blank

Habib Anis Sholeh Ba’asyin memulai bahas tema Gambang Syafaat edisi Januari 2018 sekitar pukul 22.30. Beliau yang juga memiliki acara rutin bulanan bernama Suluk Maleman memulai pembahasan dengan hal yang selalu dialami manusia. Keduanya adalah keterlibatan dan keterpenjaraan. Transendensi dan emanensi. Sebagai makhluk sosial, manusia dicetak untuk terlibat dengan lingkungan. Bahkan ada pepatah menyatakan jika manusia diasingkan akan matikan jiwa bahkan raga. Adapun terpenjara berarti ambil jarak agar bisa objektif.

Habib Anis mencontohkan dalam salat juga ambil jarak dari realitas tapi tidak dari Tuhan. Berlaku juga sebaliknya. Fenomena lupa sesuatu disarankan salat sunah dua rakaat lalu berhasil ingat ketika takbir sudah didirikan bisa jadi contoh. Ketika manusia mengesampingkan dunia justru seisi dunia didekatkan oleh Allah. Ketika mengejar dunia justru dijauhkan dari materi. Kekhusyukan dalam salat terbukti mampu buat Sayyidina Ali bin Abi Thalib lupa rasa sakit akibat anak panah yang bersarang di tubuhnya.

Habib Anis lanjut membahas dalam arus-arus massa, manusia sering lalai dengan tujuan. Ini karena terlalu fokus pada lingkup sempit di sekitar. Jika zaman kuno gunakan istilah ‘bird view’ atau pandangan burung, zaman baru bisa pakai kata ‘drone view’ untuk lawan penyakit aksi massa ini. Pandangan dari atas yang oleh Gus Mohammad Aniq disebut ‘melihat dari balkon’ ini jadi metode ambil jarak dari kerumunan. Bertujuan bisa objektif, meng-atas-i, ambil posisi di atas masalah.

Jika berada di dasar air terjun akan terlihat alirannya tidak teratur, tapi kalau mau melangkah mundur, bakal terlihat pola yang tadinya tidak terlihat. Balkon adalah simbol ambil jarak seperti agama, beri ruang sangat luas untuk kontemplasi. Berpegangan hanya pada Allah, bak konstanta yang abadi, nyata, dan tak akan berubah sepanjang masa.

Imam Hasan Basri yang lahir pada saat Sayyidina Umar bin Khattab jadi khalifah adalah sufi generasi awal yang sudah keluhkan zaman. Ia pilih tasawuf sebagai gerakan pengkritik zaman yang masih dekat dengan generasi sahabat Kanjeng Nabi itu. Penguasa zalim bergaya hidup mewah merata seantero negeri. Bentuk kritik paling radikal sufi ini adalah kenakan jubah wol kasar khas Nabi Musa, tidak beralas kaki layaknya Isa, dan tidak menuruti ego seperti Kanjeng Nabi Muhammad saw. Disusul di zaman berikutnya ada Imam Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir Jailani.

Sufi paling ekstrim dalam mengkritik adalah Al Hallaj yang dihukum mati oleh penguasa. Kritikan para sufi tadi bukan mengeluh tapi untuk ingatkan pola zaman. Seperti yang Kanjeng Nabi lakukan setelah menyepi di Gua Hira puluhan tahun. Begitu dapat wahyu, beliau paparkan pola amburadul jahiliyah ditandai prioritas yang kacau di Mekah. Hanya karena berebut angkat Hajar Aswad usai renovasi Kakbah bisa berakibat perang antar suku.

Habib Anis kemudian jelaskan di setiap zaman selalu ada pola yang terus menerus berjalan. Cakra manggilingan dalam istilah Jawa. Kadang di atas, berganti di bawah, tapi begitu-begitu saja. Menurut sejarawan, pola sejarah bisa ditebak dan berulang karena manusia cenderung statis. Penguasa zalim selalu ada dari mulai Nabi Daud, Musa, Isa, bahkan Kanjeng Nabi bebaskan 2 kerajaan terbesar di dunia.

Tidak lupa Habib Anis ingatkan bahaya langsung cerna Quran-Hadis. Kecuali jika dipakai sendiri, itupun harus diklarifikasi kepada orang yang paham jika temukan hal yang mengganjal. Adapun Mbah Nun persilakan bagi awam untuk langsung belajar ke Quran-Hadis dengan catatan dahulukan suara hati dan kesampingkan ego cari pembenaran. Trik pejamkan mata lantas pilih ayat Quran secara acak sering Mbah Nun ajarkan.

Kajian kemudian menguliti sifat sidiq yaitu konsisten jujur dan benar. Jika sidiq pasti amanah. Bisa dipercaya dan lakoni dengan tepat. Bahkan guru-guru Habib Anis yang hapal Quran sekaligus ahli tafsir jika ditanya tidak langsung jawab. Dipastikan dulu ego tidak ikut menjawab agar lebih tepat. Hati-hati dari ketergesa-gesaan.

Ada tradisi Sunni yang ditiru oleh Syiah dan terus dilembagakan hingga saat ini. Tradisi itu adalah fatwa kadaluarsa seketika pembuat fatwa meninggal. Bertujuan menjaga masyarakat dengan fatwa yang imbangi tuntutan kekinian. Tersebab tiap-tiap zaman hadapi rintangan, tantangan, dan peluang yang berbeda. Oleh sebab itu, butuh sikap yang berbeda juga.

Cari guru juga tidak hanya yang sesuai selera. Ketika itu dituruti, pertanda berguru pada nafsu sendiri. Maka temui pula guru yang tidak sesuai dengan nafsu. Jangan cari guru yang sesuai keinginan murid tapi murid yang menyesuaikan diri dengan guru. Imam Syadzili begitu kaya raya sampai seorang murid enggan berguru padanya sebab dianggao kurang zuhud. Begitu sampai di sebuah gubuk reot, ulama yang tinggal di sana sarankan lebih baik berguru pada Imam Syadzili karena beliau lebih alim.

Jalan tengah sikapi zaman konyol -sebuah revisi untuk istilah zaman edan oleh Gus Mohammad Aniq – yaitu tidak boleh optimis atau pesimis. Bertindak sesuai tuntutan zaman. Teladani sesepuh yang berperan mengarahkan, menengahi jika tidak ditemukan kesepakatan, dengan utamakan adab. Tentu sesepuh ini selain berumur tua juga bijaksana. Timur Tengah kacau selama puluhan tahun diawali umat tidak percaya pada ulama. Cela diumbar di depan publik, saling curiga pun timbul tak terkendali.

Balkon-bisa dimaknai sebagai mimbar- di Timur Tengah sering dijadikan alat propaganda. Kini sering ditemui juga saat khutbah Salat Jumat di Indonesia, tren yang dimulai Pilpres terakhir. Padahal podium atau balkon bisa untuk sarana mendengar sekaligus melihat pola. Diam saat mendengar memang tidak menunjukkan kepintaran. Ketika lisan bersuara atau kalimat terangkai melalui goresan tangan, barulah terlihat aslinya. Meski begitu, mendengar membuat pintar. Tentu karena butuh merendahkan hati dan terbuka pada segala kemungkinan.

Habib Anis lantas flash-back awal mula Facebook. Media sosial besutan Mark Zuckerberg itu tadinya sangat baik untuk silaturahmi. Bisa bertemu teman-teman yang puluhan tahun tidak bertemu. Kekisruhan terjadi ketika Obama memakainya sebagai alat kampanye. Para konsultan politik kemudian melihat peluang besar. Jadilah ia bak lapangan tempat massa berkumpul unjuk kekuatan dan pengaruhi opini kerumunan.

Saat ini lebih murah bayar buzzer media sosial daripada kampanye di jalanan. Ratusan miliar rupiah untuk satu pasangan calon saja, apalagi jika senegara, triliunan rupiah dibuang hanya untuk berbusa-busa dalam berbasa-basi. Sebelumnya pengguna media sosial adu argumen berbekal perangkat ilmu lengkap sehingga tercipta tukar pendapat kondusif. Setelah dipolitisasi, berubah brutal dilandasi benci dan fanatik. Pola ini harus disadari penduduk dunia maya agar tak latah ikut ribut politik.

Demokrasi orde baru dipenuhi kritik yang dilontarkan pihak oposisi. Usai reformasi justru para pembela pemenang pemilu yang sibuk ajukan pembelaan. Bisa bahaya jika arus demokrasi ini dibiarkan 3 tahun ke depan. Lebih baik masa bodoh dengan gegeran terbaru. Fokus pada kebaikan yang bisa dilakukan dan mendesak di keseharian.

Habib Anis sebut dalam Surat Al ‘Asr ada ayat anjurkan wariskan kebaikan. Bisa perlambang sudut pandang kedua, ketiga, seperti melihat dari balkon. Tidak bereaksi sesuai penafsiran diri sendiri tapi menunggu konfirmasi pihak lain. Harus dimaklumi ada manusia yang tidak mau dinasehati apalagi diwasiati. Bisa disebabkan egonya sendiri, merasa bisa sendiri.

Ada seorang sufi yang diingatkan anak kecil. Sang sufi sekaligus ahli fikih itu menerima sebab yang disampaikan kebenaran. Jika ada orang menunggu bis di stasiun, harus diingatkan dulu. Setelah dia sudah sampai di terminal, baru sarankan untuk sabar menunggu. Jangan di stasiun sudah disabarkan menunggu bis. Banyak di zaman now letakkan sabar tidak pada porsi atau posisi tepat.

Ketika manusi dalam masalah, ia cenderung lupa pengetahuan-pengalaman yang dimiliki. Butuh oranglain sebagai balkon yang bisa melihat dari sudut lebih luas. Seperti saat di bawah air terjun atau menunggu bis di terminal. Saling menasehati ini yang seringkali ditinggalkan atau malah dilakukan dengan berlebihan. Hamka saja membaca buku yang ditulis saat masih sehat untuk menasehati dirinya yang tengah sakit. Banyak juga kiai sepuh minta pendapat pada kiai sepuh lain untuk dinasehati.

Habib Anis menyoroti kata ‘saling’ dalam Al ‘Asr adalah penanda manusia sebagai makluk sosial. Harus bertukar manfaat, sesederhana berbentuk nasehat. Quran sebut orang yang mendengar nasehat adalah orang yang sudah dibuka hatinya. Misal sinis pada ajakan Salat Tahajud atau Duha sebab merasa bisa lakukan tanpa diingatkan adalah wujud kesombongan. Allah menguji melalui hal-hal sepele. Ego tersinggung berarti iman belum beres.

Anak sudah akil baligh lakukan keburukan sudah diingatkan tapi masih juga belum taubat, dosanya sudah jadi tanggungan si anak. Orangtua berlepas diri. Oleh karena itu, jagalah zaman lewat saling mengingatkan. Hindari memaksa, ego bisa ikut andil. Terkecuali punya kekuasaan maka wajib gunakan untuk lakukan perubahan.

Kemudian untuk merespon pertanyaan jamaah, Habib Anis jelaskan tentang takut karena cinta. Takut ada macam-macam, dalam konteks ke istri karena sayang, ke Allah karena memuliakan. Takut pada Allah adala positif, segan, seperti halnya pada guru. Takut negatif contohnya pada polisi, jika tidak ada maka berani langgar peraturan. Pernyataan sufi yang katakan surga dan neraka akan ia bakar karena lalaikan manusia dari Allah hanya sebatas ungkapan. Ingatkan manusia untuk tidak takut negatif.

Lalu Habis Anis menyambung konsep beribadahlah seolah mati sebentar lagi karena siap-siap bertemu Allah. Seperti mau apel ke pacar, inginnya cepat sampai. Lain jika menyangkut persoalan dunia, disikapi santai sebab masih lama waktunya. Mati itu pasti, hidup hanyalah janji. Begitu juga surga, manusia dekat dengan Allah maka di situlah surga. Tingkatan surga ada banyak, puncak tertinggi diisi orang yang tidak ingin apa-apa selain dekat dengan Allah. Makam para raja di Imogiri bisa jadi gambaran, di tingkat bawah makam penuh hiasan, di puncak justru sederhana seperti makam kampung padahal yang dimakamkan adalah para raja.

Banyak sekali ulama sepuh masih berdoa semoga khusnul khotimah padahal ibadahnya luar biasa. Seperti Kanjeng Nabi yang sampai bengkak kakinya hanya untuk persembahkan wujud syukur. Bersyukur mendapat rejeki terbesar dari Allah yaitu hikmah. Kesadaran akan hal yang telah, tengah, dan akan dijalani. Ini karena setan sesatkan manusia untuk terus ragu dengan berbagai halusinasi. Nabi sarankan tanya ke hati nurani saat bimbang karena ada Allah di sana.

Memungkasi Gambang Syafaat edisi Januari 2018, Habib Anis menganggap balkon adalah tempat untuk mencari ikatan. Berpegang pada tali Allah secara jamaah. Demi menghindari terpecah belah karena sedikit perbedaan, harus rela diikat seperti tasbih yang diikat tali.