blank
Sumber Foto: www.caknun.com

”… sebelum menjadi penyair terkemuka, eseis, mubaligh kebudayaan, penulis naskah, ia pernah menjadi pemain sepakbla PWI Yogyakarta.” Kalimat itu tertulis di kata pengantar buku Bola-bola Kultural (1993) garapan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Buku kumpulan esai sepakbola dan cabang olahraga lain menjadi penanda bahwa sosok Cak Nun adalah penulis serba tema. Tidak hanya pada tema sastra, budaya, dan agama. Tema olahraga, khususnya sepakbola pun ia babat.

Jauh sebelum kemunculam rubrik Bola Kultural di Jawa Pos. Frasa ini sudah sering muncul di esai-esai sepakbola Cak Nun dan bertransformasi dengan tambahan variasi sedikit menjadi judul buku: Bola-bola Kultural. Buku ini mendahului trilogi kumpulan esai sepakbola Sindhunata. Atau jangan-jangan malah buku ini kumpulan esai sepakbola yang pertama? Memberi jawaban ”iya” akan berisiko sembrono jika belum didahului kerja pelacakan mengenai buku kumpulan esai sepakbola. Mending kita menganggapnya bahwa kemunculan buku non fiksi yang bertema sepakbola sudah ada sejak awal 1990-an. Zen Rahmat Sugito dalam ulasanannya tentang buku trilogi kumpulan esai sepakbola Sindhunata benar. ”Sindhunata bukanlah orang pertama yang menulis sepakbola.” Sebelum Sindhunata ada Cak Nun. Buku Cak Nun memang terbit pada 1993. Namun, pada 1978, esainya berjudul ”Manusia Sepakbola Indonesia” dimuat di Kompas. Bahkan esai itu mendapat komentar sinis dari pemain tim nasional Ronny Pattinasarany. ”Apaan tuh! Tidak paham saya!” kata Ronny mengomentari esai Cak Nun.

Ada dua dugaan mengapa Ronny berkata demikian. Pertama, pemahaman Ronny yang cekak sehingga tidak bisa memahami esainya Cak Nun. Kedua, esai Cak Nun yang terlalu njlimet sehingga sulit dipahami. Cak Nun sendiri tidak menyalahkan Ronny atas ketidapahamannya. Dalam esai ”Sepakbola Kita Perlu Ikut Globalisasi” Cak Nun mengonfirmasi,”Percayalah bahwa kalimat Ronny itu normal, karena memang tulisan sayalah yang kurang bisa dipahami, dibanding kemungkinan Ronny tak punya kapasitas untuk bisa memahami.” Ronny barangkali keberatan dengan usul Cak Nun bahwa para pemain sepakbola perlu meluangkan waktu belajar silat.

Dalam dunia olahraga, sepakbola dan silat berbeda jauh. Sejak dari aturan main sampai peralatan main. Sepakbola dimainkan sebelas orang lawan sebelas orang. Sedangkan silat dimainkan satu orang lawan satu. Lantas, apa yang dimaksud Cak Nun dari usulnya tersebut. Beliau memiliki pemikiran setiap pemain sepakbola Indonesia perlu belajar silat agar mereka memiliki pemikiran filosofi silat di dalam kepalanya. Nilai filosofi itu bisa diterapkan ketika bertanding. Memang permainan silat tidak bisa memengaruhi secara langsung sepakbola. Tetapi, pemain sepakbola bisa meminjam filosofi permainan silat sebagai acuan strategi bertanding dan merumuskan taktik. Karena dalam pemahaman Cak Nun, ilmu silat memiliki filosofi yang tepat jika diterapkan dalam pertandingan sepakbola.

Cak Nun memandang setiap cabang olahraga bisa memengaruhi satu sama lain. Tidak terkecuali antara silat dan sepakbola. Barangkali kita telanjur dibiasakan bahwa urusan sepakbola hanya bisa diselesaikan dengan cara sepakbola saja. Tidak boleh meminjam dengan cara cabang olahraga lain. Padahal dengan merujuk pemikiran Cak Nun kita seperti diajak untuk membuat dunia sepakbola itu luas sekaligus luwes. Ia memiliki wilayah luas untuk dipahami dan luwes bergaul dengan cabang olahraga lain.

Bukan Cak Nun kalau membicarakan sepakbola berbeda dari komentator. Beliau bergerak lebih jauh, menukik ke dalam, menghayati sepakbola. Pendekatannya pun bisa dengan acuan religiositas, budaya, dan filsafat. Kita pun bisa disadarkan dengan membaca beberapa esainya soal perjalanan Denmark menjadi juara Piala Eropa 1992. Pemujaan terhadap bintang sepakbola dan fanatik pada tim kuat mengaburkan sikap obyektif dan netral kita pada setiap pertandingan.

Kita selalu berharap tim kuat terus menang tanpa ada kekalahan. Kalau pun kalah, kita akan segera memberi label tim sedang sial dan yang mengalahkan sedang untung. Dalam esainya berjudul ”Jerman-Arab, Denmark-Ambon” nasib Denmark ini diibaratkan seperti orang Ambon dan orang Arab. Kata Cak Nun,”Kalau ada orang Ambon ganteng wajahnya, orang bilang: ”Gila! Seperti Arab!” Dan kalau ada orang Arab jelek tampangnya, orang berkomentar:”Hii! Seperti orang Ambon!” Ketidakadilan memandang ras juga menimpa tim atau klub sepakbola. Klub-klub yang telanjur dilabeli lemah dilarang menjadi kuat karena kalau ia menjadi kuat nanti dikatakan kualitas kompetisi menurun. Padahal mereka juga bertanding dengan jumlah pemain yang sama, durasi pertandingan sama, dan di lapangan yang sama.

Mengapa keberhasilan Denmark juara Piala Eropa 1992 tidak dikatakan hasil kerja sebuah tim yang kompak. Bukan tima kuda hitam, atau tim beruntung. Ini yang ditentang Cak Nun. Kuasa dominan terhadap tim-tim kuat dan idola-idola sepakbola yang berakhir pada pandangan rasis pada tim-tim biasa yang jarang difavortikan.

Pecinta Sepakbola

Pada saat buku ini terbit, dua gelaran besar sepakbola baru saja selesai. Pertama, piala dunia 1990. Kedua, Piala Eropa 1992. Kita yang tidak lahir pada tahun-tahun itu mesti merelakan diri tidak bisa ikut membayangkan pertandingan-pertandingan pada tahun itu. Atau perlu meminta pertolongan kepada google untuk mengetahui gambaran fisik nama-nama pemain yang disebutkan Cak Nun.

Esai-esai sepakbola ini lahir tidak atas dasar ingin menjadi penulis sepakbola handal. Cak Nun mengakui esai sepabola itu hanya sambungan dari percakapan sehari-hari dengan teman-teman seniman atau yang lainnya ketika membicarakan sepakbola. Atau berkat permintaan dari media massa. Bagi Cak Nun, sepakbola ditonton, menjadi bahan jagongan, dan tema tulisan.

Keterkaitan Cak Nun dan Sepakbola terjadi pertama ia sebagai pemain. Kedua sebagai penulis. Hubungan yang kedua melahirkan buku setebal 151 halaman yang berisi 34 esai. Buku ini pun menolak hilang dari perederan meski tak terbit ulang saat gemuruh Piala Dunia 2018 berkumandang. Penerbit pantas menyesal melewatkan dan tak menerbitkan ulang buku ini. Padahal di buku ini, kita tahu hubungan Cak Nun dengan sepakbola tidak hanya saat menghadiri latihan timnas atau doa bersama dengan U-19 era Egy Maualana dan Evan Dimas. Sebelumnya, ia adalah penulis sepakbola yang kadang memosisikan diri sebagai suporter, pelatih, kapten tim, filsuf sepakbola, atau sekadar orang biasa yang terbius sepakbola. Di antara label itu semua tampaknya tidak ada yang tepat. Sebab, Cak Nun sudah mengatakan,” saya hanya [orang yang] mencintai sepakbola.”