blank

Berbuka puasa dalam Ramadan bukanlah berbuka yang dirayakan sebagaimana pesta makan dalam acara walimahan atau prasmanan layaknya “gathering”. Lantas siapapun yang berpuasa menebar dendam lantaran tidak makan, mengosongkan perut siang harinya. Tentu saja bukan pula sekadar pindah jadwal makan. Apalagi hidangan atau menu tak biasa menjadi “day trend menu” tiap harinya.

Akumulasi diri terhadap ramadan selayaknya disikapi bagaimana sejatinya puasa itu sendiri. Dalam bahasa yang mudah dipahami, puasa itu pasa. Pasa bisa diperdalam menjadi “tapa marang sing kuasa”. Bukan sesuatu yang gampang untuk mengatur jiwa dalam bentuk tapa. Selalu ada rentetan mekanisme pengaturan jiwa. Misalnya, ketika masuk masjid, kita disunnahkan i’tikaf: “nawaitu al-i’tikafa”. Lafal itu masdar dari “i’takafa”. Ambil saja kata “i’takafa” kemudian di-tadabburi dan dirasai menjadi “tafa”, yang seterusnya masyhur dikatakan tapa dalam akselerasi nilai kejawaan. Di dalam masjid tentunya dan sepatutnya mengaktifkan jiwa hanya pada Allah.

Artinya, tapa memfungsikan diri ke dalam tranquilitas kehambaan, melepaskan identitas diri, menghayati dan merasakan tetesan ilahi. Membakar keinginan-keinginan syahwati serta nafsu syaithony. Kehambaan seorang manusia terterap ketika ia mampu meninggalkan sifat dan sikap “thogho”, lewat batas, atau “istighna”.

Pasa adalah proses kehambaan yang turut disertakan dalam nilai-nilai kehidupan manusia: manusia tidak boleh rakus; manusia tidak boleh arogan; manusia benar-benar mengamalkan kesalehan.

Kesalehan sejatinya tidak diklaim hanya kesalehan pribadi. Tapi, kesalehan memendar, mengantarkan ke dalam sistem sosial. Arti saleh selama ini pun hanya sebatas kepantasan diri dalam pengamalan. Gampangnya, kesalehan tidak harus diklasifikasikan menjadi kesalehan individu dan kesalehan sosial, karena sebetulnya kesalehan itu sudah mencakup keduanya. 

Keterlibatan manusia satu kepada manusia lain adalah olah rasa dengan menghadirkan kesalehan itu. Bentuk kesalehan nyata dalam pasa tak lain adalah imsak itu sendiri. Setiap orang yang berpuasa memuat satu perlakuan imsak, menahan atau “ngeker”. Manusia membiasakan dirinya untuk menahan nafsu diri. Sungguh pekerjaan yang paling sulit adalah menahan nafsu. Terkhusus menahan atau bisa melawan agar tidak menafsui diri pada keinginan-keinginan brutal. Syahwat yang tidak terkontrol merupakan buah dari nafsu yang tidak terkontrol juga.

Maka, ketika berbuka puasa tak benar jika berniat membatalkan puasa. Niat membatalkan puasa samahalnya berniat ingin merusak nilai-nilai puasa yang sudah dijalankan. Lebih baik cukup berkata “alhamdulillah”, bersyukur pada Allah yang telah memperjalankan diri kita untuk bisa imsak selama ini. Wal’afwu minkum.[]