blank

Saya akan cerita mengenai salah satu kepala kantor saya. Kira-kira 5 tahun yang lalu, saya bertemu dengan seorang kepala kantor yang sangat baik. Setiap pagi, setiap bertemu dengan siapa saja, beliau pasti menyanjung, bahan sanjungan bisa apa saja, kalimat yang muncul selalu bernuansa memberi perhatian dan menyenangkan.
“Hari ini bajunya bagus sekali…”
“Wah, rambut baru nich, kayak Tom Cruise…”
“Setiap kali bicara, saya selalu terkesima dengan pilihan katamu”
Itu salah satu beberapa kalimat kepala kantor saya yang sangat humble. Saya pernah ge er saat dibilang seperti Tom Cruise. Tapi ternyata, yang dibilang seperti Tom Cruise bukan cuma saya. Ada rasa kecewa juga, ternyata kalimat mirip Tom Cruise bukan monopoli saya, tapi memang itu digunakan kepala kantor saya untuk membuat orang lain senang.

Sejak itu saya mulai terbiasa dengan kalimat-kalimat manis kepala kantor saya. Saya tidak mengatakan bahwa kalimat manisnya hanya sebatas kalimat tanpa ruh. Saya tahu betul bahwa landasan/motif kepala kantor saya itu adalah dalam rangka memberikan kegembiraan pada orang lain. Jika kamu belum bisa memberikan kegembiraan dengan tindakan, setidaknya ucapanmu itu membuat hatinya berbunga-bunga. Saya diam-diam ngerasani kepala kantor saya, “Wah kalau begini, akan terjadi inflasi ruh kalimat!”. Atau dalam bahasa yang lebih rumit, terjadi perbedaan skala isi kalimat. Saat kepala kantor saya bilang sungguh luar biasa, mungkin di skala saya, dalam persepsi saya atas kata sungguh luar biasa, hanya sebatas diatas rata-rata, tidak sampai luar biasa.

Itulah yang saya maksud sebagai terjadi inflasi ruh kalimat. Dalam kasus ini, kepala kantor saya hanya meminjam kalimat/kata-kata untuk menyampaikan/memberikan kegembiraan kepada orang lain. Tidak ada misi untuk melakukan inflasi ruh kalimat.

Hari-hari ini, saya sering mendengar kata takbir -Allohu Akbar-. Tentu saya senang, itu artinya kalimat thoyyibah sering menggema di ruang semesta. Jika boleh mengurainya, apa sih hakekat bahasa (Al Haqiqah Al Lughowiyaj) atas kalimat Allahu Akbar, lalu menurut hakekat tradisi (Al Haqiqah Al U’rfiyyah), kapan tepatnya kalimat Allahu Akbar diucapkan, juga secara hakikat syara (Al Haqiqah Al Syar’iyah), konsekuensi atau persambungan ibadah atas kalimat Allahu Akbar.

Saya tidak paham hakikat-hakikat ketiganya atas kalimat Allahu Akbar, tetapi dalam hati saya berharap takbir tidak mengalami inflasi ruh kalimat, ketika sangat sering saya mendengar takbir didengungkan dengan konteks yang entah tepat atau tidak.

Jadi, bukan pokoke takbir! Sebab sebagaimana saya sampaikan, tentu takbir punya hakikat-hakekat tertentu.

Allahu Akbar!!, saya lah yang mengalami perkembangan pemahaman atas kebesaran Mu, sejak dulu kebesaran Mu tak berkurang, tak ter Inflasi…