blank

Kalau anda mengajak saya bertanding untuk untuk mengkritik dan menemukan kekurangan dan keburukan calon pemimpin kita, saya abstain. Sebab, bagi saya sekarang yang penting bagi saya adalah membesarkan hati seseorang dan setiap calon pemimpin.
(Emha dalam Obama-obama kita, Koran Tempo 30 Januari 2009)

Opini diatas ditulis Mbah Nun sebelum pemilu berlangsung pada bulan Juli 2009. Membesarkan hati serta menemani setiap orang, mungkin itu esensi utama saya terima dari Emha Ainun Nadjib sampai hari ini. Dari beliau kita belajar menampung segala hal, semua manusia tanpa terkecuali. Tentu saja tidak tanpa cela, tidak mungkin satu orang bisa menyenangkan semua orang. Ada ruang-ruang yang selalu menimbulkan kontroversi dan polemik. Dalam pembacaan saya hal itu tentu saja wajar, sebagai seorang tokoh besar yang kuat dalam pemikiran serta tindakan mbah Nun tak bisa menyenangkan semua pihak. Pemikiran kritisnya akan memicu pemikiran kritis dan kegelisahan orang lain yang membaca dan mendengar beliau. Ketidakcocokan itu biasa, Dan sejak lama Cak Nun terbiasa menerima kritik.
Namun yang harus dicermati landasan keberpihakan mbah Nun sangat jelas, cinta kasih. Pondasi utama ini penting karena ia mengkritik itu justru saking tresnanya. Tresna itu kemudian meledak, menyebar ke banyak orang.
Pada tujuh puluh tahun usia beliau, saya rasa itu sudah terjadi. Dimanapun saya berkeliling, Maiyah atau nama Emha bisa menjadi sarana sambung rasa dengan sangat cepat. Perjumpaan-perjumpaan asing lebih mudah terurai karena pernah sama-sama mencicipi beragam ilmu yang beliau tuliskan.
Cinta kasih itu kini meluas ke banyak lini, Maiyah mungkin secara faktual tidak begitu terlihat, tidak diperhatikan banyak orang tetapi damage-nya itu luar biasa. Sampai ke pelosok desa, orang minimal pernah dengar nama Cak Nun, lalu kemudian kita dengan lebih mudah mempercayai satu sama lain.
Ribuan kali panggung digelar, di semua tempat sudah tentu menimbulkan kegembiraan, perluasan nilai-nilai kebaikan dan manfaat, serta membuat kita terus bersyukur dan yakin bahwa Allah memang senantiasa menyertai langkah kita.
Kenyataan bahwa kita sedang diperjalankan itu tergambar jelas dari para pelaku Maiyah, saya sering mendengar banyak perubahan hidup mereka setelah mendengar ceramah-ceramah Cak Nun. Mereka yang berkecil hati dalam menghadapi hidup diberikan keluasan, bahkan yang ingin bunuh diri tidak jadi karena mendengar kalam beliau via Youtube.
Fenomena ini tentu saja membahagiakan, sebuah gerakan sosial (jika boleh disebut gerakan) mampu menyasar pada hal-hal mendasar dari permasalahan hidup manusia sekaligus membicarakan hal-hal dalam skala nasional. Diskusi cair dalam format yang egaliter, hingga kemampuannya menampung banyak sekali masalah kebangsaan ini luar biasa.
Tantangan berikutnya adalah keberlanjutan warisan Maiyah.
Bagi saya dan njenengan semua yang pernah mengambil mata air dari lingkar ini tentu saja tidak boleh hanya berhenti sebagai penyuka, penikmat atau fans dari mbah Nun. Tetapi, harus meneruskan semua kebaikan, kebahagiaan, dan kegembiraan yang kita dapat selama ini. Metode-metode Maiyah dalam berbagai sinau bareng bisa kita ambil, supaya kitapun menjadi bagian dari saluran pemecah masalah di sekitar kita.
Beberapa waktu lalu ketika Mbah Nun hadir di Suluk Surakartan beliau menekankan untuk memahami skala diri kita sendiri dulu. Seberapa pengaruh dan kemampuan kita dalam melakukan sesuatu. Dari situ beliau mengingatkan kita untuk selalu bersungguh-sungguh dalam semua hal. Disiplin dan rajin, dari situ akan bermuara banyak manfaat. Untuk diri sendiri maupun liyan.
Hal-hal lain yang harus kita warisi tentu saja keberanian. Saya pernah mencari-cari kliping koran lama tentang apa yang beliau lakukan di masa lalu. Hampir di setiap waktu dari Kedungombo, Lapindo, kasus santet Banyuwangi, Sampit bahkan Reformasi. Ada benang merah yang menurutku tidak pernah terputus, mbah Nun selalu mengupayakan sebuah kondisi yang dalam bahasa Jawa menang datang ngasorake, mencari win-win solution. Dalam berbangsa tentulah perbedaan itu selalu ada, disitu pula konflik akan terus bermunculan tapi partisipasi dalam penyelesaian konflik, cara beliau menengahi, mengambil sikap dan berbagai metode yang beliau gunakan sangat menarik.
Indonesia butuh manusia pawang misalnya, khazanah menyelesaikan konflik dengan cara ini kan khas di Indonesia. Ada konflik-konflik yang selesai di meja makan, meja perundingan, sampai asal ada seseorang yang dipercaya pihak yang berseteru mau berdamai. Selain menjadi kanalisasi gelisahnya masyarakat, mbah Nun membuktikan dirinya sebagai pawang. Tentu sedikit banyak kita juga bisa demikian dalam skala yang tertentu sesuai kemampuan kita.
Metode yang lain tentu saja adalah pengamanan pikiran. Akhir-akhir ini saya mulai sadar dan bertanya-tanya, berapa jam yang sudah digunakan mbah Nun di berbagai diskusi sejak ia muda, berapa orang yang berdiam mendengar beliau berbicara, tidak bergeming dari tempat duduknya lalu dalam pandangan yang lebih luas saya melihatnya ini sebagai upaya pendiaman massa. Dari beragam diskusi lalu Maiyahan, berapa ratus ribu orang selama ini yang tidak jadi melakukan hal-hal criminal, kejahatan, keburukan untuk kemudian diperjalankan duduk diam di setiap maiyah berlangsung.
Tentu ini bukan Mbah Nun saja, saya yakin Allah sangat berperan atas semua ini. Siapa yang bisa membuat ribuan orang untuk lenggah-anteng jika bukan perkenanan Tuhan sendiri?.
Tujuh puluh tahun usia beliau, ribuan tulisan, ratusan karya baik puisi, cerpen, esai, naskah lakon hingga lagu-lagu. Nampaknya lebih dari cukup, saya sendiri merasa tidak habis-habis mereguk ilmu yang sudah dengan tekun beliau berikan – nyaris setiap hari. Dan rasanya ada yang tidak jangkep jika saya diam saja. Maka, mari kita sama-sama mewarisi Maiyah, melakukan sesuatu yang baik serta terus berpikir dan umbul donga. Semoga esok hari kita sampai.

Surakarta, 24 Mei 2023