blank

”Alhamdulillah…,” sahut Habib Umar Al Muthohar tampak terkejut melihat kedatangan Mbah Nun dan rombongan. Beliau langsung menyalami dan memeluk Mbah Nun. Tampak wajah keterkejutan dan kebahagiaan yang terpancar di wajah beliau berdua. Maklum saja. Habib Umar dan Mbah Nun adalah dua sahabat yang lama tak bertemu. Sekali bertemu kok tak sampai setengah jam, tidak seperti beberapa tahun dulu, saat Habib Umar dan Mbah Nun membersamai Jamaah Maiyah Gambang Syafaat sampai pagi menjelang. Setelah bercengkerama sejenak, Habib Umar pamit pulang dan Mbah Nun melanjutkan perjalanan menuju makam Sunan Kudus. Persis di depan pintu masuk komplek makam Sunan Kudus, Mbah Nun dan Habib Umar berpapasan.

Di sekeliling tempat Mbah Nun dan Habib Umar berpasasan, tampak pemandangan ibu-ibu dan bapak-bapak yang sedang menyiapkan Sego Jangkrik—makanan khas Kota Kudus—yang akan dibagikan pada pagi harinya kepada warga setelah peringatan acara penyambutan 10 Muharram tersaji. Ibu-ibu yang mengetahui orang yang berpakaian putih dan mengenakan peci bundar dengan warna merah di tengahnya itu adalah Cak Nun kaget dan tidak mengira bakal bertemu dengan orang yang mungkin sering mereka lihat di yutub. ”He… Cak Nun,” teriak ibu-ibu yang gembira mendapati kedatangan Mbah Nun. Mereka yang semula khusyuk melakukan aktivitas memotong daging kerbau, membungkus nasi, dan yang lainnya sejenak ”terganggu” oleh kedatangan Mbah Nun. Aktivitas itu berhenti sejenak berganti dengan keinginan mengerubungi Mbah Nun agar bisa bersalaman. Mbah Nun dengan ringan tangan menerima uluran tangan ibu-ibu, bapak-bapak, mas-mas, dan mbak-mbak meski noda bekas membukus nasi dan memotong daging masih melekat di tangan mereka. Mumpung ada momen langka, batin mereka, sekalian saja minta salaman dan foto bareng dengan Mbah Nun. Permintaan itu dituruti Mbah Nun, meski tidak semua bisa kedapatan jatah.

Setelah berkeliling melihat proses pembungkusan nasi jangrik yang akan dibagikan pada pagi 10 Muharram, Mbah Nun dan rombongan melanjutkan menuju ke makam Sunan kudus. Sepanjang jalan tampak bapak-bapak dan mas-mas kerjabakti menyapu, menyikat, mengepel area komplek makam Sunan Kudus. Setelah tiba di depan makam Sunan Kudus, Mbah Nun sejenak membaca doa lalu masuk ke dalam. Ada Habib Anis dan penggiat Simpul Maiyah Semak Taddaburan Kang Ali yang turut membersamai Mbah Nun masuk ke dalam makam Sunan Kudus. Syekh Abdul Jalil yang tidak ikut masuk masuk ke dalam kebetulan duduk di samping kiri saya. Dari tempat saya duduk, saya mendengar Syekh Jalil berbisik,” meski sudah menjadi orang besar, tetapi tidak lupa mengunjungi leluhurnya.” Saya tidak tahu kepada siapa pernyataan itu ditujukan. Saya ingin menanyakan soal itu kepada Syekh Jalil tapi saya urungkan. Jam di tangan menunjukkan pukul 02.00 WIB, situasi di makam sunyi karena semua pada khusyuk berdoa. Tidak enak kalau membuat kegaduhan kecil. Saya membatin saja kalau orang yang dimaksud oleh Syekh Jalil adalah Mbah Nun.

Pada satu kesempatan Sinau Bareng di Lapangan Rendeng beberapa waktu lalu, Mbah Nun mengatakan bahwa ketaatan warga Kudus kepada Sunan Kudus membuat kota ini bisa menjaga toleransi antar umat beragama selama berabad-abad. Ketaatan itu adalah soal anjuran tidak boleh memakan daging sapi di Kudus. Konon, anjuran itu dikeluarkan oleh Sunan Kudus kepada warga Kudus agar tidak menyinggung keyakinan umat Hindu yang memuliakan sapi. Anjuran itu sampai kini masih ditaati. Satu contoh kecil saja saat Anda mengunjungi Kota Kudus. Anda akan sangat mudah mendapati soto kerbau atau soto ayam, tetapi tidak akan pernah mendapati soto sapi. Ketaatan itu membuat warga Kudus tidak membuat kotanya pernah masuk berita kriminal di televisi karena konflik yang disebabkan perbedaan agama. Dan, sosok Sunan Kudus yang bisa merangkul warga yang berbeda keyakinannya pantas menjadi contoh kita bersama. Barangkali itulah yang membuat Mbah Nun setelah kurang lebih empat jam mengisi acara sinau bareng di SMA NU Al-Ma’ruf dan meladeni salaman dengan ribuan jamaah, memilih tak langsung pulang tetapi menyempatkan berziarah ke makam Sunan Kudus. Padahal esok pagi (10 September 2019), beliau sudah harus terbang ke Jawa Barat, membersamai mahasiswa-mahasiswi Universitas Padjajaran sinau bareng.