blank

“Gimana caranya menulis?”, tanya Pak Eko Tunas dengan berdiri di tengah-tengah jamaah. Tulis satu kata dan biarkan Tuhan menggerakkan tanganmu. Saat kamu menulis puisi, kemudian kamu pernah baca hasilnya, sering kaget tidak, “Kok aku bisa menulis seperti itu?” Lanjut Pak Eko menjelaskan, “Karena ketika kamu baca puisi, kamu membacanya pakai otak. Namun ketika kamu membuat puisi, kamu membuatnya dengan rasa. Karena dalam rasa itu ada Allah, ada Tuhanmu. Dan jangan pernah percaya dalam hidupmu percaya pada otak. Percayalah pada “rasa”mu, di mana dalam rasamu itu ada Allah. Makanya teorinya benar kan, tulis satu kata dan biarkan Allah menggerakkan tanganmu”.

Respon terakhir datang dari mas Handoko asal Tegal. Ia bertanya, ”Asal muasal nama Allah itu asliniya dari mana? Semisal kalau Alexander Graham Bell menemukan telepon, lalu yang mencetuskan nama “Allah” untuk pertama kali ini siapa? Terima kasih.” Sebelum pertanyan tersebut dijawab, Kang Yanto melantunkan bait-bait puisi nan indah.

Lalu pertanyaan itu direspon oleh Pak Ilyas, Gus Aniq, dan Pak Eko Tunas secara bergantian. Pak Ilyas mengatakan, ”Satu, kebenaran itu relatif. Mungkin menurutmu benar, mungkin menurutku tidak benar. Kedua, jangan pernah punya pikiran bahwa sesuatu yang terjadi sesuai dengan angan-anganmu, angan-angan kita. Terutama dalam hidup. Saya awali, satu, Allah kan pertama kali menciptakan Nur Muhammad, kemudian menciptakan jagad semesta ini. Lalu dibiarkan berkembang puluhan ribu tahun, kemudian Allah menurunkan khalifah untuk penataan di muka bumi ini. Kemudian ada Nabi yang diberikan panduan manual Alquran. Sesungguhnya manusia sudah beres jika mengikuti Alquran, apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan”.

Lanjut Pak Ilyas, “Tentang siapa yang menciptakan nama Allah, itu ijtihad, tadi saya sudah menjelaskan bahwa zaman kerajaan Majapahit-Kediri, saat itu adalah posisi mencari Tuhan, pencarian Tuhan. Kita ‘tidak boleh’ ngarani kalau zaman itu tidak punya Gusti Allah, zaman itu sudah dikenal ada Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Wenang, dan lain-lain. Dari pada kamu bingung siapakah Allah, Allah punya 99 sifat. Tapi ‘brand’-nya Allah yang paling menonjol adalah sifat Rahman dan Rahim. Seperti disebut dalam kalimat basmalah. Ketika Allah anda bayangkan, itu bukan Allah lagi. Siapa yang menamakan Allah? Ya, Allah hanya menerangkan Aku Maha Rahman, Aku Maha Rahim. Allah itu Rahman (saat mengucap kata rahman, mulut terbuka saat diakhir pengucapan), itu simbol bagi orang Jawa, kata rahman terucap pada posisi mulut itu membuka. Itu simbolnya bahwa Allah memberi Rahman kepada siapa saja. Semuanya ciptaan Allah diberi Rahman”.

“Tetapi kalau Rahim (saat mengucap kata rahim, mulutnya tertutup saat diakhir pengucapan) hanya orang-orang tertentu yang dikasih Rahim, maka Rahim itu tertutup sebagaimana rahim perempuan, tempatnya saja sulit dan harus tertutup. Maka rahim (pada perempuan) itu diberikan kepada orang-orang yang benar engkau cintai dan sayang.

Selanjutnya diajawab oleh Gus Aniq. Dia mengatakan, ”Jadi dulu itu belum ada yang namanya Allah, kerena sifatnya Allah yaitu tan keno kinoyo nopo. Wujudnya tidak ada, diangan-angan kita tidak sampai. Ceritanya bisa muncul Allah itu, Allah kan menciptakan Iblis, Iblis diberi tahu kalau ‘Aku’ itu Allah. Makin turun menurun itu ‘adam’, sampai tahapan ‘ilmu’. Dari akar bahasa apa kata ‘Allah’ itu? Dari dalam bahasa yang sifatnya keilmuan, ditinjau dari etimologi bahasa Arab, kata ‘Allah’ berasal dari kata wallah (artinya yang terhenyak), bisa menjadikan gemetar yang muncul dengan sendirinya.

Gus Aniq memaparkan, “Allah memberikan pergerakan di ruang kosong. Kita tidak bisa mengisi ruang kosong. Ada yang menggerakan ruang kosong itu, yaitu kita digiring Allah untuk mengisi kekosongan. Itulah yang disebut sifat somad. Kemudian al-Wahid, artinya satu, tapi bisa beranak menjadi dua, tiga, dan sebagainya. Berbeda dengan sifat ahad, ahad ini berarti Esa, tidak bisa diintervensi, ahad ini tunggal.

Secara turun temurun, bagaimana mensifati Allah, bisa terlihat secara tajalliyah, Allah mengejawantah. Awal munculnya yakni sifat rahman, kemudian rahman ini membendar dari ‘arsy, kemudian muncul kholqun, lalu muncul al-haq untuk memaknai kata khalqun yakni untuk mamaknai realitas-realitas. Maka Ibn ‘Arabi memaknai Allah dengan mengunakan haqqun dan khalqun. Kita masuk ke dalam ruang haq, untuk naiknya sampai Allah. Sedangkan khalqun adalah sifat manusia. Makanya kalau ada pertanyaan, “Allah itu dimana?” Ada yang bilang Allah di ‘arsy, punya tangan punya muka, itu semua kan muhal (mustahil). Jadi berpikirlah tentang manifestasinya Allah, tajalliyat-nya atau pengejawantahan Allah. Ketika kita berpikir tentang Dzat Allah kita tidak akan sampai. Berpikirlah tentang ciptaan-ciptaan Allah.

Pukul 02.00 wib, Kang Yunan memberikan kesimpulan, “Di Maiyah ini adalah salah satu tempat pencarian, dan jawaban-jawaban tadi bukanlah sesuatu yang final apalagi untuk saling menyalahkan dalam berargumen. Ini semacam perjalanan kita untuk belajar di Gambang Syafaat”. (Maulana Malik Ibrahim – Redaksi).