blank

Tulisan ini saya ketik di sela-sela momong bayi. Ngudang anak lanang sembari sholawatan di atas lincak depan. Lincak, adalah bangku panjang yang terbuat dari bambu. Ditaruh atau diletakkan di serambi (ngemper) rumah. Lincak umumnya terdapat dan akan kita jumpai di rumah-rumah pedesaan. Apa di kota tidak ada? Ada, tapi jarang. Itulah yang menjadi ciri khas rumah di desa-desa, yakni depan rumah ada lincaknya.

Lincak biasa digunakan untuk duduk-duduk santai, leyeh-leyeh, sembari 4N. Ngobrol, Ngemil, Ngopi, dan Ngudut. Ngopi kok ndak ngudut ibarat ngising ora cawik. Hiii…jijik. Hehe. Maaf, ini murni guyonan ala wong Gemolongan.

Di atas lincak itulah, beberapa orang lungguh bareng, dan membicarakan apa saja. Mulai dari mbahas urusan keluarga, pakan ternak, beras jatah, BPJS, tetangga yang sakit, sampai urusan perpolitikan nasional tak luput diperbincangkan. Namun obrolan di atas lincak berlangsung hangat, gayeng, hujan tawa, tidak tegang apalagi sampai gontok-gontokan.

**

Lincak di depan rumah tidak hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga saja. Semisal ada tetangga yang datang dan kepengin ikut gabung ya monggo silakan. Atau kalau ada orang yang mertamu ke rumah dan memilih suasana santai, maka dijamu di atas lincak pun ndak masalah. Asal tidak garingan. Mesti disuguhi segelas minuman dan kudapan-kudapan kecil. Kalau misalkan tamu yang datang adalah Pak Camat, Pak Lurah, atau Mbah Kyai, ada baiknya memang beliau dipersilakan masuk ke dalam dan duduk di kursi tamu. Kalau di ruang tamu tentu kesannya menjadi formal. Namun di luar itu, di lingkup pedesaan tak jarang sebagian tokoh, atau orang penting yang datang bertamu justru memilih duduk di luar. Wis ning kene wae. (Maksudnya di lincak). Alasannya, ya itu tadi. Lebih santai, rileks, dan luwes. Sehingga interaksi antara shohibul bait dengan tamu tidak kaku, akrab, tak berjarak.

Mengacu pada uraian di atas, paling tidak lincak memiliki dua fungsi. Fungsi secara fisik dan psikis. Secara fisik, lincak digunakan sebagai tempat duduk santai bersama (bareng-bareng). Sedangkan secara psikis, lincak berfungsi memangkas jarak, mencairkan suasana, mengakrabkan satu sama lain, serta menjadi ajang berkumpul dan sesrawungan.

Dengan perspektif lain, lincak menjelma ruang komunikasi publik yang terbuka, menampung dan merangkul siapa saja. Antara pemilik rumah, anggota keluarga, tetangga kiwo-tengen, saudara dan siapa pun yang datang bertamu. Di atas lincak semua diterima, dijamu, diwongke. Boleh bicara tapi juga sedia mendengarkan. Boleh berpendapat tetapi tidak boleh memaksakan kehendak. Di atas lincak, semua berposisi sama. Ajur-ajer dalam kerukunan dan keguyuban.

**

Teman-teman sekalian, ada ‘lincak’ yang setiap tanggal 25 digelar di Aula Masjid Baiturrahman, kota Semarang. ‘Lincak’ itu bernama Gambang Syafaat. ‘Bangku panjang’ yang disediakan oleh tuan rumah kepada para tamu (jamaah). Di ‘lincak’ itulah semua yang hadir duduk berkumpul. Berdiskusi, rerasan dan Sinau Bareng. Me-murid, me-guru. Juga bershalawat, berpuisi dan bernyanyi. Memuja Allah, memuji Kanjeng Nabi. Menjalin pertemanan, ngraketke pasedhuluran. Tak ada sekat, tak ada jarak. Semua yang berada di ‘lincak’ bergembira dan memancarkan kegembiraan.

Selamat menapaki usia 19 tahun, semoga GS istiqomah meruang dan menampung.

Salam

Gemolong, 07 Desember 2018