blank

Dia masuk dalam diriku melalui lagu. Suaranya yang berat, tegas, kadang-kadang parau melantunkan sholawat dan disambung lagu ilir-ilir. Sebuah lagu purba yang pada waktu itu tidak ada orang yang bersedia memungutnya. Dengan aransemen baru, kerjasama antara bunyi-bunyi dari alat musik baru dengan alat musik gamelan khas Kiai Kanjeng, Mbah Nun mengantarkan pesan melalui telinga kemudian masuk ke dalam sanubari hati kita semua.

Lagu-lagu seperti Gundul-Gundul Pacul, Demak Ijo, disuguhkan dihadapan kita seakan beliau bilang, “Le, kue iku sugeh lho. Kamu itu diwarisi berlimpah ilmu oleh leluhurmu kok tidak kamu rawat. Kok kamu baru bangga jika sudah bisa menjadi seperti orang lain!”

Musik-musik semacam ilir-ilir, gundul pacul adalah lagu yang telah menyatu dalam alunan nafas kita. Seperti sudah dibawa sejak dalam kandungan. Tapi sialnya tidak banyak yang tahu maknanya. Kemudian Mbah Nun bertanya, “Mengapa Cah Angon, mengapa bukan Pak Jendral-Pak Jendral?” Mengapa yang diweling dalam ilir-ilir itu Cah Angon bukan profesi yang lain. Dan Mbah Nun mengajak berpikir, bahwa Cah Angon itu bukan hanya lahiriah tetapi juga sifat angon.

Kemudian aku melihatnya di TV. Beberapa menit beliau setiap hari muncul di TV nasional berbicara tentang bagaimana harusnya hidup. Sekarang beliau tidak pernah muncul di TV, TV itu jauh. Belau mendekat di sekitar kita. Dua bulan ini, antara Semarang, Kudus, Pati dia hadir tidak kurang dari lima kali.

Dia memang manusia komplit. Menyapa orang dengan banyak cara. Tidak mungkin ibu-ibu di kampung-kampung membaca buku, mereka sudah habis waktunya di sawah. Lagu dan musik lah yang tepat untuk menyapa mereka. Sedangkan manusia-manusia kampus disapanya melalui buku dan drama. Saat jilbab belum popular bahkan di larang dikenakan di kantor dan sekolah dia menulis dan mementaskan naskah yang berjudul ‘Lautan Jilbab’.

Tulisannya mengalir bagaikan air bah yang membanjiri dunia pengetahuan. Setiap hari muncul di koran. Koran-koran berebut mengeluarkan tulisannnya. Dari kolom-kolomnya di koran tersebut tersusunlah buku.

Aku membaca bukunya pertama kali berjudul Indonesia Bagian dari Desa Saya. Dari judulnya saja sudah menyiratkan kepercayaan diri. Buku ini membahas, memandang tentang Indonesia dari sebuah desa. Bagaimana pesawat televisi pertama kali masuk, kulkas, motor, dan berbagai kebudayaan modern secara pelan tetapi pasti melekat dengan budaya kita yang tanam, menyangkul, nyadran, dll. Buku kedua yang saya baca berjudul Slilit Sang Kiai. Esai ini menyentak saya di belakang dan membuat saya tersenyum tidak berkesudahan. Mula-mula cerita tentang kehidupan kiai dan santrinya, selametan, lha kok ternyata yang disindir illegal loging. Menohok.

Salah satu yang dibangkitkan oleh Mbah Nun yang saya tangkap diawal-awal saya menyatakan menjadi Jamaah Maiyah adalah kepercayaan diri. Kepercayaan diri kita telah hancur oleh gempuran penjajahan yang tidak henti-henti. Melalui mitos kita dijajah 350 tahun, melalui olok-olok iklan hingga untuk menentukan cantik dan ganteng saja kita didekte. He yang cantik itu yang putih, berbondong-bondong kita pergi ke toko membeli pemutih. Ketidakpercayaan diri itu lahir dari teror. Hal itu bahkan sering dilakukan oleh orangtua kepada anaknya sendiri, dari guru kepada muridnya sendiri.

Masuklah ke SD, suruhlah murid untuk maju mengerjakan sesuatu, maka kita akan mendapati jawaban, “Tidak bisa”. Padahal dia belum mencoba. Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk mencoba. Dia takut salah karena sebelumnya orangtua, guru telah menyalah-nyalahkannya.

Dan kepercayaan diri itu penting. Manusia tidak butuh IQ tinggi untuk hidup tetapi dia membutuhkan kepercayaan diri untuk tumbuh. Virus ketidakpercayaan diri ini menjadi penyakit nasional dan dialami oleh pejabat kecil hingga nasional. Korupsi itu dilakukan karena dia tidak percaya diri bahwa dia bisa mencari nafkah yang halal. Mbah Nun hadir menumbuhkan kepercayaan diri.

Ilmu dalam menjalani hidup, hibungan antara kita, Allah, dan Rasulullah beliau urai dalam segala kesempatan baik melalui forum terbuka maupun tulisan. “Urip iku karepe, kudune, nyatane.” Ilmu yang sepertinya sederhana tetapi sesungguhnya mendalam. Kita punya karep (keinginan) yang kadang-kadang berbeda dengan yang harus kita lakukan (kudune). Kita sakit, kita harus minum obat yang pahit, kalau karepe ya tidak mau, tetapi harus (kudu) kita lakukan demi kesembuhan.

Hari ini Mbah Nun ulang tahun yang ke 64 tahun. Tetapi bukan menerima kado, Mbah Nun malah memberi berjuta-juta, beribu-ribu kado kepada kita berupa ilmu yang mengalir melalui berbagai penjuru mata angin, melalui berbagai bentuk penyampaian, datang langsung, youtube, tulisan Daur yang setiap hari mengajak kita berdiskusi, berdebat. Selamat ulang tahun Mbah Nun, terimakasih atas kadonya yang tidak henti-hentinya mengalir. Semoga Mbah Nun sehat selalu. Amin.