blank

GSJuni2016Di sebuah kantor, terjadilah sebuah percakapan telepon antara Pegawai dan Bagian IT :

“Mas Bro, komputer saya kok nggak bisa ngakses server data kita ?“

“Coba mas lihat, apakah kabel jaringannya nyolok apa tidak?”

“Nyolok kok mas, ini kedip kedip, tanda bahwa komputer saya konek”

“Oke, sekarang pastikan mas udah login dengan username ‘salik’ passwordnya ‘istiqomah’, udah belum?”

“Walah, belum mas, saya ndak tahu kalo ternyata harus login dulu, tak pikir kalo sudah konek, udah otomatis online”

“Ndak mas, system kita dibuat terbuka terbatas“

“Opo maksude mas bro?“

“Semua komputer memang terkoneksi ke server data kita, tapi hak aksesnya dibatasi berdasarkan user yang bertingkat-tingkat”

“Bertingkat piye mas?”

“User tertentu diberi hak melihat data, user yang lain diberi hak mendownload data, dan ada user yang autoupdate data”

“Oh, ngono…opo yang membedakan hak akses yang bertingkat tingkat itu?“

“Anu mas, tergantung rentang kewajiban pegawai mas”

“Ohh… Jane aku ora mudeng mas, tak pikir konek itu ya online, nek online itu otomatis kabeh”

Ketika kita mendengar kata Online, bisa jadi yang terlintas di pikiran kita sama dengan pegawai kantor dicuplikan cerita di atas. Tema “Online” bisa kita tadabburi ke lapisan spiritual, apalagi tepat hari ini menurut perhitungan tertentu adalah malam yang disebut Lailatur Qodar. Perkara perhitungannya meleset, atau ada versi lain, biarlah para pakar memperkirakan, toh bisa jadi semua perkiraan tak terkonfirmasi presisinya.

Sering juga kita menghubungkan online saat bicara tentang kewalian. Saat itu tentu kita juga bertemu dengan istilah laduni. Akhirnya pencapaian online menjadi sangat jauh dan berat dari kehidupan sehari-hari kita. Hal tersebut wajar karena kita terkesima dengan hal-hal spektakuler sebagai “perwujudan sudah online”.

Kita lupa bahwa pencapaian orang orang suci yang kita anggap sudah bisa online, merupakan pemberian dari Allah sebagai “Admin”. Dan sudah barang tentu pemberian itu beralasan. Setiap Wali, Nabi atau siapa pun saja punya jalan/sejarah sebelum mereka mendapat karunia tersebut. Dan kita bisa menelisik model dan jalan penghambaan mereka dalam perjalanannya sampai pada on line.

Agar kita tidak berkecil hati, mungkin tawaran mentadabburi rukun islam sebagai jalan penghambaan bisa kita pakai. Rukun Islam ada lima; Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji. Kita tidak akan membahas teknisnya, kita mencoba mencari “garis” dari masing-masing rukun.

Syahadat, ini adalah semacam register, ikrar bahwa kita berniat berjalan dalam koridor Tuhan. Sholat, di dalam sholat terkandung unsur konsistensi. Konsisten terhadap registrasi awal dalam syahadat. Disiplin. Zakat, rentang nilai dalam zakat adalah apakah kita mengutamakan kepentingan kita sendiri ataukah kepentingan bersama. Kepentingan bersama bukan mengabaikan kepentingan sendiri, kepentingan bersama adalah kepentingan orang banyak yang juga pasti menjamin kepentingan sendiri. Puasa, polarisasi nilainya adalah apakah kita melampiaskan ataukah kita memanajemen. Memanajemen tidak berarti menghilangkan, manajeman adalah ilmu tentang takaran. Dan terakhir adalah Haji, polarisasi nilai dalam haji adalah apakah kita mementingkan saat ini (dunia), ataukah saat akan datang (akherat). Tentu yang dimaksud akherat adalah masa depan yang harus melalui masa sekarang.

Dengan laku hidup kita di bidang masing-masing, jika kita saat mengambil keputusan, pertimbangan-pertimbangannya berdasarkan garis rukun islam, yaitu niat baik, konsistensi, rentang kepentingan, termanajemen, serta punya visi. Itu sudah cukup sebagai jalan penghambaan kepada Allah. Tentu banyak jalan penghambaan selain tadabbur rukun islam yang telah disebutkan. Yang jelas, saat “level penghambaan” semakin besar, tentu hak akses yang diberikan juga semakin leluasa. Hak akses adalah akibat dari level penghambaan.

Gambang Syafaat edisi Ramadhan, Juni 2016 mencoba memberikan pemahaman yang simple berkaitan dengan online, dengan mentadabburi rukun islam sebagai jalan penghambaan. Semoga klik!