blank

“Pengalaman adalah guru yang terbaik”, begitu kata orang bijak. Dalam rekam jejak hidupnya, manusia pasti pernah merasa dalam titik jenuh. Titik yang mana berasal dari rangkaian kata, kalimat, paragraf dan pada akhirnya berhenti di titik itu. Jenuh. Namun titik itu bukanlah titik akhir atau sebuah penutup. Kejenuhan mengisyaratkan rasa bosan, dan ingin segera pindah ke tempat dengan lembaran baru. Menyusun kata, kalimat, paragraf baru yang lebih indah. Bukankah manusia akan dikenang oleh tulisan dan coretan di atas lembaran (hidupnya)? Setidaknya hal itu yang saya pahami dari puisi yang Cak Nun rangkai dengan judul “Takkan”.

Takkan
Oleh Emha Ainun Nadjib

Sudah kuputuskan takkan membenci
Bukan hanya karena kebencian tak sedikitpun ada rasa manisnya
Juga tak sekedar karena kebencian membutuhkan seribu kali tenaga
dibanding yang diperlukan oleh cinta
Benar-benar sudah kuambil keputusan untuk takkan membenci
Terutama karena amat sangat terlalu banyak hal di muka bumi ini
yang tak bisa disentuh oleh apapun kecuali oleh rasa benci

Sudah tak ragu lagi aku takkan meludahi
Bukan karena ludah itu aurat
Juga tak sekedar karena sudah terlalu berlimpah jumlah perilaku
yang tak sedikitpun ada martabatnya sehingga tak ada
yang tepat dipersembahkan kepadanya kecuali diludahi
Sungguh-sungguh sudah tak boleh lagi aku untuk takkan meludahi
Terutama karena jikapun kuludahi muka para pelaku kehinaan itu,
mereka takkan pernah mengerti apa makna diludahi

Sudah pasti takkan kubunuh, takkan kurakit bom, takkan kuhimpun
massa untuk pemberontakan
Bukan hanya karena tangan kotorku ini takkan kubiarkan menjadi
lebih kotor lagi
Demi segala demi, takkan lagi pernah akan kusentuh kerendahan
budi yang merajalela dan kebebalan akal yang usianya terlalu
berkepanjangan itu
Terutama karena kini aku sudah merdeka, dan bukan kelayakan
hidupku lagi untuk menyelenggarakan kehancuran itu

Jogjakarta, 17 Juni 2003

Dari puisi yang dimuat dalam Majalah Horison edisi Agustus 2003 ini kita bisa belajar, dalam hidupnya manusia tak kan bisa hidup mengembara dengan rasa benci. Dalam puisi itu, Cak Nun mengajarkan bahwa cintalah yang bisa membasuh kita dari rasa benci. Karena membenci “membutuhkan seribu kali tenaga dibanding yang diperlukan oleh cinta”. Karena kebencian adalah merupakan akibat kebebalan akal yang akan berkepanjangan dan melelahkan. Kebencian hanya akan menghancurkan diri sendiri.

“Bukan hanya karena tangan kotorku ini takkan kubiarkan menjadi lebih kotor lagi”, maka bukankah Tuhan masih memberikan kesempatan bagi kita untuk berubah. Dan berubah adalah tentang “pilihan” hidup. Juga karena kemerdekaan sejati ialah saat kita mau bertransformasi dan menjadi manusia yang meninggalkan jejak-jejak cinta dalam hidup. Pilihan yang menjadikan kita “takkan meludahi” sesuatu yang membuat kita benci.

Kemudian kita “Takkan” mengulangi rasa membenci dan belajar dari rasa benci yang kita alami untuk memerdekakan diri darinya. Karena tiap kehancuran diawali dengan sikap membenci. Dan juga di bulan Ramadhan ini ternyata Tuhan masih memberikan kita lembaran-lembaran baru untuk kita tuliskan kata, kalimat, dan paragraf dengan tinta cinta di tiap harinya sampai kita menuliskan “titik” di akhir kehidupan kita di dunia. Kita belajar dari Cak Nun, dari cinta yang selalu ditulisnya, sehingga kita bisa membaca dan mencintainya.

Semarang, 21 Mei 2018