blank

Pada Gambang Syafaat edisi 25 Juli 2017, mengangkat tema ‘Mendidik Sekolahan”. Sebuah judul yang cukup menghentak. Sekolah adalah tempat untuk mendidik, mengapa sekolah perlu dididik? Adakah masalah dalam sekolahan kita? Sekolahan adalah sebuah tempat yang diselenggarakan oleh Negara dan juga swasta demi terselenggarakannya pendidikan. Negara menganggarkan dana yang tidak sedikit demi sekolah. Gambang Syafaat sebuah forum yang terdiri dari orang-orang biasa berani membicarakan sekolah. Tidak ada pejabat dari departemen pendidikan, tidak ada pula pakar pendidikan. Yang hadir menemani diskusi adalah Gus Aniq yang mencoba meninjau pendidikan dari Al-Qur’an, dan Mas Agus yang membicarakan pendidikan dari khasanah Jawa, Kang Ali Fatkhan, Pak Budi Maryono, Pak Ilyas, Pak Eko Tunas, dan Pak Uki Bayu Sejati. Mereka menemani anak-anak maiyah yang malam itu hadir dalam acara bulanan yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Kok berani-beraninya ngrasani sekolah? Tentu saja berani, kita yang juga terkena imbas dari sekolah.

Sebagaimana biasanya acara dimulai dengan bacaan ayat suci Al-Qur’an, Munajat Maiyah, dan Prolog atau Mukadimah. Mukadimah pada malam hari itu disampaikan dengan cara yang berbeda. Mukadimah disampaikan dengan cara dialog antara tokoh bernama Gambang yang diperankan oleh Ziaul Haq dan tokoh Syafaat yang diperankan oleh Joko Demak. Sedangkan ilustrasi musik oleh Danu. Prolog menyampaikan keresahan Kang Gambang yang sedang mencarikan sekolah untuk anaknya. Sekolah yang bagus, yang menjamin si anak perihal akhlak, akidah, pergaulan bebas. Tentu saja isi kantong juga menjadi pertimbangan. Kritik terhadap sekolah juga dilancarkan. Misalnya bagaimana anak diposisikan di dalam sekolah. Benarkah ia menjadi aktor utama dalam pendidikan? Semua fasilitas, kurikulum dan kebijakan diambil atas pertimbangan anak? Atau anak hanya berperan sebagai objek, dan diperlakukan sebagaimana industri kepada konsumennya. Anak menjadi alibi untuk perjuangan agenda non pendidikan, pendidikan anak menjadi sekunder.

Kang Ali Fatkhan bercerita tentang pendidikan yang mencakup empat hal tujuan, yaitu untuk diketahui, dipraktikkan, menjadi kepribadian, dan yang keempat adalah ditebar-tebarkan efeknya. Sebagai contoh, belajar tentang mengucapkan Assalamualaikum jika bertemu dengan orang lain. Pertama dimengerti bahwa adabnya bertemu orang adalah mengucapkan salam, kedua dipraktikkan -praktek cara mengucapkan salam-, ketiga menjadi kepribadian – spontan dalam keseharian-, dan keempat pemahaman tentang assalamualaikum itu harus mendalam sehingga efeknya bisa terasa bagi orang-orang di sekitarnya. Ia yang uluk salam maka harus menebarkan keselamatan.

Berbeda lagi dengan Gus Aniq. Pertama-tama ia mengurai tentang sekolah sebagai institusi dan sekolah sebagai tempat belajar. Sekolah sebagai tempat belajar bisa dimana saja, di bengkel, di sawah bisa digunakan sebagai sekolah dalam arti tempat belajar. Sedangkan sekolah sebagai institusi yang sekarang terkotak dalam kelas-kelas, yang terkadang menjauhkan dengan dunia keseharian anak. Misal anak laut tidak diajari menangkap ikan, anak petani tidak diajari bercocok tanam.

Terkait dengan sekolah Gus Aniq mengajak untuk mengurai Surat Al ‘Alaq. Wahyu pertama. Surat Al ‘Alaq adalah tataran ideal yang harus dipegang. Iqro’ bismirobikal ladzi kholaq, segala hal harus dibaca. Yang dibaca adalah yang diciptakan untuk sampai pada yang menciptakan. Semua hal ini adalah ciptaan Gusti Allah. Yang harusnya kita pikir adalah ciptaannya Gusti Allah saja jangan Allahnya kita pikir. “Ora tutuk-ora tutuk”, kata Gus Aniq. Allah kok dipikir keberadaannya dimana. Semakin kita mencari keberadaan Allah semakin keliru. Yang benar adalah, berpikirlah manifestasinya Allah. Tajallinya Allah. Caranya bagaimana? Caranya adalah dibaca dengan, ismu robmu itu harus hadir untuk menyertai membaca fenomena. Mengapa menggunakan kata ‘rob’? karena artinya ngayomi, mendidik. Rob itu terus menerus, istikomah, mengayomi tidak saling bertentangan. Rob turunan katanya tarbiyah maka (karena rob berarti ngayomi, mendidik, dan tidak saling bertentangan) mestinya jika pendidikan menciptakan daya saing itu pasti ada yang salah.

Mas Agus mengurai tema dengan terlebih dahulu mengungkap kata pendidikan. Pendidikan menurutnya dari kata kedik, dalam bahasa Jawa ada dua arti, yaitu sedikit dan menggaruk, (tubuh yang gatal). Ilmu sebenarnya sudah ada, sudah jangkep hanya kita perlu gegulang dan ngeluru maka ada kata guru. Gegulang adalah mengeksplorasi, mengurai, membaca atau iqro’. Sedangkan ngeluru atau artinya mencari. Mengukur bisa menghitung panjang, berat, kapasitas sedikit demi sedikit (kedik). Akhirnya bisa menjadi manusia yang wasis ing bawa makanya ada kata siswa. Wasis artinya kepantasan. Dari mengukur, mengorek sedikit-demi sedikit itu mengendap dan menyatu dalam diri manusia. Pribadi yang wangun, artinya pribadi yang siap membangun diri dan lingkungannya. (Redaksi/Hjr)