blank

Pelataran Aula Masjid Baiturrahman masih terlihat luas ketika Kang Jion membacakan munajat. Area parkir mobil juga masih terlihat sesak karena banyaknya mobil yang parkir. Pukul delapan malam, masih banyak kendaraan yang terparkir di masjid. Jamaah pun sudah terbiasa berbagi tempat dengan mobil. Namun, keadaan itu tidak lama. Semakin mala satu per satu mobil akan keluar dan ruang untuk lesehan semakin luas.

Masih terbawa suasana lebaran. Selesai membacakan munajat, penggiat Gambang Syafaat yang diwakili Kang Jion mengucapkan,”Kami keluarga Gambang Syafaat mengucapkan sugeng riyadi kepada sedulur-sedulur semua. Semoga kita tansah sehat dan terus guyub rukun di Majelis Maiyah Gambang Syafaat. Mohon maaf sebesar-besarnya jika selama menyelanggarakan Maiyah masih belum bisa menyediakan ruang yang tidak berdesak-desakan. Dan, jika perkataan pengisi, saya dan Mas Dur sebagai pemandu agak kurang pantas mohon dimaafkan. Tidak ada maksud hati melukai perasaan jenengan sedanten. Itu murni karena cinta kasih kami kepada jamaah.”

Berita lebaran di televisi memang sudah merada tapi bulan Syawal belum berlalu. Mengucapkan maaf belum dikatakan terlambat sebab masih sesuai dengan bulannya. Karena belum beranjak dari bulan Syawal. Jannatul Maiah Gambang Syafaat edisi 25 Juni mengambil tema ”Idul Imsak”. Secara bunyi frasa ini bertentangan dengan kelaziman kita yang kadung terbiasa dengan frasa ”Idul Fitri” atau ”Idul Adha”. Kata ”Idul” belum akrab bersanding dengan kata ”Imsak.” Kalau merujuk pada pengertian umum, Idul berarti hari raya atau perayaan. Sedangkan Imsak itu bermakna penanda waktu berhentinya sahur. Dua pengertian itu kemudian disandingkan dan menjadi tema yang ditadabburi.

Kang Hajir dalam mukadimahnya mengatakan ”Idul Imsak” itu berarti menahan perayaan. Seringkali kita mengartikan hari raya itu dengan hura-hura atau foya-foya. Seolah hari raya itu lawan dari puasa. Kalau bulan puasa itu kita disuruh menahan-nahan. Lalu, di hari raya, kita seperti melepaskan semua penahan itu dan melakukan balas dendam atas batasan-batasan perilaku dan nafsu di bulan puasa. Seolah orang memahami hari raya itu antagonis dari puasa. Pemahaman yang seperti perlu didandani.

Tema ini kemudian ”diringkas” dalam pamflet bergambar macan berpeci Maiyah sedang bersemedi dan di bawahnya ada gerombolan domba-domba. Mas Monty pendesain pamflet-pamflet Gambang Syafaat pada malam itu turut naik ke atas panggung menjelaskan maksud dari gambar pamflet yang ia buat. Sebab, setelah pamflet bergambar macan berpeci Maiyah menimbulkan ribut-ribut kecil di media sosial. Akhirnya, dengan legowo menghilangkan peci itu dan diganti dengan sorban.

Perkara tafsir bergantung individu. Setiap gambar yang menyebabkan perbedaan tafsir tidak harus diselesaikan dengan meminta konfirmasi dari si pembuat gambar. Karena hanya karya buruk saja yang melahirkan tafsir seragam. Namun, itu tidak dilakukan Mas Monty. Pada malam itu, ia mau tanggung jawab dan meluruskan tafsir-tafsir liar yang menjurus mengadu domba dan menyudutkan Maiyah. Kata Mas Monty, di gambar yang pertama ada yang menafsirkan,”Kalau macan itu pemimpin Maiyah dan domba-domba itu jamaah. Jadi ada yang menganggap bahwa dari gambar itu ditafsirkan bahwa Cak Nun sedang menunggangi domba-domba.” Maka demi mencegah hal buruk terjadi dan mempersempit ruang pengadu domba. Ia mengalah mengubah gambar agar siasat-siasat licik merendahkan Mbah Nun tidak terjadi.

Bahkan dalam penafsiran Mas Monty macan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemimpin. ”Mengapa saya memilih macan karena hewan itu identik dengan buas, liar, dan sadis. Ketika macan saya taruh di atas domba-domba dengan posisi semedi. Saya artikan macan itu sedang puasa di antara banyak makanan di sekelilingnya.”

Di gambar itu sedang menyindir manusia. Bahwa macan saja yang liar dan buas bisa menahan diri. Mengapa manusia di hari raya justru melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hakikat puasa kemarin. Begitu kira-kira menurut Mas Monty mengenai macan di antara kerumunan domba-domba. (Yunan Setiawan)