blank

Serombongan pemuda, dengan menggunakan mobil menyusuri gelapnya persawahan melaju menjauh dari keramaian malam minggu di pusat sebuah kota. Awalnya mereka hanya kongkow biasa saja di rumah salah satu  dari rombongan pemuda tersebut.

Setibanya di sebuah rumah yang belum lama dibangun, mereka turun. “Malam Ndan, ijin ngopi sampai subuh”. Salah satu langsung turun menyalami tuan rumah, yang ternyata seorang polisi.

Saya, salah satu dari tujuh pemuda tersebut ikut nimbrung dalam obrolan santai yang berlangsung cukup lama, benar-benar sampai hampir subuh. Saya perhatikan ruangan di mana kami dipersilahkan duduk. Agak aneh juga, seorang polisi, belum begitu tua, mengoleksi buku-buku tebal tentang keislaman. Dalam batin saya bergumam “Polisi yang santri”.

Ada satu yang saya catat dari tema-tema yang terlontar dari obrolan malam itu, di samping tema-tema tentang radikalisme dan agama, serta Pilkada yang meninggalkan permusuhan. Ada pertanyaan menggelitik yang muncul, “Mengapa polisi saat menangkap aksi kekerasan teroris begitu cepat seperti kilat, sedangkan saat menangani koruptor, lambatnya seperti jalannya bekicot?”

Awalnya jawaban disampaikan standar, khas penegak hukum. “Tentu berbeda penanganannya, karena undang-undang yang mengatur juga berbeda”. Saat memulai memperlebar bahasan, sampailah pada kalimat yang menurut saya cespleng. Islam itu tegas, tapi harus jelas dulu. Jelas dan pasti pelakunya, serta tindakan kejahatannya, baru tegas penegakan hukumnya.

Di dalam sebuah riwayat, seorang sahabat menyampaikan dan meminta izin untuk mengeksekusi musuh yang telah membunuh ayahnya, secara tegas hukum ditegakkan karena jelas duduk perkaranya, siapa dibunuh oleh siapa dan tidak ada keraguan pelaku dan tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa Umar tidak memotong pencuri karena alasan satu dan lain hal.

Dari dua cerita yang disampaikan Pak Polisi, saya menangkap bahwa dia ingin menggaris bawahi ancaman kekerasan teroris itu jelas, sehingga yang diambil adalah ketegasan. Sedangkan untuk korupsi, definisi korupsi menjadi subjektif ketika ternyata motif serta penggunaan hasil sangat variatif. Bahwa korupsi adalah kejahatan semua sepakat, tapi saat mendefinisikan apakah tindakan A, B dengan motif C, D, E sebuah korupsi atau bukan, menjadi tidak mudah.

Saya tidak sedang memberikan pembenaran atas keanehan perihal menangkap teroris dan koruptor. Tapi pada kalimat “Jelas sik, baru tegas!” saya kira itulah yang perlu diambil dari obrolan pemuda dan petugas penegak hukum. Sepanjang saya ketahui, bahkan ketika variabel sebab musabab sudah jelas dan bisa diambil ketegasan, kalimat selanjutnya adalah memaafkan lebih baik bagimu.

Jika ada kata maaf, buat apa ada polisi? Begitu kata Tao Ming Se F4.