blank
Mereka yang berdebat, dari kiri: Cak Nun, dr. Kartono, Wendo dan Dono.

Di penghujung tahun 1995 (9-10 Desember), majalah HumOr mengadakan acara bertajuk ”Debat Publik” dengan tema ”Masyarakat Baru 2015.” Ini tentu acara ganjil. Majalah yang setiap terbitannya memberi cerita-cerita humor malah mengadakan acara yang seratus kilometer berjarak dari humor. Tema acaranya pun berat. Tentang ramalan masyarakat Indonesia dua puluh tahun mendatang. Karena tema diskusinya berat, maka pengisinya juga bukan orang sembarangan. Ada dr. Kartono Mohammad. Beliau dipilih barangkali sebagai perwakilan dari kaum medis yang bisa meramalkan kondisi masyarakat pada masa mendatang. Mungkin panitia juga sadar. Agar acara tidak kelewat serius maka ”Debat Publik menampilkan jawara ngocol, yaitu: Emha Ainun Nadjib, [dan] Arswendo Atmowiloto.” Dan, yang menjadi moderator, panitia menunjuk Dono Warkop DKI.

Cak Nun duduk paling kanan. Beliau tampak paling muda di antara pembicara yang lainnya. Tidak tahu alasan apa panitia memilih Cak Nun dan pembicara yang lain. Yang jelas majalah HumOr hendak mengadakan acara bertema serius dengan pembahasan santai. Tentu orang-orang yang terpilih untuk membahas itu adalah orang pilihan. Ia harus seseorang yang selera humornya tidak diragukan. Dan Cak Nun dianggap panitia memenuhi kriteria tersebut. Selain itu juga, bagi pembaca majalah HumOr nama Cak Nun tidak asing lagi. Beliau kerap menyapa pembaca HumOr di kolomnya ”Mati Ketawa Cara Madura.” Esai humor dan foto Cak Nun gampang ditemui di lembaran-lembaran majalah HumOr. Bukan hal aneh jika majalah HumOr mengundang Cak Nun saat mengadakan acara serius.

Bertempat di Boim Cafe dan bertiket seharga 15.000. Acara itu dipadati pengunjung. Pengabaran keramaian acara pun mengundang tanya. Apakah acara bertema serius digandrungi orang-orang pada masa itu? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Bisa iya, karena dilihat dari tema acaranya yang serius, tetap dipadati pengunjung. Bisa tidak, jika merujuk dari jalannya acara yang tidak serius dan cenderung banyak humornya. Jangan-jangan yang datang untuk menghadiri acara serius atau menghadiri acara humor? Dua-duanya memiliki peluang yang sama untuk menjadi benar.

Pada acara debat publik ”Masyarakat Baru 2015” itu redaksi mengabarkan:”Debat kali ini, boleh dikata bercanda tentang hari depan yang penuh teka-teki, persaingan dan pengaruh berbagai arus budaya. Gitu. Untunglah, kita tergolong bangsa yang adaptif dan akomodatif. Jadi, pesimisme tentang masa depan, tentang masyarakat baru di tahun depan nanti, tak perlulah dilebih-lebihkan. Kan ada juga bagian humoristis dan perlu kita dekati dengan sikap yang optimistis.”

Reportase kecil itu termuat di halaman awal majalah HumOr edisi 23 Desember 1995-12 Januari 1996. Pembaca diajak sejenak membaca berita pendek tetang jagoan ngocol membincang masalah negara. Tentu acaranya tidak berlangsung seserius temanya. Malah perhatian tertuju pada ulah moderatornya Dono Warkop DKI. ”Sebagai pelawak, Dono bukan orang kemarin. Tapi sebagai moderator, dia mengagetkan dan tampak sangat tangkas. Bahkan tiga pembicara lain—Emha Ainun Nadjib, Arswendo Atmowiloto dan dr. Kartono Mohammad—sempat dia ledek dan ganggu habis-habisan.”

Barangkali pada kesempatan itu Cak Nun bertemu ”pesaing berat” lawan berhumor. Kelihaian Dono menyuguhkan cerita humor tidak melulu lewat televisi dan radio, tetapi juga saat acara diskusi. Sehingga acara diskusi yang sebenarnya bisa berjalan serius itu tak ubahnya seperti panggung para pelawak. Bahkan dalam acara itu, ”Emha yang mencoba tampil ”agung” dan serius, harus rela tertawa sampai kelihatan giginya karena terus-menerus diusili Dono.”