sudah sangat terlatih dan lihai dalam mengikuti irama rebana. Bahkan saat musik berhenti, kuda pun juga akan berhenti dalam tariannya.”
“Awal mulanya, atau sejarahnya bagaimana tentang Saiyyang Pattuqduq ini, Sahabat?”
“Di daerah bawah sana (Daerah bawah dan atas adalah sebutan dari warga Polman. Polewali disebut sebagai daerah di atas, bagian bawah yang dimaksud adalah daerah ke utara, ada Wonomulyo, Campalagian, Tinambung, dan seterusnya), ada Imam Lapeo, orang sini menyebut Tosalamaq, kalau di Jawa disebut kiai. Beliau salah satu penyebar agama Islam di Mandar, supaya menyemangati anak-anak untuk mengaji, hingga mengkhatamkan Alquran, maka sejak masa beliau pada tahun 1800 an diperkirakan Saiyyang Pattuqduq mulai ada.”
Perjumpaan kami tak terasa telah memakan waktu, satu jam sudah kami lewati. Saya mencoba menoleh ke samping, melihat kedua penerima tamu penginapan. Mereka sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing, ponsel dipegang kedua tangan mereka yang disandarkan di meja receptionist. Ah, meskipun mereka berdekatan, bahkan sangat berhimpit, namun mereka sedang asyik dengan dunianya sendiri-sendiri. Dan sepertinya, mereka telah lupa pula dengan keberadaan kami. Sudahlah, hari sudah larut. Udara di luar bertiup semakin dingin pula. Sahabat Karmuji pun sudah hendak pamit pulang.
“Saya permisi pamit dulu, ya, Sahabat. Suatu saat semoga ada waktu dan kesempatan lain untuk melanjutkan obrolan kita yang seakan terpenggal waktu yang semakin larut ini. Selamat beristirahat dan semoga lancar dalam segala urusan dan menikmati tinggal di Polman ini,” ucap sahabat Karmuji sembari hendak undur diri.
Saya mengantar sampai di bibir pintu penginapan, di sebelah ruang tamu, di hadapan kedua penerima tamu penginapan itu. Sahabat Karmuji menyalakan motornya, lalu ia kendarai melalui gerbang penginapan, menuju ke arah kanan. Saya pun berjalan masuk kembali, melewati kedua penerima tamu itu. Mereka tersenyum manis menyambut senyuman yang saya tebarkan pula. Saya cukup lega. Entah, mereka lega pula atau sebaliknya. Saya tak peduli. Yang utama bagi saya kali ini adalah masuk ke kamar. Mengistirahatkan tubuh, setelah menempuh perjalanan cukup panjang.[]