blank

Mbah Nun masuk bergabung dengan jamaah Gambang Syafaat edisi Jumat (25/5) pukul 22.00 WIB. Lantunan shalawat mengiringi kehadirannya. Para jamaah berdiri menyambut, ada ambengan berjajar, setelah berdo’a dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, ambengan itu disantap bersama-sama. Do’a dan ambengan itu sebagai cara anak cucu beliau mendo’akan ulang tahun Mbah Nun yang ke 65 tahun. 27 Mei nanti Mbah Nun berusia 65 tahun. Gambang Syafaat pada edisi ini mengangkat tema “Ruang Tumbuh”, Maiyah dengan metode, model, dan kelenturannya memungkinkan menjadi ruang tumbuh di antara kebudayaan yang cenderung saling mengunci dan membuat berhenti.

Tentu saja tidak semua jamaah bisa menikmati ambengan yang telah disiapkan oleh pengiat, mengingat yang hadir pada malam itu membludak. Setelah salam dan shalawat, Mbah Nun menyampaikan “Saya ucapkan terimakasih kepada anak-anakku Gambang Syafaat yang sudah mengingatkan ketuaan saya – 65 tahun, Alhamdullilahirobbilalamin. Saya mohon maaf karena nanti tidak bisa sampai pagi, sebelum pukul 12.00 WIB. saya harus meninggalkan tempat ini karena besok pagi harus berangkat ke Bogor, Anda tahu jadwalnya padat sekali. Kita manfaatkan waktu yang pendek ini seefektif mungkin.” Begitu pembuka Mbah Nun, meskipun pada kenyatannya Mbah Nun pada akhirnya meninggalkan para jamaah dengan berat hati pukul 01.00 WIB (26/05).

Di awal-awal Mbah Nun mengajak untuk memaknai lagu Indonesia Raya yang barusan dinyanyikan bersama-sama. Lagu ini di awal-awal tidak dinyanyikan dengan kekompakan mengingat memang tidak latihan terlebih dahulu. Ada yang mengambil nada atas dan ada pula yang mengambil nada bawah, saling berdesak-desakan namun pada akhirnya keselarasan itu dicapai di akhir. Inilah yang namanya organisme. Mungkin kita bertentangan di awal-awal tetapi kalau kita memiliki niat baik pasti ditolong oleh Allah, begitu kata Mbah Nun. “Maiyah adalah meniru organismenya Allah dengan sejumlah upaya organisasi tetapi tidak menjadi institusi. Organisasi artinya adalah mengatur organ-organ, tetapi kalau institusi adalah resminya badan itu sebagai suatu lembaga. Nah kita tidak melembaga. Kita Cuma organisasi meniru organisme yang diciptakan oleh Allah SWT.”

Mbah Nun mengajak untuk mentadabburi “Wal Asry innal insanalafi…hingga selesai”. Di sana ada ‘kebenaran dan kesabaran’ mari kita dialektikakan dan tempatkan dengan benar. Jangan salah kita menyuguhkan yang masih mentah kepada tamu. Jangan sampai menyuguhkan kopi yang belum kamu seduh kepada tamumu, karena kebenaran itu bahannya bukan hasil makanannya atau suguhannya. Kalau di dalam teori Barat – kebenaran, keindahan, dan kebaikan itu memiliki wilayah sendiri-sendiri. Jika kebenaran itu urusan intelektual di kampus, jika kebaikan itu urusan kiai, ulama, pastur, dll, sedangkan keindahan itu urusan seniman. Akhirnya manusia dibagi-bagi, dananya juga dibagi-bagi maka jadilah manusia menjadi manusia sepertiga semuanya. Ada manusia yang urusannya kebenaran dan kesalahan belaka, ada manusia yang urusannya kebaikan dan keburukan belaka, dan ada pula manusia urusannya keindahan dan ketidakindahan belaka.

Di maiyah kita berusuha mengutuhkan manusia lagi, Alasannya adalah karena kebenaran ada diri kita, kebaikan kewajiban kita, keindahan adalah hasil kita. Prinsip dasarnya adalah kebenaran adalah bahan mentah, bahan mentah itu ada kubis, brambang, dll dan itu jangan disuguhkan kepada orang. Kebenaran itu diciptakan untuk menciptakan kebaikan – caranya kamu olah bahan dasar ini, bahan mentah ini menjadi sesuatu yang indah.

Mbah Nun bertanya, “Mohamad Salah kae maine apik opo bener?” Ia adalah pemaian yang baik, jadi jangan bertengkar mengenai kebenaran karena kebenaran bukan untuk dipertengkarkan. Allah mengatakan bahwa kebenaran itu milik Allah tidak dari manusia. Hasil dari kita itu adalah kebaikan dan efek dari diri kita itu adalah keindahan.”

Mbah Nun menegaskan melalui contoh lain yaitu tempe. “Tempe penyet itu gurih. Gurih itu baik, bener, indah? Ok gurih (rasa) itu masalah keindahan. Jadi indah itu efek dari kebaikan. Maka Allah menyarankan untuk berlomba-lomba ke kebaikan bukan berlomba-lomba ke kebenaran. Fastabiqul khoirot, bukan fastabiqul haq, bukan fastabiqul ilmi. Berbuat baik itu bukan hanya mengasih orang duit, berbuat baik itu tidak hanya bersedekah, berbuat baik adalah yang mengubah dunia menjadi keindahan. Memayu hayuning bawono. “Yang teori dasar kita sudah hafal, pokoknya kalau pari jangan dikrokoti, ning ditutu, itulah berbuat baik, nutu pari berbuat baik, jadi beras berasnya kamu masak itu juga berbuat baik, nasi kamu sertai sayur itu berbuat baik, terus itu menjadi hidangan dan kamu hidangkan kepada temanmu yang sedang kaliren itu juga berbuat baik.”

Perbuatan baik itu tidak hanya salat. Mbah Nun lagi-lagi mengajukan pertanyaan, “Jika ada orang rajin salat itu prestasi bukan? Jika ada orang hafal Alquran itu prestasi bukan? Hafal Alquran itu benar tapi sudah menjadi prestasi apa belum? Menjadi prestasi jika setelah hafal Alquran kamu menjadi manusia yang lebih lembut, lebih trisno itu baru prestasi. Menjadi doktor juga belum prestasi, menjadi prestasi jika kedoktorannya memberi manfaat sosial – itu baru yang namanya kebaikan.

Kemudian Mbah Nun mengajak untuk mengurai wal asry yang selama ini diartikan sebagai demi massa. Tentang ini ada banyak timbul pertanyaan-pertanyaan. Jika artinya demi waktu mengapa tidak wal wakti, kalau ini asyar mengapa tidak dhuhur dan tidak subuh? Mbah Nun memberi tafsir tentang wal asry itu. Menurutnya demi massa itu adalah – massa itu yang memuat ruang dan waktu. Wal asry demi ruang dan waktu, salah satu sifat waktu adalah memberi irama. Allah menganugrahkan kepada manusia melalui waktu berupa irama. Hal itu bisa kita lihat dari sesuatu yang dilagukan dengan cepat dan sesuatu yang dilagukan dengan lambat. Tentang irama itu ada irama tahunan, ada irama bulanan, ada irama harian, ada irama jam, ada irama menit, ada irama detik. Dalam irama harian ada siang dan malam, kemudian kita mulai mengatur kapan melakukan apa. Siang bekerja, malam istirahat, dan lain-lain. Ramadhan bagi Mbah Nun adalah bagian dari irama tahunan. Ramadhan kita diminta untuk tafakur, iktikaf, kontemplasi, “Kamu disuruh melakukan perjalanan ke dalam dirimu – sebelas bukan yang lain kamu melakukan perjalanan keluar dirimu. Ketika salat kita diumpamakan oleh Allah dunia di belakangmu. Tetapi ketika di luar salat Allah kamu letakkan ke dalam dirimu terus kamu melakukan atau mengerjakan dunia. “

Jika dalam sehari ada dhuhur, asyar, magrib, isyak, subuh maka Allah menunjukkan kepada kita bagaimana irama kita setiap hari. Irama mingguan bisa dilihat dari pembagian waktu untuk bekerja. Misalnya kerja di mulai hari pertama yaitu Ahad atau Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat. Hari jumat adalah saat kita melakukan rekap atas kerja yang kita lakukan sejak Ahad. Hari ini adalah hari untuk rembuk, membicarakan segala sesuatu setelah jumatan. Sampailah kita pada hari sabat-Sabtu. Hari ini adalah hari saat kita merenung masing-masing. Sabat itu artinya kontemplasi dan kita melakukan renungan sehingga kita akan lebih siap saat melakukan pekerjaan pada hari pertama yaitu Ahad. Demikianlah Mbah Nun menerangkan tentang irama mingguan.

Kembali lagi ke irama tahunan, bulan puasa sama dengan hari Sabtu yaitu saat atau waktu untuk kontlemplasi. Kita bekerja selama sebelas bulan terus bertemu bulan puasa untuk rekap, menghitung kembali untuk muhasyabah, tafakur, iktikaf. Maka bulan ini disebut siam dan saum. Siam puasa untuk maksud sosial dan saum itu puasa untuk maksud internal koreksi dalam diri kita. Siamu romadhon dan saumu romadhon dua kata yang sama tetapi penggunaannya berbeda.

Mbah Nun mengajak untuk merekap, meneguhkan kembali apa yang sudah kita dapatkan dalam Sinau Bareng yang sudah berjalan selama ini.