blank

Kebutuhan bersinau bareng seharusnya menjadi energi positif yang terus mengalir, pantang surut dan tidak mudah menyerah bagi setiap insan. Bersinau tidak ada batasan umur apalagi di bidang tertentu. Bukankah tugas manusia hanya ikhtiar. Dan sinau bagian dari upaya ikhtiar tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah janganlah berpikir sinau agar menjadi siapapun apalagi ingin pintar. Serahkanlah kepada Tuhan. Apa yang sudah kita upayakan, tawakkallah pada Tuhan karena keputusan ada padaNya. Bukankah segala sesuatu bahkan pengetahuan sejatinya kita berasal dariNya. Allamal insana maa lam ya’lam, Tuhan mengajarkan sesuatu yang belum diketahui. Dengan demikian pantaskah kita sombong. Bagi Janatul Maiyah Gambang Syafaat, upaya untuk sinau bareng tidak akan berhenti. Meskipun bersinau bareng setiap bulan sekali tidak diperuntukkan untuk mengkultuskan sebagai apapun, apalagi menempatkan diri menjadi bagian apapun. Orientasi sinau hanyalah tholabul ilmi, mencari ilmu.

Apapun dan siapapun sebenarnya bisa dijadikan sebagai pembelajaran bagi kita. Strata sosial tidaklah menjadi ukuran apalagi penghalang. Pada malam itu (25/10), Janatul Maiyah Gambang Syafaat dapat sinau bareng dengan Mbah Nun. Kehadiran Mbah Nun pada malam itu memberi berbagai asupan informasi dan beragam pemahaman perihal permasalahan kita maupun bangsa. Ternyata, kita tidak sadar bahwa banyak informasi yang belum diketahui. Dan terkadang kita merasa berbangga diri. Meskipun persoalan itu bersinggungan dengan keseharian. Hal ini dikarenakan kemampuan untuk membaca dan memahami persoalan sangat terbatas. Keterbatasan memang dimiliki setiap orang, tetapi pasrah terhadap keterbatasan bukanlah pilihan. Belajar, belajar, dan belajar harus menjadi pilihan dan kebutuhan.

Setelah Mbah Nun menyampaikan informasi hasanah kepada janatul Maiyah. Selanjutnya Habib Anis dipersilakan untuk urun rembug menanggapi berbagai pertanyaan dari jamaah. “Sebenarnya tidak ada lagi yang peru saya sampaikan karena paparan Cak Nun sudah komphrehensif, lengkap” Ujar Bib Anis saat prolog.

Tanggapan dari Habib Anis atas beragam pertanyaan tidak dikupas satu per satu karena semua pertanyaan sudah direspon oleh Mbah Nun. Namun Habib Anis memberikan gambaran dan pemahaman kepada Jamaah Maiyah. Apa yang disampaikan beliau menjadi bahan refleksi bagi kita lebih tepatnya bermuhasabah agar lebih bijak dalam menyikapi dan melangkah dalam kehidupan. Habib Anis mengingatkan kepada jamaah perihal kesadaran. Mungkinkah selama ini kita tidak sadar diri sehingga kesadaran perlu direnungkan kembali. Sadar dalam hal apa? Apakah penting untuk disadari? Atau dengan sadar menjadikan perubahan keehidupan jamaah? Ternyata, kesadaran itu berkaitan dengan pemahaman hidup Kita dituntut sadar bahwa hidup di dunia hanyalah outbond, numpang lewat. Salah jika beranggapan bahwa hidup sama halnya bertempat tinggal. Oleh sebab itu, kesadaran dan penyadaran harus ditanamkan pada manusia agar mengetahui posisinya, yakni kedudukannya di dunia bukan sebagai penduduk. Jika dianalogikan outbond berarti bersifat sementara, ada batas waktunya, dan tidak selamanya.

Anehnya, mindset manusia terkadang tidak demikian. Mereka beranggapan hidup di dunia ya selamanya. Fenomena menunjukkan bahwa sebagian bahkan mayoritas dari kita lebih senang, berambisi serta rakus mencari sesuatu yang lebih banyak, baik materi maupun sejenisnya. Penanaman kesadaran harus selalu diajarkan kepada sesama agar tidak terjebak dalam kepalsuan dunia. Manusia harus memiliki sikap dan tujuan. Prioritas tujuannya tidak lain adalah ukhrowi. Jadi outbond dapat dijalankan menuju arah akhirat. Kita boleh saja bekerja dan berusaha mengumpulkan materi dan lain sebagainya, tetapi substansinya harus ukhrowi serta demi kemaslahatan. Misalnya, kekayaan yang dimiliki disedekahkan buat dhuafa, anak yatim, dan orang yang membutuhkan. Itulah upaya dalam membangun jalan ke akhirat, tutur Habib Anis.

Sebuah kisah. Nabi Muhammad saat ditanya putrinya Sayyidatina Aisyah: Milik kita yang mana Ya Rasulullah, kenapa dibagikan terus kepada orang lain. Nabi menjawab. Apa yang kita berikan kepada orang lain, itulah yang menjadi milik kita karena yang ada pada diri kita akan dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.

Kesadaran manusia terkadang tanpa disadari termanipulasi oleh pihak lain sehingga ketidaksadaran melekat pada diri mereka. Upaya manipulasi dapat dilakukan oleh empat pihak. Pertama, Iblis. Kedua, Fir’aun. Ketiga, Ya’juz Ma’juz. Keempat, Dajjal. Keempat pihak di atas merupakan bentuk dari ekspresi keduniawiaan. Jika kita tertipu dengan keempatnya, maka akan sulit untuk keluar menuju cahaya. Hanya ada satu cara untuk melawan dan terbebas dari beragam manipulasi yang dijalankan oleh keempatnya yaitu dengan sifat ikhlas dan orangnya disebut mukhlis. Keikhlasan manusia menjadi kunci serta main value dalam menyikapi dan menghadapi hidup. Kondisi apapun yang menimpa pada kita, baik yang disenangi maupun tidak sukai. Ditipu maupun disakiti orang lain.

Maka ikhlaslah karena itu solusi serta jalan terbaik. Dengan ikhlas berarti kita ridlo, menerima apa yang Tuhan berikan kepada kita, ojo grundhel. Bisa jadi melalui keikhlasan, Tuhan memberikan sesuatu yang tidak kita bayangkan. Sangat mudah bagi Tuhan. Dan begitu dahsyatnya kekuatan ikhlas, iblis saja tidak berani mendekatinya. Bukankah keikhlasan sudah dicontohkan para pendahulu kita. Misalnya, Nabi Ibrahim saat dibakar, api menjadi dingin. Sebenarnya banyak sekali para mukhlisin yang dapat menjadi uswatun hasanah. Dapatkah kita mengikuti jejak teladan para pendahulu.

Selanjutnya paparan dari Pak Anashom selaku Ta’mir Masjid Baiturrahman Simpang Lima. Dalam memberikan respon, beliau mengutip apa yang diungkapkan oleh Ronggo Warsito, intinya menyikapi keadaan zaman Now, jaman edan. Maka sikap yang harus diketengahkan adalah dengan ridlo serta ileng lan waspada. Berpegang pada prinsip tersebut tentunya agar kita tidak terjebak dan terjerumus pada hal yang tidak baik. Sebagai bahan kontemplasi, apakah kita sudah eling lan waspada. (Muhamad Muhajir)