blank

Seminggu sebelum tanggal 13 Mei 2018, beberapa grup di Asus-ku berisik. Salah satunya tentang kepastian hadiri forum Mbah Gus Mus dan Mbah Cak Nun di Simpanglima. Persentase kehadiran semakin dekati 100% jelang hari H. Sampai akhirnya tanggal 13 Mei usai Maghrib, seorang kawan berkuda besi datang dari Kebumen. Disusul jelang Isya seorang kawan sampai dari Batang, juga bersepedamotor.

Perbincangan basa-basi penuh keakraban terjadi. Maklum, pertemuan terakhir terjadi sekian bulan lalu. Dengan kawan dari Kebumen sejak 25 Maret, adapun dari Batang pada 25 Februari. Obrolan dari status jomblo sampai update kekinian tempat mereka ditanam Tuhan silih berganti dimunculkan. Dari yang tadinya niat berangkat habis magrib untuk mampir “Semarang Sejuta Buku” bergeser pukul 20.30 dari Pudakpayung.

“Geserlah Daunmu Jika Sinar Matahari Tak Mengenai” – Syaikh Kamba.

Jadilah berkuda besi kami arungi jalanan ramai lalu-lalang. Bersyukur sebab langit cerah, meski berangin kencang. Setidaknya bagiku, sebab kedua kawanku berkata gerah luar biasa. Sampai di perempatan POLDA, penutupan jalan terlihat. Kontan saja kupersilakan dua kawan yang pernah berkuliah di Unnes itu untuk cari jalan tikus. Mengingat kepayahanku dalam mengingat jalan, 2 kali ke RKSS saja bisa nyasar lebih dari 30 menit padahal berbekal Google Maps.

Kebingungan cari parkiran terjadi saat Simpanglima sudah terlihat. Diputuskan menerobos beberapa blokade. Walhasil, parkir di depan E-Plaza. Berjalan menuju panggung yang sedari jalanan sudah dihadang Barrakuda dan sederet kendaraan taktis lain. Paramiliter dari ormas-ormas Islam utamanya NU imbangi jumlah dari Brimob yang saat itu terbagi sebagian ke Mako Brimob di Jakarta.

Prediksi kami tepat, tak kebagian tempat duduk di area panggung. Melihat pagar besi sampai tali dijaga sekian aparat keamanan, kami mlipir ke area rumput. Berdiri agak lama untuk pastikan jalur meringsek ke panggung, kaki berontak, kebas. Kuputuskan duduk dengan dua kawan masih belum rela menetap di sekitar jamaah berkopyah merah-putih, banser, dan aparat. Saat duduk itulah baru kurasakan jika suara panggung tidak terdengar jelas.

Mantap, kami bergegas memasuki area resmi. Melewati detektor logam, tidak ada halangan berarti. Nescafe tiga bungkus aman saja, gesper baja bunyikan alarm. Toh dipersilakan masuk juga. Sebelumnya saat kutanya boleh lompati tali atau tidak, pak polisi langsung berdiri waspada dan arahkan ke gerbang resmi. Nyatanya, kami melenggang bebas menuju lautan ribuan manusia.

Tertahan di belakang juru suara, kami amati lalu-lalang jamaah. Persis maling, tiap pergerakan diikuti alurnya dari sumber sampai akhir. Begitu tatag melihat penjual minuman yang begitu lihai lewati kepala-pundak ratusan orang, kami berdiri. Kebetulan kawan duduk di belakang kami juga ingin lebih maju. Kami berkoordinasi sejenak meski tidak saling kenal.

Pembelahan barisan ibu-ibu dan santriwati kami lakukan. Selangkah demi selangkah. Aku sempatkan mampir ke penata suara dan sampaikan keluhan bahwa suara tidak terdengar jelas sampai radius 100 meter di luar panggung. Dijawab itu karena kurang dekatnya mikrofon, aku berlalu saja. Untuk lebih meyakinkanku, si operator bahkan memintaku naikkan tombol-tombol yang tak kupahami fungsinya.

Kembali ke khittah mencari posisi lebih dekat ke mursyid kami. Alhamdulillah, dari yang tadinya seratus meter lebih menjadi hanya sekitar belasan meter. Terinspirasi laskar penjual minuman yang bak ninja, kami bisa bermuwajjahah dengan para simbah. Muka lega tergambar di kami, jamaah telatan yang tak kenal adab. Langgar adab salat Jumat di mana sebaiknya tak menyela dua pundak jamaah yang lebih dahulu tiba.

Amankan Indonesia dengan Mengingat dan Menyebut-Nya

Duduk sudah tumakninah, saatnya memijit layar Gorilla Glass. Tentu saja ramaikan tagar #maiyahsemarang. Bertepatan dengan Mbah Mus ingatkan bahwa jelang Bulan Romadon lebih baik ngaji kilat ke guru langsung daripada di televisi, apalagi medsos. Masa nyari duit sampai segitunya. Kemudian beliau tenangkan jajaran aparat tingkat kabupaten/kota se-Jateng bahwa provinsi ini akan aman karena tidak anggap pilkada 5 tahun jadi masalah kiamat. Tidak lebay dan heboh.

Kemudian dengan intonasi ringan Mbah Mus tegaskan zikir “lailahaillallah” adalah yang tertinggi. Beliau sarankan jamaah untuk memakai ini untuk selesaikan banyak masalah. Mantap bahwa yang boleh ditakuti hanya Allah. Maka ciri Wali Allah adalah tidak takut dan sedih.

Mbah Nun lantas minta Mbah Mus ceritakan tentang sosok Kiai Alhamdulillah. Gayung bersambut, Kiai dari Rembang tersebut ceritakan tentang kiai-kiai banyak yang ikuti sikap para sahabat nabi. Bahkan jenis zikir dan pengamalannya saja diikuti. Ada yang galak teladani Sayyidina Umar bin Khattab, dermawan seperti Sayyidina Usman bin Affan.Termasuk amalkan alhamdulillah juga terinspirasi dari masa lampau tersebut. Dalam kondisi dapat musibah saja dibiasakan berucap “alhamdulillah”.

Mikrofon kembali kepada Mbah Mus yang ajak ribuan pengunjung Simpanglima untuk perbanyak istigfar dan tahlil. Tujuannya agar bisa tetap waras di zaman edan ini. Jadikan dzikir itu sebagai jalan laku yang rutin. Mbah Nun tambahi bahwa ada orang yang untuk bergumam takbir saja tidak bisa. Ini karena tiap mau berucap “allahuakbar” selalu menangis. Kagum dengan Allah.

Lalu Mbah Nun berkisah tentang imam salat yang pernah imami beliau. Sang imam “slengean” saat salat, tidak tertib, sampai tidak fokus. Eh, si imam malah tegur Mbah Nun usai salat dengan kalimat, “Gusti Allah saja tidak ribut aku bersikap begitu, kok kamu rewel.” Sontak Mbah Nun lari tunggang langgang dengan wali Allah yang tahu jalan pikiran makmumnya itu.

Menyinggung tentang istigfar, Mbah Nun menyatakan bahwa istigfar adalah pencuci dosa kita. Sifatnya vertikal dari hamba mengharap hujan maaf dari Gusti Allah. Iringi penjelasan ini, Mbah Nun ajak jamaah beristigfar dengan iringan jazz Kiai Kanjeng. Syahdu. Ini tindaklanjut saran Mbah Mus pada Jokowi via Kapolda untuk kampanyekan istigfar di tingkat nasional.

Pagi hari tanggal 13 Mei ada geger di Surabaya tentang bom yang dilakukan sekeluarga. Mbah Nun ingin cari sumber masalah dari keluarga pengebom. Dari pelaku itu bisa dilacak siapa yang membisikkan, atau mengaktifkan agar segera lakukan aksi teror. Pengalaman beliau hadapi kasus serupa sejak Orde Baru buat tidak kaget dengan fenomena teror dalam tempo seminggu itu. Mbah Mus beliau minta jelaskan skala prioritas & sangkan paran terorisme.

Mbah Mus tanggapi dengan menyebut kunci dari keruwetan dunia adalah tidak berlebih-lebihan. Biasa saja. Sak madyo. Sesuai kebutuhan. Tidak lebay tadi ada dalam ajaran Islam terlihat dalam saran agar khutbah Salat Jumat tidak terlalu lama karena jamaah bisa teler semua.

Beliau beri contoh agar melihat orang yang berebut cium hajar aswad. Apakah demi senangkan Allah atau diri sendiri? Jika demi Allah kenapa harus sikut kanan-kiri? Bukankah itu malah sakiti orang? Cium hajar aswad berhukum sunah, menyikut haram. Mana mungkin orang lakukan sunah dengan langgar yang haram. Ini analoginya agak mirip dengan mencuci pakaian kotor dengan air kencing.

Kiai sekaligus budayawan itu juga ingatkan jamaah agar jangan pernah lupa jika Allah itu Syakur atau Maha Menerima. Seperti apapun bakal diterima asal memang mampunya sebatas itu. “Tidak bilang Romadon, bisanya ramelan, ya gak papa.” Beliau juga mengutip pernyataan Syaikh Ibnu Athaillah bahwa cara nilai seorang mukmin yang baik adalah jika ia lebih sering koreksi diri sendiri daripada oranglain.

Ikhlas Hati untuk Patuhi

Jelang pukul 23.00, saya sempatkan untuk ke toilet. Tak lihat yang portable, saya menyeberang ke Masjid Baiturrahman. Allahuakbar, antriannya luar biasa. Baik di parkiran yang penuh sesak kendaraan roda dua maupun di kamar mandi. Baik polisi berseragam lengkap dengan senjata serbu menggantung, banser berperawakan sangar, santri dengan atributnya, juga kaum umum seperti diriku bercampur baur.

Begitu selesai tunaikan hajat, kembalilah menuju Lapangan Pancasila tempat acara ini dihelat. Para polisi sudah mulai menata barisan untuk amankan acara selesai, demikian juga Banser. Para jamaah sudah berkurang sedikit. Tapi menuju titik berkumpul dengan dua kawan yang belasan meter dari Mbah Nun tetap saja bukan langkah mudah. Begitu sampai, duduklah iftiroshy seperti kebiasaan Mbah Nun.

Aura acara akan selesai sudah terasa. Kami bertiga mantapkan hati untuk ikut berbaris berharap salaman dengan Mbah Mus dan Mbah Nun. Berdesakanlah kami dengan para jamaah, demi meresmikan silaturahim. Seperti disangka, dengan kejadian beberapa waktu belakangan, aparat keamanan datang membentuk pagar betis. Dimaklumi, jamaah maiyah dengan identitas peci merah-putih beri aba-aba ke jamaah di belakang untuk mundur.

Di saat itulah Mbah Nun menyatakan jamaah dimintai sedekah untuk berjabat tangan di dalam hati. Ada rasa kecewa di dalam hati kami bertiga, terkonfimasi di lokasi. Akhirnya kami ikhlas dan membentuk arus balik menjauhi pangung. Ini untuk menghindari rusuh yang bisa memperburuk citra jamaah. Arus balik lama-lama membesar, sampailah kami di depan banner berisi korban Mako Brimob.

Di sana aku dan kawan dari Kebumen duduk-duduk membahas hal yang terjadi. Kawan dari Batang bertemu kawan dari Suluk Pesisiran dan kenalan baru. Beberapa menit kemudian perwakilan Simpul Maiyah Pekalongan yang ikut Workshop beberapa minggu lalu menghampiriku dan berbagi cerita singkat. Para pemulung dengan langkah ringan, senyum tersungging, kumpulkan aneka sampah yang ditinggalkan begitu saja para jamaah. Aparat keamanan juga berbaris rapi untuk apel penutupan, diikuti berlalunya kendaraan taktis dari pusat kota Semarang.

Kami bertiga masih duduk ditemani kawan-kawan baru. Hingga pukul 24.00, kami putuskan untuk kembali ke Pudakpayung. Kurang puas karena biasanya durasi maiyah sampai dini hari, kami putuskan menuju Kopium Kafe. Di kafe yang buka sampai pagi itu kami habiskan waktu hingga pukul 2.30 perbincangkan aneka macam topik. Termasuk bersiap sambut acara Suluk sastra yang digelar Om Budi Maryono bersama Gus Par di kafe yang sama.

Kawan dari Batang dengan berat hati tidak bisa ikut karena diajak hadir Suluk Pesisiran yang berlokasi di desa tetangganya. Adapun kawan dari Kebumen berkenan hadir limolasan untuk timba ilmu tentang sastra sebagai pendekat pada Tuhan. Begitu selesai, batin kami terasa penuh. Cukup untuk jalani masalah-masalah khas Indonesia dalam kurun waktu ke depan. Bersua Mbah Nun dalam satu garis lurus tanpa penghalang pandangan adalah cara kami nge-charge kekuatan batin.

Jika karena kenekatan kami habiskan waktu dan energi untuk cari ketenteraman ini dicap radikal, kami rela. Toh yang dicari memang jelas: jalan menuju kedamaian dengan yang Mahakuasa dan Maha Menerima. Inilah sinau pengamanan bertaktik spiritual. Nalar tak bisa selesaikan, kedekatan dengan Tuhan akan mudahkan jalan. Perpaduan duniawi-akhirati secara seimbang ini yang kami percaya jadi taktik jitu hadapi apapun yang radikal di negeri ini.