blank

Tradisi kita telah memberi petunjuk tentang baju, “Ajining raga saka busana”. Sebuah raga atau badan dihargai karena baju yang kita kenakan. Tetapi jika ingin dihargai sampai ke dalam, maka kita harus menjaga mulut.

Pakaian tidak sekedar alat untuk melindungi tubuh dari angin, panas, dan dingin. Mengenakan pakian juga menjaga kehormatan. Alat kelamin diberi nama ‘kemaluan’ jika terlihat maka yang punya kelamin akan malu, maka dibutuhkan pakaian untuk menjaga kehormatan.

Semakin kesini pemaknaan pakaian atau baju semakin berkembang. Pakaian murupakan pernyataan. Ia merupakan salah satu media komunikasi. Berpakaian adalah cara untuk mengatakan kepada orang lain siapa kita. Contoh yang paling gamblang pada kasus ini adalah maraknya kaos-kaos yang mengusung pesan-pesan, kaos dengan tulisan kutipan tokoh. Dalam kaos itu pesan jelas tersampaikan. Namun, pakaian tanpa tulisan bukannya tanpa pesan. Pakaian kaos atau kemeja lusuh mengantarkan pesan bahwa si pemakai miskin. Ia tidak mampu membeli baju yang bagus.

Diceritakan sepasang orang tua dengan pakaian lusuh datang ke sebuah kampus dan ketemu rektor. Ia menyatakan kepada rektor untuk menyumbang untuk kemajuan kampus dengan alasan anak kesayangannya adalah mahasiswa kampus tersebut dan sekarang sudah meninggal. Niat baik sepasang orang tua dengan baju lusuh itu ditolak oleh pimpinan perguruan tinggi. “Sudahlah Pak, uang itu untuk kehidupan Bapak-Ibu saja. Kampus ini tidak butuh sumbangan. Jika Bapak-Ibu ingin tahu, untuk gedung ini saja membutuhkan dana satu triliun, belum lagi listrik dan lain sebagainya.”

Bapak dan Ibu tua itu keluar kampus. Masuk mobil sedan tua. Sang Bapak menyetir sendiri. Di dalam mobil mereka saling pandang dan Si Ibu berucap.
“Kok murah sekali ya mendirikan perguruan tinggi?”
“Ya sudah, uang yang seharusnya kita sumbangkan kita gunakan untuk membangun pergurun tinggi.”

Orang mengira bahwa baju lusuh menunjukkan kemiskinan, baju bagus menunjukkan kekayaan. Tetapi pada saat yang sama baju juga menyembunyikan. Pada kasus bapak tua yang terkisahkan di atas menunjukkan baju itu menyembunyikan. Baju itu menyembunyikan jati diri pemiliknya. Kekayaan pemiliknya.

Identifikasi seseorang dengan baju juga tidak hanya masalah miskin dan kaya tetapi meluas pada saleh dan tidak saleh, agamis dan tidak agamis. Orang yang biasanya pakai peci, koko, sarung bisanya dianggap memiliki kemampuan ilmu agama lebih dibanding orang kebanyakan.

Untuk kesalehan baju juga bisa digunakan untuk menunjukkan kesalehan dan menyembunyikan kesalehan. Ada kisah lagi. Beberapa waktu yang lalu kita digegerkan oleh kasus seseorang yang mampu menggandakan uang, namanya Dimas Kanjeng. Untuk menyakinkan calon para korbannya, Dimas Kanjeng menghadirkan guru-gurunya. Guru-guru gadungannya tersebut ia cari dari orang sembarangan dan dibayar untuk melakukan perannya. Orang yang dibayar untuk berperan menjadi guru Dimas Kanjeng itu harus memiliki ciri-ciri khusus antara lain memiliki rambut panjang dan jambang panjang dan sudah memutih, usianya sudah lebih dari 70 tahun. Kakek tua berambut panjang dan jambang putih itu kemudian diberi dan disuruh mengenakan jubah putih, penutup kepala semacam surban, dan membawa tasbih.

Dimas Kanjeng berhasil memberdaya korbannya. Santri-santrinya yang ribuan dari penjuru Indonesia mencium tangan orang tua yang entah dipungut dari kolong jembatan, tukang cukur, pemulung, tukang bangunan, atau entah siapa.

Para sufi sering bersembunyi menggunakan pakaian yang dikenakan. Mereka berpakaian compang-camping, duduk di pinggir jalan seperti orang gila agar tidak diketahui kewaliannya. Tapi ada lho sufi pengumuman, tentang itu entahlah aku males berkomentar.