blank

Suasana Jannatul Maiyah Gambang Syafaat (GS) 25 November 2018 sedikit berbeda. Biasanya keluarga besar GS melingkar di bawah naungan langit-langit sisi kiri teras Masjid Baiturrahman. Sekarang, lokasi GS sedikit maju beberapa langkah dari biasanya, yakni di halaman parkir. Perubahan letak panggung sama sekali tidak mengurangi semangat Jannatul Maiyah untuk sinau bareng. Suasana tetap khitmad sekaligus gayeng.

Langit mendung mengiringi Kang Rokhim dan Kang Nasir bersama jamaah melantunkan sholawat kepada Kanjeng Nabi. Sekitar pukul setengah sepuluh, Kang Yunan merangkul jamaah untuk bersama-sama mentadaburri tema GS bulan ini yaitu “Pahlawan Kepagian”. Sebelum memasuki Mukadimah tema, jamaah diajak untuk mendayung bersama iringan musik dari “Wakijo Lan Sedulur”. Bersamaan dengan turunnya gerimis, jamaah makin merapat untuk berteduh. Tanpa mengurangi greget untuk sinau bareng.

Kang Dur moderator kita dengan gayanya yang khas berkisah bahwa ia memiliki hewan peliharaan, yakni kucing. Suatu ketika kucing peliharaannya sakit, dan harus menyebabkan ia membawa kucingnya periksa ke dokter hewan. Dari kejadian ini Kang Dur mengatakan bahwa sikap “Kepahlawanan” itu tidak harus memiliki pengaruh besar dan dikenal oleh semua orang. “Dengan cara merawat apa yang kita punya, contohnya hewan peliharaan, atau menjaga diri kita sendiri sudah merupakan sikap kepahlawanan”, ujarnya.

Kang Ali Fatkhan dan sedulu-sedulur dari simpul Sedulur Maiyah Kudus (Semak) ikut merapat untuk menghibur jamaah. Ada Mas Aan dan Mas Memet yang membawakan dialog nan kocak ditambahi Kang Dur yang tak mau kalah dalam pergulatan mulut tersebut. Ada salah satu kutipan menarik dari banyolan mereka, “Jangan mengabaikan sisi orisinalitas diri hanya demi disebut Pahlawan, atau kita ingin dikenal ‘baik’ dengan cara munafik. Menipu orang lain dan diri sendiri”.

Dilanjutkan Musikalisasi-Dialogika Puisi bertema “Pahlawan Kepagian” oleh Mbak Yani dan Shinta dari Semak. Pukul setengah sebelas, Mas Tri dan Gus Aniq merapat dan menyapa jamaah untuk memulai dan memantik diskusi. Mas Tri yang pertama kali menyampaikan gagasannya. Ia mengatakan bahwa kita harus mengambil sisi kemanfaatan dari sikap kepahlawanan. Selain itu yang berhak menyematkan gelar ‘Pahlawan’ adalah Allah SWT. Orang yang disebut pahlawan apakah tiap harinya ia pahlawan? Ataukah ada momen tertentu yang menyebabkan ia jadi pahlawan? Karena dalam konsep “Pahlawan” berarti ada yang menang (yang kemudian dimunculkan konsep pahlawan) dan ada pihak yang terkalahkan.

Jangan sampai kata “Pahlawan” ini dimilik hanya oleh milik kubu-kubu yang bersebrangan. Karena pada dasarnya sikap pahlawan dimiliki oleh masing-masing pribadi dari tingkatnya masing-masing. “Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur” dimulai dari sikap kepahlawanan (khalifah) dari lingkup-lingkup terkecil seperti suami-istri, keluarga, dan lain-lain yang akan makin meluas. “Karena semua manusia adalah kholifah. Imam bangsa bukan hanya satu orang”, ucapnya. Mas Tri juga menyampaikan bahwa saat ini kondisi psikologis masyarakat “terganggu” oleh banyaknya berita yang hilir mudik tak tentu, politik yang memecah belah, saling berpihak, dan lain sebagainya. Apalagi musim menjelang pemilu, banyak “pahlawan-pahlawan kepagian” yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin. Mas Tri menyebut “orang-orang” itu bukanlah pemimpin.

Foto: Dok. GS | Lokasi : Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang

Penjelasan dari Mas Tri disambung Gus Aniq. Beliau memberikan respons, bahwa makna “pahlawan” itu siklikal tapi kuncinya ada pada dimensi “bahasa”. Kata “pahlawan” sudah terdegradasi maknanya atau bisa jadi “kemunculannya” dibuat-buat? Tumbuhnya sikap kepahlawnaan timbul karena secara psikologis kita bangga pada sosok-sosok tertentu. Kanjeng Nabi Muhammad ditinjau dari sisi biografis sudah jelas bahwa sejak lahir sudah membawa dampak-dampak kebaikan, maka dilaksanakanlah Maulid. Lalu perbedaan Nabi dengan wali atau kiai ialah wali/kiai membawa pengaruh baiknya setelah dirinya menjadi wali atau Kiai, maka untuk mengenang sikap kebaikan beliau dilaksanakanlah Khaul.

Dilihat secara terminologi Al-Quran, pahlawan terbagi dalam dua istilah yakni Al-ajrun dan Ats-tsawab. Istilah pertama, Al-ajrun yakni diistilahkan sebagai ganjaran atau pahala atau upah (ujrah) yang diberikan setelah melaksanakan kebaikan secara kuantitatif. Istilah kedua Ats-tsawab memiliki pengertian lain yakni ganjaran atau upah yang memiliki kelebihan tetapi kelebihan itu tidak bisa diukur secara kuantitatif. Jadi saat ini kata “pahlawan” ini mengalami degradasi makna dan mendekati istilah ajrun yang hanya memanfaatkan momen. Bukan dan belum mencapai tsawab yang lebih esensial. Saat ini gelar pahlawan banyak yang dibuat-buat karena kepentingan kekuasaan. Makanya disebut “Pahlawan Kepagian” karena hanya memanfaatkan momen.

Sebelum jamaah merespons diskusi kali ini, Mas Wakijo Lan Sedulur membawakan lagu untuk menyeimbangi suasana gayeng malam itu. Kemudian Kang Yunan menjembatani jamaah untuk merespons apa yang telah diutarakan maupun tema GS kali ini. Pertanyaan pertama datang dari sedulur Sukarno asal Semarang. Ia merespons, “Kalau kepahlawanan itu adalah sebuah momentum, memanfaatkan momentum itu apakah merupakan sebuah kebaikan?”. Pertanyaan kedua datang dari sedulur Wafi asal Pati. Ia menyatakan, “Jika semua orang adalah pahlawan maka apakah kita butuh pahlawan? Jika iya, pahlawan apa yang kita butuhkan?”

Habib Anis, Pak Ilyas, Mas Tri, Gus Tri, Gus Aniq dan Om Budi Maryono duduk berjejeran. Menyapa jamaah dalam kemesraan malam ini. Om Budi memberikan respons pertama kali, “Pahlawan itu buat yang sini, bukan yang sana”. Pangeran Diponegoro itu pemberontak oleh Belanda, tetapi menjadi pahlawan bagi orang Indonesia. Saat ini banyak orang yang mendadak menyatakan diri jadi pahlawan. Orang-orang itu berkubang dengan kata “akan”, bukan “sedang” atau “sudah”. Kata “akan” berarti belum melaksanakan. Om Budi mengibaratkan orang yang “akan” menulis berarti belum menulis. Namun jika orang yang “sedang” atau “sudah” berarti melaksanakannya.

Lanjut Om Budi berkisah, “Kita sering dan suka melihat orang lain melakukan kebaikan dan menginspirasi. Tetapi kita ‘tidak’ mencontoh kebaikan orang itu. Seakan-akan perasaan kita senang dalam membantu itu’ terwakili’ oleh orang lain yang benar-benar melakukan kebaikan. Kemudian kita berkomentar “Wong ki kudue ngene iki!” atau “Aku akan melakukan hal demikian kalau aku di situ!”, dan lain-lain. Juga kita sering kali berujar dan merasa telah melakukan sesuatu yang amat berarti, sehingga kita mengatakan “Ini lho, kalau tidak ada aku pasti akan…”, “Kalau aku tidak melakukan ini pasti nantinya akan…”. Kita berbuat kebaikan dan berharap supaya orang lain melakukan hal yang sama. Maka hal itu bukanlah sikap kepahlawanan.

Pak Illyas menambahkan bahwa biasanya pahlawan itu berbuat demi kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Namun ketika yang dicari adalah ‘kemenangan’, pasti bukan untuk orang lain. Kemudian ia memiliki keberanian dan mengerti batasan. Kadang kita melihat seseorang yang sedang mendorong gerobak, padahal kita tidak tahu bahwa bisa jadi apa yang dirasakan oleh orang itu merupakan sebuah kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan walikota sekalipun. Hidup ini tak usah ingin diakui orang lain. Apalagi ingin jadi pahlawan. Merespons penjelasan Om Budi, Pak Ilyas mengatakan bukan ketika kita merasa ‘telah berperan besar’ bagi suatu hal kemudian tanpa ‘diri kita’ suatu hal itu tidak akan terjadi. Pak Ilyas mengatakan¸ “Jangan bangga setelah menolong atau berbuat baik, semumpama anda tidak ada dalam suatu peristiwa saat itu, pastinya Allah akan memberikan solusi atau jalan lain”.

Selanjutnya Habib Anis menyapa jamaah. Suasana makin ramai, dan kemesraan GS malam itu makin terasa. Habib Anis mengatakan bahwa ada beberapa perspektif yang dapat kita ambil dalam menggali kata “pahlawan”. Dalam Islam ada istilah “Syahid atau syuhada” yang kemudian menjadi istilah “pahlawan” yang lebih umum. Syahid itu berati saksi. “Saksi atas apa?”. Lanjut Habib Anis menjelaskan bahwa arti kata syuhada adalam Al-Quran berarti “yang menyaksikan sesuatu”. Dalam hal ini diartikan sebagai kebenaran atau nilai kebaikan yang universal. Ketika dilokalisir, maka akan mencerai-berai. Saksi itu penting di saat yang lain tidak memperhatikan atau melakukannya. Saksi atas nilai-nilai yang universal. Namun saat ini “pahlawan” itu bisa sangat fragmentatif atau lokal atau terbatas. Aplikasi dari sikap kepahlawanan dari tempat ke tempat itu variatif, cuma secara esensial nilainya sama secara universal.

Foto: Dok. GS | Lokasi : Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang

Manusia bergerak didorong oleh dua hal yaitu oleh harapan dan ketakutan, tetapi ada tingkatan selanjutnya yakni “kepastian”. Tetapi saat ini banyak orang yang melampaui batas nalar dalam menggerakkan dua hal itu. Orang dibayar, kemudian mendadak jadi ‘pahlawan’ lalu memberi harapan yang berlebihan serta menciptakan tabrakan-tabrakan di masyarakat serta menakut-nakuti masyarakat. Semisal, seseorang bernama A nyaleg, lalu kemudian ia memberikan harapan, “Kalau pilih saya maka negara akan adil dan makmur”. Tapi di sisi lain ia memberikan ketakutan-ketakutan, “Kalau tidak pilih saya, maka negara akan tidak sejahtera, dan lain-lain”. Karena dua sisi dari sejarah ialah yang berkuasa adalah yang menjadi pemenang, dan yang kalah akan menjadi penjahat.

Hujan mereda, suasana sedikit mendingin. Namun kehangatan di area GS makin terasa. Wakijo Lan Sedulur kembali menemani jamaah dengan irama musiknya. Respons menarik dan terakhir datang dari Sulis asal Semarang. Ia mengatakan bahwa sikap kepahlawanan itu kadang manusia menampakkannya. Ibunda saya sering menampakkan jika masakan yang beliau masak tidak ada yang menyantapnya. Ibu saya mengatakan, “Semuanya lapar kalau ibu tidak masak”. Nah saya juga sering menjadi pahlawan kalau saya menghabiskan masakan ibu saya. Saya memanfaatkan momentum itu.

“Laki-laki yang baik tidak melukai perempuan”, ucap Om Budi merespons. Pernyataan yang ibu kamu ucapkan itu adalah komunikasi yang mesra. Beliau bukan menampakkan “sisi kepahlawanan” dalam arti yang “memamerkan”. Ibu ingin menunjukkan bahwa, “Kamu itu bersyukur sudah dimasakkan makanan” dan rasa syukur itu direspons dengan menghabiskan masakan ibu. Karena tiap keluarga memiliki model komunikasinya masing-masing. Menguatkan hati Kang Sulis yang ibundanya sedang sakit, Om Budi berkata, “Gembira itu penting agar kita punya harapan. Pun kesedihan itu penting, karena akan ada kekuatan di sana. Dan saat ini Anda sedang mengalami proses mendapatkan kekuatan yang lebih besar. Setiap relasi atau hubungan pasti punya ujian”.

“Hidup ini adalah perjalanan menuju kegembiraan”, ucap Habib Anis. Anda akan berikan ketika anda diuji, dalam arti yang sebenarnya yakni diuji dadakan. Kita diuji dengan diri kita sendiri. Andalkanlah Gusti Allah, jangan hanya andalkan dirimu semata. Ikatan pada Allah itu penting dalam segala hal. Lanjut Habib Anis membawa jamaah untuk berlayar dan merespons situasi saat ini. Saat ini adalah era politik citra, di mana secara situasional menyebabkan ‘sesuatu’ yang padahal tidak seperti yang ia lakukan (yang aslinya). Fastabiqul Khoirot bukan berarti ‘konflik’ untuk berbuat baik. Alangkah baiknya dalam berbuat baik, kita tidak mengklaim perbuatan kita”.

“Kita harus siap dalam setiap keadaan”, ucap Habib Anis. Kita tidak boleh berhenti berharap kepada Allah. Ibarat orang sakit, syariatnya adalah berobat ke dokter tapi niatnya tetap berdoa kepada Allah. Yang menjadi syariat disini ialah bahwa kita punya fisik yang harus dijaga. Menjaga kualitas tubuh rohani kita untuk lebih mulia. Keadaan fisik boleh naik-turun. Dalam hidup ini kita melakukan perjalanan dari Allah menuju Allah kembali. Dan ketika kita sudah merasa demikian makan saat kita keluar dari jalur, akan terasa berat. Sehingga dalam menghadapi cobaan yang medadak kita siap dan tidak kaget dengan apa pun.

Pukul tiga dini hari menjelang subuh, GS bulan ini ditutup dengan saling bersalaman antar jamaah. Bulan depan GS berusia 19 tahun. Sepertinya tidak lengkap rasanya jika kita tidak bersua bulan depan. Seperti apa yang diucapkan Mas Tri malam itu, “Semoga kita berjumpa lagi di GS bulan depan. Terima kasih”. (Maulana Malik Ibrahim-Red)