blank

Problem yang akut dari umat Islam dewasa ini ialah bahwa kebanyakan mereka berada pada kotak-kotak sempit (mazhab, golongan, faham, ideologi, tradisi, idola, kyai, ustadz, dll) yang kemudian menjelma menjadi kiblat-kiblat, dan membuat mereka malas berpikir. (Ahmad Fuad Effendi).

Secara bahasa “berkiblat” dapat berarti berarah atau menuju. Dan ini bukan sekadar “kiblat” dalam sholat yang sudah tentu tidak perlu dipertentangkan lagi. Tapi lebih pada apa, siapa, atau ke mana kita berkiblat di berbagai bidang dalam hidup ini. Sebenarnya juga tidak perlu dipertentang jika kiblat hidup adalah mati (Kembali kepada Tuhan). Tapi apa benar segala yang kita lakukan selama ini berkiblat pada nilai-nilai Ketuhanan, atau hanya seolah-olah berkiblat pada Ketuhanan.

Belajar dari sejarah, kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah pada zaman Rasulullah. Betapa sulitnya mengubah “kiblat” yang sudah tertanam dalam diri seseorang. Sehingga tulisan ini tidak bermaksud untuk mengubah kiblat siapapun. Dan tidak pula menjamin jika dibuat benar-benar dengan berkiblat pada nilai ke-Tuhanan. Tulisan ini hanya sekadar dibuat sebagai rasa syukur pada Maiyah dan tidak menutup kemungkinan jika penulisan ini masih ditunggangi berbagai kepentingan. Sehingga tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk membaca apalagi sampai mempercayainya.

Tetapi kiblat hati dan pikiran mereka mereka bermacam-macam. Ada kiblat keuntungan ekonomi, materialisme, atau cinta harta benda. Ada kiblat jabatan, pangkat, dan kekuasaan. Ada kiblat hedonism, maniak dunia dan lifestyle update. Ada kiblat revolusi ke depan, neo-modernisme, dan move on. (Emha Ainun Nadjib).

Dulu Islam menjadi besar dan berkembang karena orang-orangnya tidak pernah berkiblat pada rampasan perang dan perluasan wilayah (perolehan duniawi). Yang menjadi kiblat hanya bagaimana menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan melalui ayat-ayat-Nya, atau apa yang disebut sebagai kebenaran. Mereka saling menjamin keamanan dan menghidupkan kesadaran sehingga tidak mudah dibohongi oleh apa pun.

Namun semua itu akan berbeda ketika Islam di-berhala-kan. Islam dibentuk menjadi simbol-simbol, kelompok-kelompok, atau golongan-golongan lalu merasa bahwa hanya simbol, kelompok, dan golongannya sendiri yang benar sedangkan yang lain salah. Lantas apa tujuan dari merasa benar sendiri? Apa karena merasa yang dilakukan memang sesuai firman Allah sedangkan yang lain tidak? Tapi apakah benar yang dilakukan sesuai firman Allah atau mungkin hanya sesuai dengan tafsir yang kamu buat sendiri terhadap firman-Nya?

Sehingga konsep ‘undzur maa qoola walaa tandzur man qoola’ (perhatikan apa yang dikatakan dan bukan memperhatikan siapa yang mengatakan) tidak lagi ada, sebab yang ada adalah ketika kelompok kita yang menyampaikan pasti benar dan yang lain pasti salah. Dan ketika semua kelompok menganggap kelompoknya masing-masing yang paling benar maka yang ada kita sangat mudah untuk dibentur-benturkan. Pertanyaannya, apakah yang demikian itu telah benar dalam berkiblat? Atau hanya seolah-oleh benar? Bukankah kita semua sama-sama berpedoman pada firman-Nya? Urusan berbeda tafsir itu urusan masing-masing dengan Tuhan sedangkan urusan kita adalah bagaimana menjaga persaudaraan dan berusaha menjadi lebih baik dari hari kemarin.

Pseudokiblat atau kiblat semu sebenarnya berpeluang terjadi di setiap lini kehidupan. Berpindah pada lingkup sistem pendidikan nasional yang berkiblat pada “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Memang benar adanya jika negara ini memiliki cukup banyak jawara-jawara dalam olimpiade sains, bahkan negara maju seperti Jepang dan Amerika kalah dengan kita. Tapi sayangnya jawara-jawara itu hanya segelintir pihak yang sebelumnya telah dikarantina untuk benar-benar mendapatkan pendidikan intensif. Sedangkan negara lain menampilkan wajah pendidikan mereka apa adanya. Sehingga jawara-jawara sains bangsa kita tidak ada hubungannya dengan kualitas pendidikan bangsa ini.

Sekuat-kuatnya kurikulum pendidikan tidak akan pernah maksimal. Karena permasalahan-permasalahan manusia akan selalu ada, sementara penelitian sangat terbatas sumber daya dan waktu. Oleh karena itu, diperlukan forum-forum seperti ini (Maiyah, BangBangWetan) untuk menjawab permasalahan zaman. (Ari Wibowo, Direktur University Press Unair).

Rektor Unair, Mohammad Nasih, juga menyatakan bahwa tidak cukup pendidikan diserahkan kepada guru. Karena memang untuk mengetahui kiblat (tujuan) dalam setiap lini kehidupan diperlukan kejernihan dan ketajaman hati serta pikiran, inilah yang mungkin yang dilatihkan dalam setiap forum Maiyah. Jika kita masih ditunggangi oleh motif-motif kepentingan duniawi mustahil kita dapat melihat kiblat sejati. Begitu juga bulan Ramadhan ini, semoga apa yang menjadi kiblat dari ibadah kita bukanlah bagian dari kiblat semu.

Nah, kita kangennya tidak sama ramadlan, kita tidak kangennya sama hajar aswad, kita tidak kangenya sama ka’bah. Tapi ka’bah, ramadlan, dan hajar aswad itu merupakan jembatan kita untuk berjumpa dengan yang sesungguhnya kita rindui, sesungguhnya kita kangeni, yaitu Allah Swt. (Emha Ainun Nadjib).