blank

Gholibnya, delapan belas adalah angka yang fantastis bagi segenap kalangan numerolog. Kita sejenak akan menerjun dan menyayap di sekeliling kebesaran angka pancawara delapan belas. Ia mengandung nilai yang sangat besar dan unggul. Dianggap unggul, tersebab terhitung akhir hari, yakni Sabtu yang bernilai 9, yang kemudian digabungkan dengan pasaran Jawa Pahing yang bernilai 9 juga. Sabtu Pahing akan menghasilkan nilai 18. Saya tidak akan membahas khusus tentang 18 dalam hal itu. Tetapi yang pasti saya kagum atas kehebatan para pengkuno kita yang begitu detail mengkonstruksi alam pikir dengan realitasnya.

Bahkan, semenjak kita lelap dengan fatamorgana kemodernan, hampir-hampir penghitungan ala tersebut tidaklah populer atau celakanya dianggap remeh dan ketinggalan zaman. Lantas kita terbawa oleh ihwal mempertahankan diri melalui upaya individualistik yang sarat katanya modern. Zaman yang peradabannya dikatakan kuno tidak lagi dipelajari dan di-ngaji-ni. Ia hanya terkesan tunggangan terhadap pemunculan zaman kini.

Kita meyakini itu semua adalah bagian dari belajar kehidupan. Jika ada yang terus menerus menganggap klenik atau bid’ah atau boleh dikata kufur dan syirik, pantaslah ia menyandang kekufuran itu sendiri. Selama kita tidak menduakan Tuhan apalagi mengabaikannya, tentu tidak mengapa. Dia Maha Mengatur dan Menguasai jagat. Dia menciptakan segala sesuatu baik yang bersifat materiil dan immateriil. Maka, sedikit manusia yang bisa bersyukur dan memikirkannya.

Jannatul Maiyah Gambang Syafaat adalah ruang yang mempertemukan kita dengan bentuk ciptaan Allah yang tampak maupun tak tampak. Penampakan maujud tervisual melalui guyubnya perseduluran sesama manusia dalam satu perjumpaan mesra tiap bulannya. Yang tidak tampak malah paling besar persentasenya dibanding yang tampak. Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar mereka yang menyedekahkan dirinya kepada Gambang Syafaat dan istiqomah menjalankannya. Atas dasar apa mereka memberi, memomong, menghidupi, menjalani, serta mendampingi acara Gambang? Cinta adalah jawabnya.

Paling tidak, Gambang Syafaat sudah membagikan kemampuannya untuk menggiring bagaimana memaknai kehidupan, memahami realitas-realitasnya sehingga kepantasan kita sebagai manusia benar-benar terwujud dan berterima. Duhai alangkah indahnya manusia dikatakan manusia. Duhai alangkah harmonisnya manusia yang benar-benar memanusiakan manusia. Tanpa basa basi dan sudah tentu jawabnya atas dasar cinta. Iya, cinta Allah, cinta Muhammad, dan cinta manusia.

Singkatnya, saya secara pribadi bersyukur Allah menggiring saya turut ikutserta dan megikutsertakan diri saya dalam Gambang Syafaat. Delapan belas tahun sudah Gambang Syafaat berjalan. Tentu ini akan selalu berlanjut dan berlanjut. Saya bertadabbur bahwa delapan belas boleh jadi awal untuk keberlangsungan “tamyiz dan mukallaf”. Manusia pada umur itu mulai akan meranah tua pikirnya, mandiri etos semangat hidupnya, dan matang untuk men-Syin-kan ‘arsy kepada semuanya. Saatnya Gambang Syafaat mengepak-lebarkan sayap garudanya. “Fain tawallau faqul hasbiyallaahu laa ilaaha illaa huwa. ‘Alaihi tawakkaltu wahuwa robbul’arsyil ‘adhiim.”[]