blank

Alhamdulillah kita dipertemukan dengan bulan suci Ramadhan tahun ini. Di mana-mana Ramadhan disambut dengan penuh kebahagiaan oleh semua umat manusia di muka bumi ini. Rahmat Allah melimpah tak terduga menjelang dan di tengah ramadhan. Kegembiraan dan keharuan menyapa semua kalangan.

Beginilah Allah ketika melimpahkan rahmat-Nya tanpa pandang bulu. Ramadhan membuka ruang yang seluas-luasnya untuk kita menempa diri, mengintrospeksi diri dan berproses menuju manusia yang seutuhnya. Ada hal yang berbeda kalau kita mau mengamati pola ibadah pada awal Ramadhan secara seksama. Begitu ringannya kaum muslimin menjalankan serangkaian ibadah dalam ramadhan yang betul-betul menguras tenaga, butuh stamina yang kuat untuk mengatur ritme supaya tetap istiqomah menjalaninya. Mungkin inilah cara Allah menunjukkan Ketegasan/Kekuasaan-Nya. Allahuakbar.

Jika biasanya kita enggan datang ke masjid, malas melaksanakan salat jamaah, maka di awal bulan ini kita berlomba-lomba melakukannya dengan enteng dan penuh kegembiraan. Belum mendengar adzan dikumandangkan, kita sudah melangkah menuju masjid. Entah dengan cara apa Allah menggerakkan hati umatnya sehingga begitu ringannya melaksanakan perintahnya itu. Boleh karena iming-iming pahala yang selalu dipropagandakan oleh para alim, bisa juga memang saat Ramandan sensitifitas hati para umat meningkat sehingga mudah tersentuh oleh belaian-belaian Allah. Melihat fenomena ini, Allah seperti ingin menegaskan, “Jika Aku mau, engkau semua beribadah dan patuh kepada-Ku, maka hal itu bisa Aku lakukan dengan mudah.”

Sepuluh hari pertama Ramadhan, sebagaimana yang disampaikan oleh para alim adalah saatnya Allah menebar kasih sayangnya. Banyak kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

Pada sepuluh hari kedua Allah menaburkan pengampunan, hal ini adalah wujud kebijaksanaan Allah. Kebijaksanaan itu terpencar juga melalui kesempatan untuk meraih lailatul qodar yang banyak perdebatan untuk berjumpa dengan malam yang lebih mulia dari seribu bulan ini.

Menjelang akhir Ramadhan biasanya di masjid dan surau-surau mulai surut jumlah orangnya, padahal  di akhir ramadhan Allah menjanjikan “Akan dijauhkan dari api neraka”. Mungkin karena menurunnya stamina masing-stamina pribadi dalam menikmati ramadhan atau memang orang-terpilih terpilih yang bisa merengkuhnya. Menjadi pelajaran bahwa untuk menjadi manusia-manusia pilihan butuh perjuangan yang berat dan keteguhan hati. Hanya orang-orang yang istiqomah yang mampu sampai pada tawaran Allah yang dijanjikan di sepuluh hari Ramadhan terakhir Ramadhan itu. Godaan itu berupa mall, persiapan lebaran hingga lupa esensi puasa. Maka tawaran berupa “Terhindar dari api neraka”, wujud dari sifat kepengasuhan Allah terabaikan.

Dan sebagaimana yang disampaikan oleh Mbah Nun, ternyata Allah juga (maha) berpuasa. Allah maha menahan diri, jika tidak maka kita yang seringkali ‘nakal’ dan ‘menjengkelkan’ ini akan cepat-cepat dibalas sesuai dengan amal perbuatan kita.

Dalam buku Tuhan Pun Berpuasa Mbah Nun mengutarakan; “Dengan amat setia Allah menerbitkan matahari tanpa peduli apakah kita pernah mensyukuri terbitnya matahari atau tidak.”

Kemudian “Allah memelihara kesehatan tubuh kita dari detik ke detik meskipun ketika bangun pagi hanya ada satu dua belaka hamba-Nya yang mengucapkan syukur bahwa matanya masih bisa melek,” Dan atas prilaku kita yang begitu menyedihkan Allah berpuasa.

Alhamdulillahirobbil’alamin. Allah mengasuh kita semua dengan rahman rahim-Nya.Tuhan menempa, menemani dan mengasuh hambanya untuk berproses menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa.