blank

Saat menjadi mahasiswa di tahun 2000-an, saya kadang melihat sepanduk yang mengabarkan diselenggarakannya acara Gambang Syafaat di Masjid Raya Baiturrahman Semarang. Hanya kadang-kadang saja saya berangkat. Baru menjelang tahun 2010 saya rutin datang bersama istri saya. Saya ingat, orang yang rutin datang duduk sesama pendengar di belakang adalah Pak Saratri dan Om Budi Maryono. Hingga ada dua orang inbok di akun fb saya, satu mengajak menggarap buletin Gambang Syafaat dan satu lagi menugasi saya menggelar tikar. Semua saya sanggupi dengan suka cita.

Tapi saya tidak hendak bercerita perjalanan saya. Saya hendak bercerita tentang Gambang Syafaat. Bagi saya Gambang Syafaat itu unik, ia memiliki keunikan tersendiri sebagaimana simpul-simpul lain yang juga memiliki keunikan sendiri. Coba lihat tanggal lahirnya yang selalu disyukuri setiap tahun, tanggal 25 Desember, menjadi hari libur Nasional. Tentang ini pernah ada cerita unik. Romo Budi pernah diundang mengisi Gambang Syafaat. Seperti biasa beliau datang memakai jubah warna putih dan membawa sexophone. Sebelum memulai pidatonya, beliau membuka, “Saya tadi sebelum ke sini ditanya saat mau berangkat dari Gereja, hendak natalan ke mana Romo?, kemudian aku jawab, hendak natalan di masjid Baiturahman Semarang.” sontak guyonan tersebut disambut Gerrr.

Gambang Syafaat dimulai tahun 1999, dimulai saat Mbah Nun dan KiaiKanjeng mengisi pengajian di Lapangan Pancasila Simpang Lima Semarang, setelah itu berlanjut menjadi rutinan setiap tanggal 25 setiap bulannya sampai hari ini.

Gambang Syafaat bagi penggiatnya itu seperti pesan, hadiah, kemudian menjadi amanah yang harus dijaga. Mengapa amanah yang perlu dijaga? Karena ia seperti sumur yang memberi keberkahan penghidupan rohani orang-orang di sekelilingnya dan eman jika anak cucu tidak bisa menikmati kelak.

Ok. Kita mulai dulu dengan mengupas nama yang diberikan oleh Mbah Nun terhadap forum ini Gambang Syafaat. Gambang adalah seperangkat alat musik yang membunyikannya harus dengan harmoni. Alat-alat musik bentuknya berbeda, mengeluarkan bunyi-bunyi yang berbeda pula. Ini sebagaimana yang datang di Gambang Syafaat, umurnya beragam, latarbelakang berbeda, profesi berbeda. Perbedaan itu seperti berkah karena akan saling mengisi. Kemudian ‘Syafaat’ maka Mbah Nun kok seperti berpesan kepada anak-cucunya jangan tinggalkan Kanjeng Nabi, cintailah Kanjeng Nabi, karena syafaat adalah cinta Nabi. Apa yang bisa kita andalkan di hadapan Allah selain Rasulullah? Dan Rasulullah juga wadul kepada Allah dengan membawa Ummat. Melalui Mbah Nun, saya mengenal segitiga cinta. Allah-Rasulullah-Hamba. Di mana saja Mbah Nun mengajak untuk bersalawat. Jadi Gambang Syafaat itu semacam pesan Mbah Nun kepada anak-cucunya yang beragam itu untuk selalu dalam lingkaran Allah dan Rasulullah. Bagiku cukup Allah dan Rasulullah, ada dan tiadaku semata-mata karnamu jua, begitu kata Mbah Nun.

Kemudian Gambang Syafaat ini semacam hadiah dari Mbah Nun untuk anak cucunya sebagai tempat belajar ingat mengingatkan tentang kehambaan, tentang cara berpikir. Kita adalah manusia yang disatukan karena cinta kepada Allah dan Rosulullah dan bergandengan tangan agar Allah tidak marah pada kita. Karena rasa syukur kepada Allah atas Gambang Syafaat itu maka merasa teramanahi untuk menjaganya sekuat tenaga.