Gambang Syafaat
Gambang Syafaat

“Seandainya aku diberi satu doa yang mustajab, yang kupinta bukan Surga Firdaus, tetapi hati yang ridha, karena hati yang ridha adalah “Firdaus” yang Allah segerakan di dunia dan mengantarkan seseorang ke Firdaus di akhirat.” [An-Nibaji; Hilyatul Awliya: jilid 9, hal. 315]

Apa itu Ridho? Aku tak tahu pasti.

Yang aku tahu adalah tak lelah tersenyum padamu walau senyummu tak tersungging padaku, terus berbuat baik padamu walau acapkali mudah saja kau lupakan aku, berusaha semaksimal mungkin untuk membuatmu selalu merasa nyaman walau aku tahu kau telah memiliki seseorang yang bersemayam di hati dan pikiranmu, selalu sedia setiap saat apabila kau membutuhkan bantuan walau aku tahu pada akhirnya hanya kata “lêmah têlês, ya” yang akan terucap dari bibirmu.

Hari berganti bulan, kemudian berganti tahun. Hingga akhirnya aku harus menerima kenyataan untuk meridhoimu hidup sakinah dengannya. Selamanya. Aku (sebenarnya) tahu bahwa mencintaimu adalah luka. Tapi demi apa coba aku melakukan semua itu padamu kalau bukan karena rasa cinta yang dihadirkan Sang Gusti Pangeran ke dalam kalbuku.

Lalu mengapa Sang Gusti menghadirkan rasa cinta itu padaku terhadapmu tetapi tidak menakdirkan hidupku untukmu!? Mudah saja sebenarnya bagiku untuk mengutuk, bersumpah serapah, mèso-mèso tidak karuan pada-Nya. Tetapi mari endapkan hati dan pikiran kita, Kawan. Pantaskah? Sedangkan Sang Gusti terus setia menurunkan hujannya pada kita, tak peduli seberapa sering kita mengeluh “Duh, udan manèh”, “Duh, ra têrang-têrang”. Sedangkan Sang Gusti terus memberi kita kesehatan walafiat, tak peduli seberapa jarangnya kita tuk sekadar berucap “Alhamdulillah” saat pertama kali membuka mata di pagi hari.

Pantaskah?

Sakit hati. Galau. Ya! Memang. Itu manusiawi. Namun, yakinlah. Pasti Sang Gusti tidak membuat skenario kehidupan kita dengan main-main dan berdasar pada sendau gurau belaka. Pasti ada hal lain di balik itu yang kelak kita akan mengetahuinya.

Dari hal di atas aku bersyukur bisa mengenal Maiyah. Kalau bukan karena Maiyah, mungkin aku sekarang tak akan bisa berpikir jernih, mengambil pelajaran, dan ridho akan nasibku. Dari Maiyah pulalah aku pertama kali mengenal kalimat “Rodhiyatan mardhiyyah”. Ridholah dengan semua ketentuan Allah, maka hidupmu pasti diridhoi Allah. Sebuah kalimat yang hingga kini sangat bisa menjadi penenang hatiku. Dari kalimat rodhiyatan mardhiyyah pula aku banyak belajar dan akan terus belajar tentang apa itu ridho, untuk menatap hari dan melangkah dengan lebih yakin sehingga luwih têgên lan tatag nglakôni urip.

Yang terpenting bagiku sekarang, menyibukkan diri untuk ridho dengan ketentuan-ketentuan-Mu. Walau itu berupa kasih tak sampai atau cinta yang bertepuk sebelah tangan. Aku berharap, dengan ridhoku terhadap ketentuan-Mu, ridho-Mu jua lah yang akan memudahkanku ke depannya. Bukan hanya dalam hal asmara, bahkan pada hal-hal tak terduga lain yang sebenarnya tak pernah kuminta sebelumnya.

Sekarang hirup udara dalam-dalam. Tenangkan hati dan pikiran. Ditemani aroma petrikor sore hari, bersenandunglah…

Walau tak kupunya,
tapi ku percaya cinta itu indah
[Letto: Cinta… Bersabarlah]