blank

Bersebab tahun ini saya tidak dapat hadir langsung ke Menturo untuk ndherek Mangayu Bagyo miladnya Simbah, maka untuk mengobatinya saya akan sedikit bercerita. Memutar ‘pita kaset’ memori dua tahun lalu.

Rewind dimulai. Dua tahun silam, tepatnya pada 27 Mei 2016, ada gelaran Akbar yang berlangsung di Desa Menturo, Sumobito, kab. Jombang, Jawa Timur. Pada hari itu, sang Begawan guru kita semua Emha Ainun Nadjib ‘merayakan’ usia yang ke-63 tahun. Karena sampun sepuh, panggilan Cak Nun sekarang bergeser menjadi Mbah Nun.

Atas perkenan Allah, saya dan beberapa teman Jamaah Maiyah Gemolong, Sragen turut menghadiri Maiyahan yang bertajuk IHTIFAL MAIYAH di Jombang kala itu. Ada dua alasan yang mendorong saya untuk ikut serta datang ke Jombang. Pertama : usia Mbah Nun telah menginjak 63 tahun. Angka 63 terasa spesial sebab usia tersebut persis dengan jatah usia Kanjeng Nabi ketika dipanggil Allah SWT. Oleh karena-nya, saya ‘mengharuskan’ diri untuk menyempatkan hadir ke Jombang guna memberi selamat dan doa secara langsung kagem Mbah Nun. Kedua : seumur hidup saya pun belum pernah menyambangi tanah kelahiran Gus Dur tersebut. Sehingga ada keinginan yang sangat besar untuk bisa menginjakkan kaki disana (baca: Jombang).

Saya dan ke-empat teman berangkat menuju Jombang dengan mengendarai mobil pribadi. Berangkat pukul dua siang dan sekitar pukul delapan malam telah sampai di kawasan kab. Jombang. Selama perjalanan dari Gemolong (Sragen) ke Jombang, kondisi cuaca berubah-ubah. Ketika mobil kami sampai di Mantingan Ngawi, hujan turun lebat. Memasuki Ngawi kota mendadak air hujan sirna. Mobil terus melaju dan tak terasa kami sudah tiba di Madiun. Di sepanjang jalan kota Madiun cuaca cukup cerah. Tak ada tetes hujan yang kami jumpai. Kondisi tersebut bertahan hingga kami masuk kawasan kota Nganjuk.

Jarum jam menunjukkan pukul 18.30 WIB. Diperbatasan Nganjuk-Jombang, hujan kembali mengguyur. Kami memutuskan untuk rehat sejenak dan menunaikan sholat maghrib. Usai sholat kami lantas melanjutkan perjalanan menuju Lokasi Ihtifal Maiyah. Sebelum meluncur ke Menturo, mobil kami bergegas ke Kompleks Ponpes Tebu Ireng. Disana ada satu teman JM dari Gemolong yang sedang mengantar anak-nya mendaftar di Ponpes petilasan Gus Dur tersebut. Ia minta dijemput karena ingin serta merapat ke Menturo.

Sampai di Tebu Ireng hujan reda. Udara segar. Suasana nyaman sangat kami rasakan ketika mobil kami parkir didepan Ponpes. Lantunan ayat suci terdengar merdu dari dalam ponpes, seketika menentramkan kalbu. Ditempat inilah para ulama besar Negeri ini dilahirkan dan ditempa. Mbah Hasyim- Mbah Wakhid– Mbah GusDur adalah beberapa putra terbaik Daerah. Doa kebaikan pantas kita kirimkan kepada para kekasih Allah tersebut. Al Fatihah.

Tak berselang lama, kami pun bergegas menuju ke Menturo. Setengah jam perjalanan dari Tebu Ireng ke Menturo, cuaca berubah cerah bergairah. Hujan telah usai. Dari 6 orang yang ada dimobil hanya ada satu yang pernah berkunjung ke Menturo. Itupun sudah lama sekali. Ahsan salah satu teman saya itu terakhir kali ke PadhangmBulan Menturo pada tahun 2000 lalu. Saat ia masih kuliah di UNDAR. Jalan, suasana dan kondisi lingkungan Jombang saat ini sudah berubah total, katanya.

Setiap mobil kami nyasar, kami pun bertanya kepada orang dijalan. Mungkin, sudah lebih dari 7 kali kami mananyakan dimana letak Desa Menturo. GPS juga kami gunakan sebagai penunjuk jalan. Dan ketika kami melintasi rel Kereta Api, terlihat disebelah ujung jalan Kantor Polres Sumobito. Alhamdulillah, itu artinya kami sebentar lagi akan tiba dilokasi. Mobil kami menderu menelusuri sepanjang jalan ditepi rel Kereta Api. Radar GPS terus menari-menari seolah membimbing arah perjalanan kami.

Kami telah memasuki jalan-jalan kampung. Berderet rumah-rumah warga. Hamparan sawah tersaji. Perkebunan tebu dikanan-kiri. Kami melewati jembatan, jalan yang licin, terjal, jeblok, dan berliku pasca diguyur hujan. Ya Allah, dalam hati bergumam :

“Dimana kampung-nya Mbah Nun, kok nggone mblusuk ngene.”

Kami sempat bingung lagi untuk menuju Desa Menturo. Ketika mobil mandeg, tiba-tiba ada pengendara motor yang menghampiri mobil kami.
“Arek marang Cak Nun mas, monggo bareng, ikuti saya saja.”

Puji Tuhan, ketika lelah melanda, perut meronta-ronta, bokong pedes, mripat semrepet, pertolongan Allah akhirnya tiba.
***

Selang 20 menitan, mobil kami sampai di bibir Desa Menturo. Alhamdulillah. Lantunan ayat Alqur’an dari pengeras suara seakan menyambut kedatangan kami dan ratusan Jamaah Maiyah yang baru tiba dilokasi.

Ya Allah, Ya Salaam, akhirnya sampai juga kami ditanah kelahiran Mbah Nun. Tanah lapang berubah menjadi arena parkir mobil dari berbagai penjuru Nusantara. Halaman sekolah Global juga disulap sebagai lahan parkir roda dua. Saya dan teman-teman segera merapat ke depan lokasi Maiyah. Lautan manusia berjubel. Laki-laki, perempuan, bapak, ibu, embah-enbah, anak-anak berkumpul dalam satu lingkaran pasedhuluran bernama Maiyah.

Saya pun ikut berbaur ditengah-tengah mereka. Perasaan haru-gembira bercampur. Para JM menikmati setiap detik kemesraan, menyaksikan para ‘bintang tamu’ menyajikan pertunjukan di atas panggung. Ada Cak Kartolo cs yang ndagel ala Jawa timuran. Karena saya ndak dong bahasa-nya, maka saya cuma nyengir-nyengir sendiri. Kemudian ada persembahan dari Komunitas 5 Gunung pimpinan pak Tanto Mendut. Penampilan mereka terkesan mistis karena banyak sekali uborampe yang digunakan. Seperti : dupa-menyan-kembang-tebu dan tetek bengeknya. Dalam rangka mangayu bagyo ulang tahun Mbah Nun, pak Tanto memberi hadiah batu akik kepada mbah Nun, serta mempersembahkan tarian barongsai dan wayang kulit. Semua JM nampak terhibur dengan penampilan Komunitas 5 Gunung.
***
Usai pertunjukan Wayang kulit, mas Sabrang cs giliran naik ke panggung. Dengan formasi lengkap, Letto membawakan beberapa nomor andalan dari album mereka. Nomor Menyambut Janji menjadi lagu pembuka. Dijeda lagu, mas Sabrang mengajak JM semua untuk mendoakan Mbah Nun semoga beliau tetep sehat dan setia melayani kita semua. Jamaah yang hadir serentak meng-Amin-kannya. Hampir semua nomor Letto yang dibawakan, jamaah hafal, ikut larut mendendangkannya.

Menginjak pukul 01.30 dinihari, barulah Mbah Nun naik ke panggung untuk menyapa dan menyampaikan ungkapan terimakasih kepada pengisi Acara dan seluruh JM Nusantara yang telah sudi hadir maupun yang tak bisa hadir namun turut memberi ucapan selamat dan doa-doa.

“Kebaikan anda semua dicatat dan diganjar berlipat oleh Yang Maha Kasih Allah SWT.” – ucap Mbah Nun mesra dengan mata berkaca.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 03.00 pagi. Gelaran Ihtifal Maiyah ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Cak Fuad.

Alhamdulillah. Serangkaian acara IHTIFAL MAIYAH – 27 MEI 2016 di Desa Menturo, Sumobito, Jombang telah purna. Begitu banyak pelajaran, ilmu, percikan hikmah, dan pengalaman hidup yang saya dapatkan, pun demikian JM keseluruhan.
Selain hal itu ada yang lebih menakjubkan. Lebih mendalam, sangat nancep di hati. Yakni tentang “Skenario Tuhan”. Batin saya lirih bergumam :

“Ya Allah, tidak ada satu pun yang tahu dan menyangka, jikalau di Dusun yang pelosok, ndeso, terpencil, terasing, jauh dari akses keramaian, terbentang jarak dari arus kemajuan modernitas, akan lahir seorang figur besar yang selama hidupnya setia bekerja untuk menemani, melayani, dan mencintai seluruh anak-cucu bangsa ini.

Yaa Maulana Muhammad Ainun Nadjib, engkau terlahir di tempat yang asing, dan kini kau kembali terasing. Sejarah mungkin lupa mencatatmu, namun Tuhan senantiasa mengingatmu.

Sugeng ambal warsa Mbah Nun. Maafkan kami tak bisa hadir langsung. Semoga usia 65 tahun ini bertabur cahaya.

Tabik.

Gemolong, 27 Mei 2018