blank
Foto: Monty (Dok. GS) | Komp. Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang | 25 Februari 2018

Kiai Muzammil hadir di Gambang Syafaat (25/2) sesaat setelah Mbah Nun menjelaskan tentang sejarah 80 tahun kutukan pada Sayidina Ali saat Khutbah Jumat. Kehadiran beliau di pelataran Masjid Raya Baiturahman Semarang membuat beberapa jamaah di sekitar saya tersenyum dan menyambut dengan kecupan tangan. Begitu duduk, Mbah Nun langsung memberi tugas Kiai Muzammil untuk menjelaskan tentang doa yang dilantunkan di pemakaman Pak Is, ahli seruling yang menemani Kiai Kanjeng selama lebih dari 21 tahun. Nyentriknya doa itu ada pada semoga Pak Is diberi rumah dan istri yang lebih baik di surga. Mbah Nun merespon dengan pertanyaan pada audiens apakah mau diganti pasangan hidupnya di surga atau tetap sama seperti di dunia.

Kiai Muzammil kemudian ajak jamaah maiyah untuk tidak anggap orang yang cari materi sebagai orang yang mengejar dunia. “Tiap manusia punya niat tersembunyi dalam hati. Satu sama lain tidak saling mengetahui. Prasangka baik ini sebagai pengingat agar tidak materialistik atau melihat apapun dengan sudut pandang dunia. Misal salat khusyuk bisa jadi hanya untuk dapat tahta, harta, bahkan wanita. Itu juga termasuk matre. Tidak semua yang terlihat hanya sebatas yang dilihat. Maka memang benar untuk tidak menilai buku hanya dari sampulnya.”

Kemudian Kiai Muzammil membahas materi dunia adalah pemberian Allah. “Jangan membenci benda apapun. Salah satu cara mengurangi kebencian berlebih pada benda itu adalah dengan temukan alasan agar bisa demi Allah atau akhiratnya. Misal, istri dinikmati sampai akhirat, tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan duniawi darinya tapi juga ketenteraman sebagaimana di surga. Di dunia cicipi secuil saja, dalam artian tidak melulu tentang istri apalagi sampai mengesampingkan aspek lain. Banyak yang begitu cintanya pada istri sampai tega membangkang nasehat orangtua atau enggan bernegosiasi bahkan mengalah pada mereka yang telah membesarkan si suami. Terpenting adalah melakukan perjalanan menuju kebaikan bersama. Menuju situasi dan kondisi sakinah yang dinamis hadirnya.”

Kiai Muzamil menambahkan bahwa ketika kita hanya mengejar dunia, yang terjadi selanjutnya adalah terjebak dalam kesempitan. Padahal kesempitan dan keluasan adalah soal sudut pandang. Sama halnya dengan derita dan bahagia. Bukan bagaimana perasaan atau sakit itu kepada fisik dan batin. Fokuskan pada menerima, sabar atasnya, kemudian mensyukuri disertai banyak alasan lainnya. Betapa banyak yang berkelimpahan harta, menduduki banyak kursi kuasa, bahkan disukai banyak pria atau wanita kemudian malah stres dan bunuh diri karenanya.

Timbul pertanyaan dari seorang Jamaah Maiyah tentang ciri mursyid yang layak diikuti. Kiai Muzammil menjawab, jika ingin cari guru menuju akhirat, pastikan dulu si guru sudah sampai ke sana. Menguji kebijaksanaan guru seperti itu boleh dan sah dilakukan. Jangan sampai si murid ingin menyikapi dunia sesuai kadarnya, si mursyid malah ajarkan untuk meraup dunia sepuasnya. Beliau lantas bercerita tentang sebuah tareqat yang murid seniornya saling berebut untuk menduduki posisi mursyid. Maklum, massa yang banyak, terorganisir, dan loyal sangatlah seksi di mata politikus. Jalan tasawuf yang ditempuh untuk menghindari hal materi sebatas nafsu justru ditunggangi nafsu untuk berkuasa di dalamnya.

Foto: Monty (Dok. GS) | Komp. Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang | 25 Februari 2018

Kiai pengasuh pondok pesantren di daerah Yogyakarta yang pernah pulang ke ponpesnya sembari angkat sarung dan jinjing sandal lantaran kebanjiran ini lantas tunjukkan keunikan maiyah. Menurutnya salah satu keunikannya adalah karena bisa mengumpulkan anak muda yang lumrahnya memiliki hobi mengejar dunia dan larut dalam tipuan-tipuannya. Anak-anak zaman now di dalam maiyah ini datang tanpa iming-iming uang, tenar, atau sekadar viral. Murni demi akhirat. Bandingkan dengan di masjid-masjid, sudah hanya berisi orang-orang tua yang itu-itu saja. Pak Ilyas sering berkelakar bahwa jamaah Gambang Syafaat sering bergonta-ganti tapi alhamdulillah tetap banyak yang hadir, walau kuantitas bukanlah patokan.

Kemudian kiai asal Madura ini menceritakan keunikan Mbah Nun dalam beberapa waktu belakangan. Seolah membicarakan seseorang, tanpa menyebut nama, tapi topiknya adalah pria sepuh berkemeja putih di samping beliau. Termutakhir adalah saat Mbah Nun sampai harus bergonta-ganti nomor telepon. Tujuannya agar tidak dikejar oleh penguasa negeri bernama Indonesia. Tentu saja bisa jadi hanya ingin memanfaatkan beliau dan maiyah yang menurut pandangan analis politik sangatlah menggoda. (Rekadsi-Ihda Ahmad Soduwuh).