blank

Tanggal 25, nanti malam akan diselenggarakan maiyahan di Masjid Raya Baiturahman Semarang. Sebuah acara yang sudah berusia 18 tahun. Sedulur-sedulur penggiat sudah menyiapkan semuanya dari jauh-jauh hari. Pembahasan tema dilaksanakan awal bulan dalam acara Sinau Daur. Sampailah pada satu tema yang ditetapkan “Demam #Save”, berbagai tema muncul sebelum diputuskan, diantaranya zaman save, wabah save.

Tema ini diangkat melihat fenomena akhir-akhir ini dimana orang-orang berlomba-lomba mengamankan. Save bisa berarti membela, mengamankan. Mereka merasa harus membela. Tentu tidak ada yang salah dengan sebuah pembelaan, namun pembelaan itu terkadang menjadi alasan untuk memukul. Jika saling membela maka akan terjadi saling memukul.

Gambar tema dikeluarkan ke medsos, sudah bisa ditebak, pertanyaan yang muncul di kolom komentar maupun di group WA adalah, “Cak Nun rawuh mboten” ada juga yang bertanya “Narasumbernya siapa ya?” hingga, “Bintang tamunya siapa?”

Kadang-kadang saya sempatkan menjawab, lebih sering saya biarkan saja. Biasanya saya jawab begini, “Kok njenengan tega tangklet ngoten. Kok kamu tega bertanya begitu. Teman-teman itu mempersiapkan dengan jerih payah baik Mbah Nun rawuh ataupun tidak rawuh. Mereka mempersiapkan dari jauh-jauh hari.”

Biasanya di Gambang Syafaat akan diumumkan jika Mbah Nun diagendakan rawuh, ketika nama Mbah Nun tercantum di kolom pemberitahuan itupun masih ada yang bertanya, “Mbah Nun pasti rawuh?” Duh dek.

Gambar tema dan mukadimah telah dikeluarkan oleh tim redaksi Gambang Syafaat. Semoga bisa menjadi bekal, sangu untuk berangkat pada acara selawenan nanti malam. Menjelang acara Gambang Syafaat ini, saya sedang membaca sebuah esai tulisan Mbah Nun di majalah Intisari edisi Desember 2008. Sekarang menjelang pemilu, esai itu juga ditulis menjelang pemilu. Membacanya bisa menjadi rambu-rambu ketika kita mau melangkah.

Demam #save yang mencul akhir-akhir ini saya kira karena munculnya sikap saling curiga. Lebih subur karena ini menjelang 2019, konon tahun pemilu – menurut orang yang bisa membaca alam gelap akan terjadi gontok-gontokan yang tajam.

Begini kata Mbah Nun dalam esai tersebut “Kalau busur pertanyaan itu kewaspadaan, akan produktif. Kalau busurnya kecurigaan, akan konra-produktif.” Mbah Nun memberi pembeda antara curiga atau prasangka dengan waspada. Saya menerjemahkan jika curiga itu cenderung menuding keluar, mencari kambing hitam sedangkan waspada adalah pertahanan diri ke dalam. Sikap waspada adalah sikap taqwa, ia hati-hati menjaga diri agar tidak mudah tergoda, terpedaya, dan tetap istiqomah memegang amanah.

Hal kedua yang bisa kita pelajari dari esai Mbah Nun itu adalah hendaknya kita bersih, karena jika dalam diri kita ada unsur busuk sebagaimana yang ingin kita ubah maka hal itu akan menjadi kelemahan. Gampangnya begini, kita tidak mungkin menjadi kekuatan pengubah jika dalam diri kita masih ada unsur-unsur ketamakan sebagaimana yang ingin kita ubah. Karena kalaupun bisa mengubah hanya berpindah dari orang tamak satu ke orang tamak yang lain.

Yang menjadi pemenang harus akhlak. Menurunkan seseorang yang korupsi dari jabatannya untuk gantian korupsi itu bukan membuat negara ini lebih baik. Mengubah sesuatu harus dimulai dari niatan yang bersih dan baik. Begini kata Mbah Nun “Adapun sejumlah kelompok merasa bisa menemukan satu musuh besar bersama, tidak akan mampu terbangun menjadi mesin pendorong perubahan yang solid, sebab unsur-unsur dan potensialitas musuh besar itu sedikit banyak terdapat juga di dalam diri individu atau kelompok para pelaku perubahan sendiri.”

Mbah Nun mengenalkan perumpamaan tiga pendekar, pendekar pertama menaklukkan macan dengan cara mengalahkannya, pendekar kedua dengan cara merayunya mengajaknya bersahabat, pendekar ketiga adalah pawang, hewan-hewan langsung menurut dan bekerjasama saat berada di sampingnya. Indonesia butuh manuisa berkapasitas pawang ini.

Selanjutnya tentang pemuda dan keistiqomahan. Sudah menjadi watak jiwa-jiwa muda adalah kritis, berani, dan pejuang. Mereka menggugat keadaan yang melenceng. Tetapi bagaimana caranya agar daya kritis itu istiqomah dibawa sampai tua? Bagaimana agar tidak mudah tergoda dan berbalik arah menjadi pelaku sebagaimana orang yang tadinya ia kritisi?

Nanti malam kita berkumpul bukan untuk bertemu idola tetapi unutk menyambung paseduluran. Mari berbagi cinta.

Demak, 25 April 2018