blank

Hampir setiap acara maiyahan, di akhir acara Mbah Nun memberi kesempatan kepada jamaah untuk salaman dengan beliau. Suatu waktu bisa jadi jamaahnya ratusan, pada waktu yang lain mungkin mencapai ribuan. Durasi salaman di sesi akhir maiyahan bisa jadi hanya setengah jam, dan terkadang lebih dari satu jam. Andaikan saya membuat asumsi perhitungan matematis berapa banyak Mbah Nun bersalaman dengan jamaah maiyah sudah barang tentu hasilnya lebih dari satu juta. Mbah Nun telah melakukan maiyahan berkeliling ke wilayah di Indonesia lebih dari 15 tahun. Melakukan pergelaran lebih dari 3000 kali. Bisa saya bayangkan “bekas” salaman yang ada di tangan beliau.

Pada suatu acara gambang syafaat, ada asumsi menarik dari jamaah. Bahwa salaman sebagai peristiwa tangan bertemu tangan, pada saat salaman sebenarnya orang mengirimkan dua sinyal, pertama sinyal sukur berkumpul/berjumpa, yang kedua adalah sinyal doa harapan. Salaman sendiri jika boleh ditadabburi secara bahasa mungkin berasal dari kata salam yang berarti keselamatan, kesejahteraan. Maka salaman adalah doa yang bergerak dari tangan yang satu ke tangan yang lain. Semakin banyak salaman, semakin banyak doa yang menempel.

Salaman yang terjadi di acara maiyahan adalah salaman ketulusan, jamaah yang hadir tidak dimobilisasi, mereka semata-mata ingin mencari ridho Allah dengan sholawatan. Mbah Nun mengatakan bahwa kebanggaan beliau kepada Indonesia adalah saat di tengah-tengah jamaah yang istiqomah duduk berjam-jam tidak mengharapkan iming-iming keduniaan sama sekali. Bagi beliau Maiyahan itu semacam mukjizat, energi jamaah yang hadir adalah energi yang digerakkan langsung oleh Allah, bukan oleh motivasi lain.

Saya tidak heran ketika mendengar cerita bahwa banyak jamaah yang ingin anak-anaknya dielus elus oleh tangan Mbah Nun. Bisa jadi, karena tangan Mbah Nun mengandung “energi yang ditimbulkan karena tempelan jutaan salaman ketulusan dari jamaah” maka tangan Mbah Nun menjadi mustajab. Saya tidak paham apa-apa tentang kriteria mustajab, tapi saya percaya tentang interkoneksitas, keterhubungan. “Bekas” salaman di tangan Mbah Nun, bukan sekedar “bekas”, saya pecaya itu memberi alasan kuat sehingga saya berasumsi bahwa Tangan Mbah Nun mustajab.

Mengapa orang-orang berduyun-duyun ingin bersalaman dengan Mbah Nun ? tentu banyak sebabnya, motivasi setiap orang mungkin berbeda. Tetapi saya berasumsi, salah satu kekuatan Mbah Nun adalah pada empati beliau. Saat Mbah Nun berbicara di hadapan petani, Mbah Nun menyuarakan keluhan dan harapan petani. Ketika Mbah Nun berbicara di hadapan jajaran petugas pajak di level paling bawah, Mbah Nun berempati kepada mereka dengan mengatakan bahwa menjadi petugas pajak di Indonesia itu pasti susah, petugas pajak diminta menarik uang dari masyarakat yang tidak percaya kepada pemerintah dikarenakan uang hasil pajak sebagian di korupsi oleh departemen lain. Bahkan saat Mbah Nun melakukan pengajian di lokalisasi, beliau tidak memarahi dan tidak menekankan bahwa melacur itu tidak baik, beliau sekedar menyentil dengan guyonan tentang sparepart yang aus, tentang suatu saat penghuni lokalisasi pasti akan pensiun karena keausan sparepartnya, maka harus ada rencana menyusun hidup pasca pensiun.

Orang yang bisa berempati adalah orang yang mampu menekan kadar keakuannya, dalam sebuah edisi gambang syafaat pernah di diskusikan perihal aku dan wilayah aku, bahwa Semakin kecil kadar aku mu, semestinya semakin luas cakupan wilayah aku mu. Dulu saat masih kecil, saat belum punya saudara, seorang anak akan selalu berfikir hanya dirinya saja. Mainan adalah miliknya penuh. Ketika seorang anak sudah punya saudara, pikirannya sudah sedikit berubah. Ketika misalnya dibelikan jajan, si anak akan memikirkan saudaranya. “Buat adik mana pah ?”. Setelah menikah, punya anak istri. Maka mestinya aku bukan lagi mewakili aku, aku menjadi semakin meluas cakupannya. Aku adalah aku dan keluargaku. Saat engkau merasa bahwa aku adalah aku dan keluargaku, disitu sadar atau tidak, terjadi proses “mengecil”nya kadar aku mu. Orang yang tidak memikirkan anak istrinya, padahal dia sudah berkeluarga, hidupnya masih mementingkan dirinya, itu artinya kadar aku nya masih besar, dan cakupan wilayah aku nya hanya sebatas dirinya. Seorang pemimpin tentu wilayah aku nya harus sangat luas, dan kadar aku nya sudah sangat kecil.

Saat seseorang mampu berempati dan menjadi bagian dari orang lain saat itulah sebenarnya dia telah “nyawiji” , dia telah mengamalkan konteks BagiKu kamu adalah Aku. Bagaimana mungkin “nglarani” orang lain? Bagaimana mungkin tidak “memperjuangkan” orang-orang yang dengan tulus memberikan doa serta menitipkan harapan?

Saya melihat Mbah Nun adalah orang yang telah mempunyai kesadaran “nyawiji”, kesadaran bagiku kamu adalah aku, ini ditunjukan dengan empati beliau kepada setiap orang yang ditemui. Maka tidak heran, ada magnet yang luar biasa yang bisa menarik orang-orang untuk berduyun-duyun duduk mendengarkan beliau, dan kemudian rela antri untuk mencium tangan beliau.

Tuhan sangat gembira melihat kebersamaan di Maiyahan, Nabi Muhammad hadir dalam kesadaran ruhul yaqin para jamaah maiyah. Kalo sudah begitu, bagaimana mungkin saya tidak percaya terhadap Tangan Mustajabnya Mbah Nun?