blank
Sumber Foto : caknun.com

“Seluruh bentuk aktivitas kita dalam menjalin hubungan orang per-orang dalam masyarakat dewasa ini seratus persen berwujud teror.”

Itu kalimat pancingan yang digunakan Danarto dalam esai berjudul “Teror”. Dalam kumpulan esai berjudul Begitu Ya Begitu tapi mBok Jangan Begitu, kawan seperjuangan Mbah Emha Ainun Nadjib ini ilustrasikan teror sebagai hal lumrah. Siapa saja, tanpa pandang bulu, bisa jadi teroris sekaligus korban.

Mbah Dan, demikian saya menyebut penulis cerpen “Godlob” ini, menengarai bapak kandung teror adalah kehilangan dimensi spiritual agamis. Ketika pandangan materialis disematkan pada segala aspek kehidupan sehari-hari, yang terjadi adalah terasingnya sisi humanis. Kepercayaan, saling menjaga, bahkan yang menjadi nilai dasar setiap manusia diberangus begitu saja oleh rasa curiga. Syiir Tanpo Waton bisa saja menyederhanakan permasalahan terkesan moderen ini dengan sikap persaingan antar manusia. Masuk akal, dan kasusnya tersebar di sekitar kita.

Merunut satu kejadian teror tidak bisa dilakukan dengan meniadakan peristiwa lain. Ini karena satu sisi selalu bertemu bidang lain. Seperti kubus, ke manapun menghadap, paling ekstrim hanya akan saling bertolakbelakang. Semua sisi itu saling berkaitan dan bisa berakibat menggunting dalam lipatan. Bahkan bisa jadi teror menjadi senjata paling ampuh pihak penguasa. Entah pribumi atau pendatang, kepentingan politik maupun ekonomi, atau justru semuanya sekaligus. Mbah Dan menemukan muara kemunculan teror ada pada kesadaran bahwa hanya kitalah yang paling berkuasa.

Dalam agama Islam ada istilah dosa yang sukar ditembus untuk dimaafkan Tuhan. Tak lain dan tak bukan adalah merasa paling benar. Bahkan menurut dalil disebutkan jika seorang manusia memiliki hal ini di kedalaman hatinya, otomatis tertolak memasuki surga. Api neraka akan menyucikan kesombongan. Barangkali dari situ Mbah Dan lantas kaitkan antara teror dan kecenderungan merasa serba paling.

Kini, aksi teror selalu dilawan dengan tanda pagar #kamitidaktakut. Menyelinap di antara dinding media sosial, menyebar tanpa terkendali. Ironisnya, seringkali diiringi tsunami isu bertema serupa di banyak daerah. Begitu dilacak ke kantor berita dengan jaringan wartawannya, nihil. Hanya sebatas pepesan kosong belaka. Alasan tanda pagar muncul untuk gagalkan cita-cita teror berkeinginan hasil yang seketika justru jadi indikator keberhasilan suatu teror.

Tidak hanya para pelaku aksi teror dengan dalih agama, siapa saja bisa menjadi aktor penyebar teror. Terutama jika Sindrom Fira’un menghinggapi hati. Iming-iming kekuasaan absolut tanpa batas adalah langkah menuju siapa yang mengkritik kekuasaan berarti mengkritik Tuhan. Bahkan dalam sejarah ditunjukkan dengan vulgar bahwa agama justru dipakai untuk melegitimasi kekuasaan berjenis tiran dan diktator.

Mbah Dan berikan jamu pegel teror untuk obati penyakit di atas. Salahsatunya melalui gagasan bahwa Tuhan tetap terkait dengan kekuasaan yang digenggam. Tuhan berikan hidup tidak seperti seorang anak yang berikan apel satu-satunya pada kawan. Mau diapakan apel itu oleh si kawan, terserah saja. Tuhan melalui banyak agama dan perantaraan para nabi selalu ingatkan bahwa apapun yang didapat di keseharian akan miliki konsekuensi sendiri-sendiri.

Dari sederet gambaran teror di atas, akan lebih mudah hindari diri dari efek samping teror. Jika tidak demikian logika yang diresapi, maka hati-hati karena kita bisa jadi telah membuat sebuah teror. Tanpa sadar masuk dalam lingkaran setan tak berkesudahan. Mbah Dan ingatkan betapa bahayanya berada dalam siklus teror. Resikonya bak memasuki hutan rimba yang mencekam dan tersesat di dalamnya, selamanya.