blank

Pernah suatu hari, saya tiba-tiba meninggalkan sebuah forum pengajian. Alasannya sepele. Si penceramah menyampaikan materi dakwah penuh nada ancaman. Suaranya lantang, jari tengahnya menuding-nuding. Disertai mimik wajah yang sama sekali nggak bikin nyaman hati.

“Kalau anda laki-laki, tapi tidak sholat berjamaah di Masjid, maka neraka bagi anda!

Eee…buset. Gampang amat yak menjudge orang masuk neraka gara-gara nggak sholat jamaah di Masjid. Emang situ ponakannya Gusti Allah (batin saya).

Karena anyel dan sebel, maka satu-satunya solusi yakni melarikan diri. Hihihi

**

Heran. Kenapa masih banyak para pemuka agama, ustaz, bahkan dengan label (maaf) kiai, tetapi dalam menyampaikan dakwah bil hikmah tidak dengan cara yang santun, lembut, dan halus. Padahal panutan kita semua, Rasulullah Muhammad Saw tidak mengajarkan demikian. Muhammad diutus Allah untuk merahmati alam. Menyempurnakan akhlak setiap insan. Artinya semua disayangi, dirangkul, diayomi, diajak untuk mencintai, beriman dan beribadah kepada Allah sesuai kadar kemampuan. (La yukallifullahu nafsan ila wus ‘aha). Mengajaknya pun tanpa paksa. Apalagi dengan ancaman. Sebab salah satu teladan mulia Nabi yang mesti kita contoh adalah sikap/ perilaku ruhud dakwah. Yakni mengajak liyan menuju kebaikan dengan cara yang baik pula.

**

Di tengah manipulasi dan kontaminasi citra seorang tokoh agama di republik ini, Alhamdulillah kita masih dikaruniai figur guru bangsa sekaligus alim ulama. Tidak banyak memang, tapi paling tidak beliau-beliau ini menjadi sosok penyambung lidah Nabi. Adalah maulana Muhammad Ainun Nadjib dan Abah Kiai Ahmad Mustofa Bisri

Mari perhatikan keduanya dengan saksama. Tatap wajahnya, pandangi sorot matanya, simak dan cerna baik-baik tutur katanya. Seketika hati kita akan merasa adem, tenang, dan ayem.

Wajah-wajah beliau begitu teduh meneduhkan. Sorot matanya penuh kasih dan sayang. Tutur katanya lembut, dan terkadang melempar guyonan. Kita yang berada di dekatnya betah, krasan berjam-jam. Dan turut kecipratan hangat dan berkahnya. Bahagia deh pokoknya.

Jadi sangat mudah bagi kita untuk menilai, niteni, siapa yang meniru dan mengejawantahkan perangai terpuji Kanjeng Nabi atau yang sekadar memakan mentah-mentah ajaran Islam yang dibawanya (Muhammad). Pada intinya, hendaknya kita hanya berguru kepada mereka yang berwajah teduh dan berhati lembut.

**

Tepat hari ini 10 Agustus 2018, salah satu guru kita Gus Mus tengah merayakan hari kelahiran-nya. Beliau genap berusia 74 tahun. Sedangkan 17 Agustus nanti Indonesia menapak usia 73 tahun. Teruntuk guru bangsa dan negeri kita tercinta, mari tengadahkan tangan, tundukkan kepala sejenak, kita panjatkan doa bersama, memohon kepada Allah karunia dan cinta yang melimpah bagi keduanya. Al fatihah.

Oh ya, bagi teman-teman yang berdomisili di Semarang dan sekitarnya, jangan lupa besok (11/8/2018) hadir di Beranda Suara Merdeka, Jl. Pandanaran II, No. 10, Mugassari, Semarang. Di sana akan berkumpul para saliq, mujahid, sufi, sastrawan, penyair, penulis, alim ulama, para kekasih Allah yang turut serta mangayu bagya milad Gus Mus yang ke-74 tahun.

Barakallah fii umrik.

Gemolong, 10 Agustus 2018