blank

Tanggal 16-17 Maret 2017 Gambang Syafaat mengadakan sebuah acara di Cangkiran Semarang. Acara tersebut bertajuk “Rembuk Gambang 2018”. Acara ini membahas beberapa hal seperti pembagian tugas unutk acara selawenan dan hal-hal lain di luar acara tersebut. Perlu dipikirkan bersama karena Gambag Syafaat yang datang semakin banyak dan urusan semakin ribet maka perlu menajemen yang tertata rapi. Tanggungjawab besar jika dikerjakan secara bersama–sama akan menjadi ringan.

Acara rembuk Gambang ini membahas beberapa hal. Dari perihal munajat maiyah, moderator, mukadimah, reportase, dokumentasi, timkotak, konsumsi, merchandise, acara, perlengkapan hingga sampai hal sekecil seperti tratak hingga lampu menjadi obrolan yang dimulai selepas Sholat Isya’.

Tanpa ada paksaan para sedulur maiyah menawarkan diri untuk mengisi pos–pos(kerja) yang sudah ditentukan. Dengan penuh keikhalasan dan kebahagian mereka rela meluangkan tenaga maupun materi.

Acara malam itu dihadiri oleh lingkaran Sedulur Maiyah Kudus (Semak), Majlis Alternatif Jepara, Maiyah Kalijagan Demak, dan Majlis Gugur Gunung.

Foto: Eka (Dok. GS) | Cangkiran, 16-17 Maret 2018

Dalam kesempatan tersebut juga diceritakan tentang arisan kacung. Produk ini diciptakan oleh Semak (Sedulur Maiyah Kudus). Penjelasan teknisnya dari “arisan kacung” sebagaimana yang diceritakan Kang Ali kurang lebih seperti ini: sepuluh orang berkumpul dan iuran setiap orang seratus ribu. Jumlah uang terkumpul berarti satu juta. Sebagaimana arisan, sepuluh nama yang iuran itu dikocok dan yang keluar namanya maka ia harus membelanjakan kebutuhan orang sembilan tadi. Seumpama iuran dilakukan bulan Maret, uangnya diberikan pada bulan April. Orang yang keluar namanya akan menjadi kacung untuk sembilan orang yang lain. Dan sisa uangnya akan menjadi uang “dana abadi” jamaah.

Dari Kang Jion kita disuguhi khasanah salak. Kang Jion dalam forum itu menceritakan pengalamannya yang bisa memberi gambaran bagaimana jamaah bisa menjadi jembatan dari hubungan tengkulak dan petani yang tidak adil. Dan, bagaimana bisa menciptakan pasar sendiri agar pasar-pasar tidak melulu dikuasai para tengkulak licik. Kang Jion menceritakan dirinya di Maiyah Gugur Gunung sudah melakukan itu. Ceritanya diawali oleh Kang Patmo (Sekjen Maiyah Gugur Gunung) yang orang tuanya menjadi petani salak. Harga salak di pasar sekilo delapan ribu. Sedangkan para tengkulak membeli salak dari para petani seribu lima ratus. Keadaan ini menyebabkan petani salak sangat dirugikan. Kang Patmo dan Kang Jion lalu bersepakat lewat jejaring Maiyah Gugur Gunung memutuskan mengkulak salak dari para petani salak. Lalu mereka berdua membantu menjualnya kembali. Proses jualnya pun melibatkan masyarakat umum dan jamaah maiyah lain. Kang Jion mengkulak salak dari petani sekilo dua ribu dan menjualnya sekilo lima ribu.

Foto: Eka (Dok. GS) | Cangkiran, 16-17 Maret 2018

Memasuki pukul 02.30 WIB, Mas Sabrang hadir di tengah–tengah rembuk Gambang Syafaat. Mas Sabrang merasa perlu mengingatkan agar menjaga ketekunan dalam bermaiyah. Tentu saja dengan keihklasan.

Acara rembuk Gambang sudah memasuki hari berikutnya, para sedulur tak menampakkan raut kelelahan, beberapa pembiacaran bab maiyah memang menarik. Diskusi yang hidup serta obrolan–obrolan yang menimbulkan gelak tawa memenuhi ruangan sempit itu. (PriyoWiharto)