blank

Pada akhir abad IX sampai awal abad XX, pemerintah kolonial Belanda mengenalkan sistem pendidikan kepada pribumi yang bernama sekolah. Semula sekolah diperuntukkan bagi kalangan priyayi atau anak para bangsawan. Para pribumi mulai merasakan konsep pendidikan yang dikelola secara “modern” mengacu cara Barat menerapkan pendidikan. Orang-orang mulai tergoda untuk merasakan sekolah demi kemudahan mendapatkan pekerjaan dan iming-iming gaji.

Pamrih bersekolah demi pekerjaan sudah menjamur sejak awal mula sekolah dikenalkan di Indonesia. Hierarki profesi yang terbentuk di masyarakat secara tidak langsung mengajarkan bahwa bersekolah tinggi akan berbanding lurus hasilnya dengan jabatan dan gaji. Orang-orang mulai gandrung terhadap sekolah demi profesi yang terlihat mewah di mata masyarakat. Sekolah yang dipahami secara pragmatis-ekonomis sudah menjalar pada awal-awal berdirinya sekolah di Indonesia.

Tapi itu tidak bisa dipukul rata. Tidak semua pribumi bersekolah demi jabatan yang mentereng. Banyak juga pribumi yang bersekolah untuk niat kemuliaan mencari ilmu dan keinginan lekas membebaskan masyarakat pribumi dari kegelapan kebodohan.

Sekarang, rasanya sulit menjauhkan nalar pekerjaan dari sekolah-sekolah tinggi. Sekolah telah menjadi pemberi tiket untuk memasuki perusahaan dan meresmikan kita sebagai manusia bernama pegawai atau karyawan. Orang-orang ngotot sekolah untuk mendapatkan uang. Niat berilmu mungkin kalah oleh pikat gaji dan kesejahteraan hidup. Sekolah di zaman sekarang telah dianggap memberi seribu manfaat meski juga tidak sedikit memberikan petaka pada kewarasan hidup.

Forum Gambang Syafaat kali ini (25 Juli 2017) membicarakan tema yang agak nyelekit, Mendidik Sekolahan. Tema ini berkeinginan mengajak jamaah untuk memikirkan ulang makna bersekolah dan mengingat kembali makna berilmu. Pada perjalanannya sekolah di Indonesia telah ditimpa sejuta masalah. Berita-berita buruk tentang kebijakan sekolah terus menghampiri seperti tidak ada yang berniat mengurusnya. Di saat seperti ini di mana kebijakan-kebijakan pendidikan sudah sering memberikan protes-protes keras dari kalangan guru, orang tua murid, dan masyarakat umum. Membicarakan pendidikan dan mengorek hakikatnya adalah usaha kecil menjaga kewarasan akal dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan.

Makna-makna dalam pendidikan bisa kita kuak dari istilah-istilah yang digunakan. Bagian mengorek istilah-istilah dalam pendidikan kali ini dilakukan oleh Mas Agus, Penggiat Maiyah Ungaran Gugur Gunung. Mas Agus menjabarkan secara panjang dan jelas bagaimana asal mula kata yang sekarang sangat erat dengan dunia pendidikan. “Makna pendidikan sendiri berasal dari kata Jawa ndidhik.”

Ndidhik,” kata Mas Agus, “ dari tembung kedhik karena menggaruk yang disebabkan oleh rasa gatal. Dan kedhik yang berarti sedikit (ukuran).”

Penelusuran asal mula kata pendidikan memberikan informasi pada khazanah keluasan keilmun Jawa. Pembicaraan pendidikan mulai memasuki ranah kejawaan dalam membicarakan bab pendidikan. Uraian tentang ini memang jarang sekali kita dengar. Maka ketika setiap istilah pendidikan yang diuraikan Mas Agus seperti memberi pengetahuan dan pemahaman baru pada pendidkan.

“Kalau malam ini kita membicarakan tema Mendidik Sekolahan, itu berarti kalau sekolah mengambil dari kebudayaan Barat, maka sekolah kudu iso ditimurke.”

Frasa Mendidik Sekolahan seperti mencoba mengharmonikan dua kebudayaan yang berasal dari dua arah yang berbeda: Barat dan Timur. Dalam kaitan ini berarti kita harus menyesuaikan sekolah dengan keadaan pada manusia serta budaya yang ada di sini. Sistem sekolah Barat boleh kita ambil tapi tidak untuk menghilangkan kebudayaan kita.

“Leluhur kita sudah mencontohkan terminologi-terminologi pendidikan melalui level paling minor, yaitu keluarga. Makanya menyebut diri yang pribadi itu sebagai wong. Wong iku ing wang, awang uwung. Kemudian wong-wong iki manggon ing kawula warga. Jadi warga yang kawula atau ngabekti. Ngawula karo Gusti. Carane ngawula karo Gusti iku kepiye? Carane yaiku Bagusake ati. Tek mbaguse ati engko reti urip kang becik kudu bebrayan utawi bebarengan.”

Penjabaran Mas Agus menekankan bahwa pendidikan bermula di keluarga. Keluarga ini tempat kita mengenali diri sendiri dan tempat mengenalkan kita kepada Gusti. Pengertian keluarga juga bermakna berdekatan dengan Gusti. Terminologi keluarga dikenalkan tidak lain untuk mendidik diri sendiri agar bisa berdekatan dengan Gusti. (Redaksi/Yunan)