blank

1/

Bagi masyarakat Jawa, istilah “Punakawan” sudah tidak asing, bahkan hampir di setiap pagelaran budaya dan kesenian tradisional, tokoh ini selalu dihadirkan. Jannatul Maiyah Gambang Syafaat (GS) pada bulan September ini membawakan tema “Jagat Semar”. Semar merupakan salah satu tokoh Punakawan. Selain Semar ada Bagong, Gareng, dan Petruk. Di sebalah kiri halaman Masjid Baiturrahman, Simpang Lima, Semarang, satu per satu jamaah melingkar. Satu per satu jamaah memiliki “jagat”-nya untuk sama-sama belajar dan urun rembug. Acara dimulai dengan pembahasan isi mukadimah secara singkat oleh Mas Hajir dan Pak Bambang Iss.

Dalam Mukadimah GS dijelaskan bahwa, ”Nyemar atau laku Semar adalah laku ngemong, mengemban tugas untuk mengayomi. Laku Semar bukanlah laku yang mudah, ia rela mundur, berperan menanggung beban tetapi bersembunyi. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Momongannya bisa saja nakal, gembelengan dan menjengkelkan. Tapi jalan Semar bukan jalan perang, ia bersabar. Meskipun sekali kentut momongannya bisa kalang kabut. Tapi Semar menahan diri, ia mempertimbangkan efek atau dampak akan mengenai orang-orang yang tidak berdosa.Semar adalah manusia bervisi panjang. Jika bukan dia yang akan berubah, mungkin anaknya atau mungkin cucunya. Di Indonesia, laku Semar itu diemban oleh banyak orang. Petani itu menanam meskipun panen belum tentu berhasil, lahan mahal, pupuk susah didapat, dan panen seringkali dibeli murah, tetapi mereka terus menanam, karena mereka ngemong. Petani berkata “Jika saya tidak menanam, orang-orang mau makan apa?”Para pelaku seni seperti kelompok Wayang Orang Ngesti Pandawa juga begitu. Mereka pentas seminggu sekali meski kursi jarang penuh, tetapi mereka jejeg di tengah masyarakat yang hingar bingar dan gaduh. Ngesti Pandawa ngemong masyarakat melalui pementasan yang mereka lakukan.Sebagaimana peran, maka Nyemar kita bergantung pada lingkup pengetahuan dan pengaruh kita. Bisa lingkup kebudayaan, pendidikan, kampung, kota, atau momongan kita bernama Indonesia”.

Foto: Dok. GS | Lokasi : Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang

Tokoh Semar lekat dengan dunia pewayangan. Sayangnya, seni pertunjukkkan wayang mulai ditinggalkan kawula muda. Jangan-jangan nanti setelah wayang tidak digandrungi lagi. Sosok Semar bisa dilupakan. Pak Iss yang baru selesai menulis buku satu kelompok pertunjukan wayang wong Ngesti Pandowo turut berbagi cerita tentang kondisi pertunjukan mutakhir. Pak Iss menyampaikan kegelisahannya bahwa popularitas wayang wong di Jawa Tengah sudah tidak semeriah era sebelum kemerdekaan hingga puncak popularitasnya pada era tahun 80-an hingga 90-an. Termasuk juga Ngestii Pandowo yang saat ini tengah dalam masa sulit. Bukunya yang terbaru berjudul “Jalan Sunyi Ngesti Pandowo: Poros Terakhir Seni Pertunjukan” menjadi bukti nyata bahwa perkembangan wayang wong saat ini tengah dalam masa-masa sulit. Ibarat roda kehidupan. Ada masa-masa kejayaan, ada masa-masa sulit. Itulah yang Pak Iss bagikan kepada jamaah GS malam itu, yakni mengajak kawula muda untuk mencinitai budaya yang kita miliki. Mencintai wayang wong yang dimiliki oleh Jawa Tengah.

Memantik sumbu semangat jamaah, Gus Aniq menyampaikan perihal “Jagat Semar”. Gus Aniq mengatakan bahwa Semar sering diistilahkan sebagai Paku Buwana, pathok, atau kayon. Yakni sebagai paku bumi, yang menjaga keseimbangan bumi/semesta. Semar juga dipahami sebagai pengayom, jembatan horizontal dan vertikal. Dalam pemahaman orang Jawa, semesta dibagi menjadi dua yakni “jagat gedhe” dan “jagat cilik”. Jagad gedhe yakni alam semesta ini dan jagat cilik adalah manusia. Jadi di dalam diri manusia terdapat manifestasi-manifestasi jagat gedhe. Maka ketika manusia lepas kendali, yakni berbuat sesuatu yang merusak harmoninya “jagat cilik”, rusak pada dirinya, maupun merusak alam (jagat gedhe). Maka keseimbangan dan harmoni semesta juga akan ikut goyah/rusak. Karena Bumi merupakan pusat semesta, dan manusia adalah poros semesta.

Foto: Dok. GS | Lokasi : Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang

Menanggapi apa yang disampaikan Pak Iss, Gus Aniq memberikan respon bahwa wayang wong, para seniman baik seniman lukis maupun yang lain merupakan ulama ahlul dzikri. Dalam penjelasannya Gus Aniq menerangkan bahwa ulama ahlul dzikri ini adalah ulama yang sudah mbalung sumsum ilmunya, karena para seniman ini menurut Gus Aniq selalu takjub akan kebesaran-kebesaran Sang Khalik yang kemudian direpresentasikan ketakjuban itu melalui ruang-ruang budaya, semisal lukisan atau wayang. Karya seniman melambangkan seni kehidupan, seni yang juga mengandung unsur spritualitas, ketakjuban kepada Tuhan. Maka karya seniman atau ulama ahlul dzikri itu lestari, karena kebudayaan atau karya yang mengandung unsur spiritualitas larinya kepada ketakjuban akan kebesaran Tuhan. Lebih lanjut Gus Aniq menjelaskan bahwa ada tiga tipe ulama. Yang pertama, “ulama” yakni orang yang takut kepada Allah. Kedua, yakni “Ulama Robbani” yakni ulama yang gemar mendaras, mengkaji kitab dan mengajarkannya. Ketiga yakni “Ulama Ahlul Dzikri” yakni ulama yang bertugas sebagai konsultan, menjaga dokumen Ilahi, serta mempelajari kehidupan. Seniman adalah ulama ahlul dzikri, yang senantiasa mempelajari seni kehidupan dan menuangkannya lewat kesenian dan kebudayaan.

2/

Kang Dur yang selalu tampil jenaka mulai berjalan-jalan di tengah lautan jamaah yang ingin merespon, baik sesuai tema yang sedang dibahas maupun di luar tema. Pertanyaan di luar tema tidak menjadi masalah, karena dalam Maiyah kita dituntun untuk sama-sama belajar dari siapapun dan di mana pun. Respon datang dari Nanang asal Rembang. Dia mengungkapkan kegelisahannya, “Kita selalu diingatkan untuk melakukan segala sesuatu berorientasi kepada akhirat, namun ketika kita melakukannnya kita tidak bisa melupakan hal-hal duniawi. Lantas bagaimana caranya kita bisa melakukan sesuatu yang berorientasi kepada akhirat?”

Mas Sabrang pertama kali meresponnya. Mas Sabrang mengatakan bahwa semua hal di dunia itu ada hubungannya dengan akhirat. Aspek akhirat pada segala sesuatu di dunia baik berupa benda, maupun non benda itu kita bisa lihat sisi-sisi akhiratnya. Semisal saja hal yang remeh seperti sifat rakus, dalam sifat rakus itu mengindikasikan bahwa sifat yang ingin menguasai semuanya. Namun dalam sifat itu kita bisa belajar bahwa semua yang ingin dikuasai itu pada haikatnya “ada yang punya”. Lanjut Habib Anis mengatakan bahwa di dunia itu satu jalur, satu garis lurus antara dunia dan akhirat. Ibarat tubuh, ada jasmani dan rohani, tak bisa di penggal-penggal. Saat kita salat, kita tak bisa jasad/jasmani saja, namun rohani kita juga turut serta.

Foto: Dok. GS | Lokasi : Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang

Om Budi Maryono juga ikut merespon. Om Budi mengatakan bahwa dalam beribadah, kita harus ikhlas. Ikhlas itu ibarat orang yang buang kotoran. Yaitu hal-hal yang harus kita buang dan tidak perlu kita ingat-ingat lagi. Namun saat ini dalam beribadah, kita fokus pada “perintah” beribadah, bukan fokus kepada “siapa” yang memerintahkan kita untuk beribadah. Saat dalam keadaan malas, malas melakukan sholat seumpamanya, kita sering beralasan untuk tidak sholat. Namun kita tidak berpikir, “siapa” yang membuat kita bangun dari tidur. Malas juga berarti posisi lupa siapa kita. Kita cuma diperintahkan untuk menjalankan. Maka saaat kita dalam keadaan malas, lanjut Om Budi, saat itulah kita harus giat-giatnya.

Dalam beribadah, Habib Anis melanjutkan, lebih baik kita istikamah. Karena saat ini kita hidup di zaman yang serba instan, dan penuh dengan kepalsuan, penuh dengan citra. Yang kita konsumsi sehari-hari, saat ini bukanlah sesuatu yang murni, namun citra. Untuk meraih sesuatu, lanjut Habib Anis menerangkan, “Kalau anda istikamah, pasti akan ada ujian, tapi hasilnya akan lebih berkah dan abadi”. Berkah berarti “cukup”, cukup atas apa yang anda butuhkan. Istikamah dalam hal apa pun, meski dalam kondisi sempit, itu lebih mulia. Peradaban sekarang adalah peradaban citra. Peradaban ini butuh hal-hal instan, maka untuk menghilangkannya, kita musti hidup dalam cara istikamah/berproses.

Foto: Dok. GS | Lokasi : Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang

Habib Anis melanjutkan, “Kelebihan manusia yang diputus oleh manusia itu sendiri saat ini ialah ilmu intuitif”. Pengetahuan yang membuat kita tunduk kepada Allah itu adalah ‘alim. Kita membuktikan adanya matahari, bulan dan ciptaan Allah yang lainnya dapat kita renungi sebagai pencarian pengetahuan yang membuat kita tunduk kepada Allah. Mas Sabrang mengatakan bahwa manusia, adanya kita di sini 100 persen adalah pinjaman. Maka kita tidak sendirian, dan manusia selalu berhubungan dengan alam semesta.

3/

Respon kembali datang, sekarang dari saudara Muh. Ihsan asal Demak. Dia menanyakan tentang jagat Semar. Ihsan mengatakan bahwa kita harus belajar sejarah untuk mengetahui tentang Semar, supaya kita mengerti hikmahnya. Mas Sabrang menjelaskan bahwa sebuah pemahaman dari suatu pencarian, oleh seorang pecinta dan pencari ilmu merupakan rejeki. Akar dari pengetahuan adalah “wonder”, keinginan, rasa penasaran yang menghasilkan “science”/ilmu. Lalu manusia melakukan pencarian filosofis, “Mengapa ada kehidupan?”, dan semua itu terjawab oleh “agama”. Habib Anis menambahkan, dalam pencarian ilmu, pentingnya menanamkan kesadaran tentang Allah yakni tujuan ilmu itu sendiri. Ibarat lautan adalah tinta, dan nyiur kelapa adalah penanya.

Foto: Dok. GS | Lokasi : Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang

Mas Sabrang melanjutkan, “Semar memiliki saudara yakni Batara Guru dan Togok”. Semar adalah guru dari Pandawa, yang mengajarkan tentang ilmu batin dan konon turun di sekitar Gunung Lawu, Tanah Jawa. Semar, jika kita renungkan sifatnya yaitu “berbuat sebisanya, tidak usah berlebih-lebihan”. Sedangkan Togok adalah penasehat Kurawa, mengajarkan ilmu akal dan konon turun di Sungai Rhine, Jerman. Berkaitan asal-usul Semar, kenapa berperut besar, sedangkan Togok memiliki mulut yang pecah memiliki nilai filosofis tersendiri. Semar berperut besar karena mampu mewadahi seluruh isi dunia. Sedangkan Togok, ketika mau menelan dunia tidak kuat, sehingga mulutnya pecah. Karena Togok merupakan penasehat dari Kurawa, maka secara filosofis diibaratkan sebagai orang yang terus menerus memberikan nasihat, memberikan petuah. Meski “digugu” ataupun tidak, dia berkewajiban untuk terus memberi nasehat.

Pak Ilyas memberikan gambaran bahwa Maiyah itu seperti Togok, selalu memberikan nasihat-nasihat, meski terkadang tidak didengarkan. Lanjut Pak Ilyas menerangkan bahwa Semar menelan segala sesuatu yang enak dan tidak enak, sehingga perutnya membesar, walaupun perkara baik atau buruk tetap dituntun untuk menuju ke arah yang lebih baik. Ibarat Maiyah, menampung segala perkara baik maupun buruk untuk dijadikan pembelajaran bersama. Sedangkan Batara Guru digambarkan memiliki perut yang kecil, secara filosofis Batara Guru sudah bisa menyelesaikan segala perkara dunia. Batara Guru memiliki watak ksatria, tidak takut mati dan berani melawan. Namun saat ini, Habib Anis menjelaskan, di peradaban yang serba instan kita sudah sangat sulit menemui jiwa Semar. Karena banyak orang yang “berdandan” seperti Semar, dia diagung-agungkan, padahal hanya sebuah citra. Yang terjadi sebaliknya, malah saat ini Semar yang asli dikejar-kejar orang karena dianggap palsu. (Maulana Malik Ibrahim)