blank

JEBAKAN KEAKUAN HINGGA NANDUR NING POSO

Seharusnya, selayaknya, sebaiknya bagaimanakah kita menganggap dan memosisikan tanah air ini? Apakah sebagai barang dagangan? Apakah sebagai penghidupan yang diwariskan? Apakah sebagai amanah yang harus kita kholifahi? Atau sebagai medan perang? Jawaban atas pertanyaan ini sangatlah penting untuk menentukan langkah kita selanjutnya, untuk mengurai berbagai penyakit yang selama ini menjadi sengkurat tidak berkesudahan. Satu lagi, untuk menentukan siapa yang masuk dalam bahtera bernama ‘kita’ dan ‘lian’.

Saudara? Tidak enak sekali jika di depan bilang saudara tetapi di Belakang merencanakan penikaman.

Mari kita urai satu persatu. Cita-cita kita hanyalah sederhana. Cita-cita kita adalah menjadi ‘kita’. Tetapi menjadi kita ternyata bukan perkara yang mudah. Mengapa?

Sebentar-sebentar kita dengarkan dulu Maudy Ayunda: //Kini ku tahu bila cinta tak bertumpu pada lidah//Lidah bisa berkata namun hati tak sejalan//Kata-kata tak menjamin cinta//.

Lho kalau antara hati dan lidahmu saja terjadi sengketa, mengapa cinta harus dilanjutkan? Mulutmu bilang cinta tetapi ternyata tanganmu sembunyi-sembunyi menyisihkan sesuatu untuk kelompokmu? Untuk dirimu sendiri? Kau jual harta kita. Kau aku harta kita menjadi hartamu.

Oh kita hidup dalam peradapan yang mengagungkan eksistensialisme, menuhankan diri sendiri. “Aku jujur, aku mumpuni, aku siap memimpin!” Peci dikenakan, foto di pinggir-pinggir jalan. Entah demi apa.

Ada goyah ada wasilah. Kita tidak mampu membedakan dan tidak pernah belajar untuk mengerti mana tujuan dan mana jalan. Jika kamu menjabat hanya untuk mengeruk harta kekayaan Negara maka sebenarnya kamu tidak beda dengan rampok.

Di musim seperti ini pengorbannan, kerelaan untuk dishodakohkan untuk kebersamaan, untuk ‘kita’, untuk ibu pertiwi bukanlah hal yang popular. Di musim seperti sekarang ini orang-orang berebut menjadi faktor. Di sebuah perhelatan do’a bersama dan doa itu dikabulkan, kita berebut doa kitalah yang paling ampuh dan menjadi factor doa itu dikabulkan. Kita lupa pada yang mengabulkan doa. Kita berebut dijadikan pahlawan yang dipuja-puja, fotonya ditempel di setiap dinding rumah. Dalam musim seperti ini, Allah dan Rosuluaalh hanya dihadirkan sebagai figuran. Digunakan sebagai perhiasan.

Mari kita dengar suara liris itu: Kalau yang sunyi engkau anggap tiada, maka bersiaplah terbangun mendadak dari tidurmu oleh ledakannya. Kalau yang diam engkau remehkan, bikinlah perahu agar di dalam banjir nanti engkau tidak tenggelam. Kalau yang tidak terlihat oleh pandanganmu engkau tiadakan, bersiaplah jatuh tertabrak olehnya. Dan kalau yang kecil, kalau yang kecil engkau sepelekan, bersiaplah menikmati kekerdilanmu di genggaman kebesarannya.

Tidak ada yang ampuh di dunia ini. Tidak ada yang sakti. Allah akan membuat perubahan bersama atau tidak bersama kita. Saat Allah menyuruh Musa membelah lautan dengan tongkatnya, bukan Musa sakti, bukan tongkat yang sakti, tetapi karena Allah juga menyuruh air untuk menyilak.

Mari kita dendangkan Rampak Osing: //Arep golek opo arep golek opo kok uber – uberan//Podho ngoyak opo podo ngoyak opo kok jegal – jegalan//Kabeh do mendem kabeh do mendem rak mari – mari//Bondo kuwoso rak digowo mati//.Rino wengi aku tansah ngenteni…,suara kang sejati//

Rokaat panjang. Agar kita lepas dari sengkurat itu kita harus melakukan rakaat panjang. Rakaat panjang itu melakukan hal-hal yang bertolak-belakang seperti yang dilakukan mereka. Jika mereka membangun eksistensi dirinya, kita mensodakohkan diri kita untuk ibu pertiwi, untuk anak cucu kita. Kita harus menanam tanpa nafsu untuk segera memanen.

Nandur Ning Poso. Ibarat kita diberi buah mangga. Janganlah kita hanya menikmati daging buahnya saja, jangan hanya fokus pada daging buahnya saja tapi lupa pada biji peloknya. Kita harus menanam biji pelok itu agar lebih banyak orang dapat menikmati biji mangga itu. Menanam adalah memikirkan tentang keberlangsungan. Sesuatu tumbuh dan tidak berhenti pada musim kita tapi berlanjut pada musim-musim berikutnya. Sedangkan puasa adalah menahan nafsu, membatasi, mengendalikan. (Redaksi –MA).